LOEMPOER
Sudut-sudut mata mereka masih melarikan air, pasir, lumpur dan pertanyaan-pertanyaan. Tidak ada yang mereka lakukan di tepian irigasi, hanya menunggu senja, kemudian pulang ke kampung Loempoer bersama matahari yang karam.
“Siapa mereka Mak, kenapa mereka dekil begitu, tubuhnya lumpur semua?” Sadun menunjuk ke arah ratusan orang yang berkerumun di tepi irigasi.
“Mereka itu Nak, manusia lumpur, para penghuni kampung Loempoer.” Emak menutup mata Sadun. Mengajaknya berjalan lebih cepat, agar segera melintasi kerumunan.
“Kampung Loempoer? Aku pernah mendengarnya Mak, menurut orang-orang, kampung Loempoer itu hanya omong kosong. Mereka itu katanya hanya gelandangan kota, para pemalas atau mungkin orang gila.” Sadun berbusa-busa menyampai cerita yang pernah didengarnya dari mulut orang-orang.
“Huss… Mereka itu bukan gelandangan, bukan pemalas, tidak gila. Orang-orang itulah yang tidak pernah melihat kampung Loempoer. Janganlah kamu percaya pada mulut orang-orang. Sudah jangan kau tatapi mereka terus. Ayo, kita pulang.”
Sadun masih saja mencuri-curi pandang dengan sudut mata ke arah manusia lumpur yang sekujur tubuhnya dibungkus lumpur.
“Apakah Emak pernah melihat kampung Loempoer?”
“Sudah, jangan nanya-nanya terus!” Emak kesal, ditariknya tangan Sadun. Mereka berjalan gesa menuju rumah.
Dari bola mata mereka yang pudar, tidak pernah berhenti mengalir air, pasir, lumpur dan pertanyaan-pertanyaan. Jatuh di atas tanah, bergabung bersama lumpur lain, menjadi sungai, menjadi muara, menjadi telaga.
Salah satu anak kecil berbaju lumpur dari mereka, melambaikan tangan. Mengisyaratkan kepada Sadun agar kembali, menepi, ikut bersama mereka duduk-duduk di tepian irigasi, menunggu senja. Setiap hari mereka hanya melakukan itu, tidak berbuat apa-apa lagi. Hanya menikmati lapisan lumpur kering yang melapisi kulit mereka.
***
Bayang-bayang bocah lumpur yang melambaikan tangan, cerita Emak tentang kampung Loempoer dan air mata mereka yang tidak pernah berhenti melarikan air, lumpur, pasir dan pertanyaan masih berlarian di benak Sadun. Semakin deras menghujani ingatan, nyaris semua isi kepalanya terisi lumpur.
“Aku akan mencari bocah itu.” Sadun berjingkit, ditinggalkannya rumah dan Emak yang tidak tahu menahu perihal kepergiannya.
Sadun berlari menuju irigasi, berlomba dengan matahari yang sebentar lagi melibas senja dengan gelap yang sempurna. “Aku mohon jangan dulu malam, aku harus melihat mereka pulang. Aku ingin pergi ke kampung Loempoer.” Di sepanjang jalan Sadun bergumam, menerbang harapan.
Matahari tidak lama lagi roboh kelelahan. Langit yang benderang, awang-awang yang selalu terang, dalam sekejap pandang akan berubah, tersepuh menjadi rawan, tak terbaca, samar dan penuh pertanyaan.
Manusia lumpur terlihat beranjak, mereka bergeliat, kerak-kerak lumpur yang kering terdengar berderak, serpihnya jatuh di atas tanah, berganti lumpur lain yang tidak pernah berhenti mengalir dari sudut-sudut mata. Mereka saling berpegang, berjalan dalam barisan panjang. Di sepanjang perjalanan tidak ada kata-kata, hanya suara-suara telapak kaki, dengus nafas, dan suara gemercik lumpur yang mengalir dari sudut-sudut mata mereka.
