HUJAN ANAK PANAH
Pernah melihat hujan selain hujan air?
Aku pernah melihat hujan selain air, langit siang itu tidak menggelayutkan awan sesudut pun, tidak juga diterpa angin badai, matahari pun bergelantung di ketinggian bersama sengatnya yang galak.
Hujan itu terjadi ketika orang-orang yang menuntut keadilan dari kampung Amone tumpah di padang rumput yang membatasi kampung mereka dan kampung Wamea. Di padang rumput itulah, aku melihat hujan anak panah.
Ratusan orang yang menuntut keadilan berlarian ke tengah padang rumput, mereka membawa tombak, anak panah dan parang. Memburu musuhnya dengan senjata-senjata itu, ada sebagian dari mereka membawa tameng dari seng atap rumah, ada yang berlindung di balik pohon ada yang berkelit. Ratusan anak panah berjatuhan dari langit. Memburu siapa saja, ingin melesak dan berkait di tubuh siapa saja. Kedua kampung itu berperang dengan alasan yang sama, keadilan.
Mataku semakin menatap layar televisi, menyaksikan hujan anak panah di padang rumput perbatasan. Aku menyeringai miris menyaksikan anak-anak panah yang melesak di tubuh orang-orang.
“Kenapa mereka berperang?” Aku bertanya entah kepada siapa?
“Kami berperang untuk menuntut keadilan.” Tiba-tiba seseorang dari dalam televisi menyembulkan kepalanya ke luar, wajahnya menatapku geram. Busyet.
“Hah, keadilan?”
“Bukan, maksudku. Kami menuntut pelaku pencurian benda berharga agar segera diadili. Itu sama saja dengan masalah keadilan.” Jawabnya tergesa, sesekali orang itu kembali masuk ke dalam layar kaca, mengawasi langit, menghindari tembakan anak panah.
“Hoi, sudah dulu ya. Aku harus kembali berperang, keadilan harus ditegakan.”
Orang berkulit legam dengan rambut keriting itu kembali masuk ke dalam layar, hujan anak panah semakin deras. Beberapa orang sudah jatuh kena tikaman.
“Keadilan?” Aku bergumam, mulutku menyedot habis segelas kopi yang sudah dingin.
“Para pencuri itu harus dihukum! Serang!” Teriak seseorang, mengomando ratusan kawanannya untuk semakin garang menyerang. Kedua penduduk kampung yang dipisah padang rumput itu semakin liar saling serang.
“Boy! Awas!” Aku berteriak, mengingatkan seorang bocah yang seharusnya tertikam anak panah. Setelah mendengar suaraku, bocah dalam televisi itu melompat berkelit, anak panah amblas di atas tanah.
“Boy, sini. Lu jangan ikutan perang.” Aku melambaikan tangan.
“Sebentar...” Bocah itu balas melambaikan tangan.
Dipungutnya anak panah yang menancap di atas tanah. Kemudian tangannya mengais-ngais bingkai televisi, mencari jalan ke luar. Pertama-tama jemarinya berhasil memegangi bingkai layar kaca, kemudian wajahnya diikuti seluruh kepalanya. Ia keluar, kaki kanannya pertama menginjak lantai di rumahku, kemudian seluruh tubuhnya sudah berada di ruangan rumahku. Bocah itu tidak memakai apa pun, kecuali celana dalam yang sudah dekil.
“Duduk sini Boy, kita aman di sini. Eh, lu mau kopi?” Aku menarik lengannya. Bocah itu terduduk di sofa sebelah kanan, ia mengangguk. Matanya tak lepas dari layar kaca.
“Tunggu sebentar.” Aku pergi ke dapur, menyeduh kopi panas.
“Jangan pake gula!” Teriak bocah itu.
“Hah? Kagak pake gula? Kopi macam apa itu?” Aku bergumam.
Membuat kopi hanya butuh waktu 5 menit, aku sudah menyeduh segelas kopi tanpa gula sesuai pesanan. Bocah itu masih menelisik tayangan berita.
“Nih kopinya Boy, coba aku lihat anak panah itu.”
Aku meraih anak panah yang digenggamnya, bocah itu mendelik menatapku.
“Mau mati kau! Anak panah ini beracun, jangan kau sentuh.”
“Hah beracun? Orang-orang itu akan mati kalau kena anak panah?” Aku menunjuk orang-orang di dalam layar televisi yang tertembak anak panah.
“Mereka sudah punya penawar, tidak akan mati. Hanya sakit saja.”
“Boy, kenapa lu ikutan perang?”
“Keadilan.” Jawabnya singkat.
Halah, aku bertemu lagi dengan wacana keadilan. Kenapa orang-orang itu begitu mudah menyebut keadilan, apakah karena mereka sangat mengerti tentang keadilan atau karena mereka tidak pernah memiliki keadilan.
“Keadilan atau pencurian?” Aku teringat kata-kata lelaki tadi.
“Pencurian.”
“Apa yang mereka curi sampai-sampai kalian harus berperang?”
“Kemerdekaan.”
“Boy, gue kagak ngarti.”
“Orang-orang Jakarta seperti kau tidak akan mengerti. Kami yang mengerti apa yang terjadi di kampung kami.”
“Ya ya ya... Apakah orang-orang Wamea benar-benar mencuri kemerdekaan kalian?”
“Katanya begitu.”
“Katanya?”
“Ya, katanya