Sadun mengikuti parade manusia lumpur, dikuntitnya iring-iringan itu tepat di belakang bocah kecil yang tadi siang melambaikan tangan ke arahnya. Di sepanjang perjalanan, diraihnya gundukan lumpur basah, dibalur-balurkannya ke sekujur tubuh, dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Tidak ada yang terbedakan antara Sadun dan manusia-manusia lumpur itu.
“Kenapa kamu mengikuti kami?” Bisik bocah itu.
“Aku ingin melihat kampung Loempoer.” Sadun menguntit di belakang.
“Ikutilah kami, semoga kamu tidak kehilangan kami seperti orang-orang lain yang pernah mengikuti kami.” Bocah itu menoleh, tersenyum, lumpur kering di bibirnya retak sepetak. Tangannya yang berlumpur, meraih tangan Sadun, menggenggamnya erat. Sudut-sudut matanya seperti manusia lumpur lain, melarikan air, pasir, lumpur dan pertanyaan-pertayaan.
“Kampung Loempoer itu apakah banyak lumpur? Sadun heran.
“Banyak sekali, sangat banyak. Bukan banyak lagi, semuanya memang lumpur.”
“Lumpur asli?”
”Lumpur asli, made in kampung Loempoer. Produk dalam negeri.”
“Kalian tidur di lumpur juga?”
“Di mana lagi, di kampung Loempoer hanya ada lumpur? Bahkan kami juga makan lumpur.”
“Makan lumpur?”
Sadun berhenti berjalan, baginya tidak masuk akal anak manusia harus makan lumpur. Seharusnya mereka makan nasi, jagung, mie rebus atau singkong goreng, bukan lumpur. Sadun tidak bertanya lagi, untuk sementara bocah itu dianggapnya berbohong sampai nanti ia melihat sendiri apa yang terjadi di kampung Loempoer.
“Sebentar lagi sampai. Tetap ikuti kami…”
Sadun memipihkan jarak, nyaris hanya sejengkal ruang kosong antara dirinya dan bocah berbungkus lumpur di depannya. Tangannya semakin erat genggam tangan berlumpur, tidak ingin tertinggal, tidak ingin terpisah, tidak ingin gagal seperti orang lain yang selalu kehilangan jejak ketika menguntit mereka.
Sadun menatap setiap jejak kaki manusia lumpur di atas tanah setapak, lumpur yang segar, pertanyaan-pertanyaan yang tercecer di sepanjang jalan. Pertanyaan dalam pengertian sebenarnya, misalnya: “Kapan rumah kami akan diganti?” atau “Ke mana kami harus pergi?” Pertanyaan-pertanyaan itu jatuh di sepanjang jalan, berbentuk huruf dari lumpur-lumpur segar yang perlahan mengering. Tapi, pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah terjawab, tidak pernah menemukan kejelasan, kekal dalam tanya.
“Selamat datang di kampung Loempoer.” Bocah itu tersenyum riang. Seolah menemukan rumah yang bertahun hilang.
Manusia-manusia lumpur berhenti berjalan. Di depan mereka terbentang telaga lumpur sejauh mata memandang. Mereka saling melepaskan genggaman tangan, kemudian berjalan lagi, masuk ke dalam lumpur, nyemplung, berenang, menyelam, ngesot.
Sadun menguntit bocah lumpur, kakinya memijak lumpur perlahan. Semakin jauh telaga lumpur ditempuh, semakin tenggelam sekujur tubuh.
“Ayo Sadun, berenanglah. Bukankah ini tempat yang indah.”
“Bocah itu benar. Di sini hanya ada lumpur.”
Di dalam lumpur Sadun berenang, berkecipak seperti ikan, bergelisut seperti belut. Lumpur adalah rumah mereka, tidak hanya rumah seperti yang bocah itu bilang, mereka juga makan lumpur.
Bandung, 29 Mei 2012
Tribun Jabar - edisi 15 Juli 2012
Belum ada tanggapan untuk "Loempoer (Tribun Jabar - edisi Minggu, 15 Juli 2012)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar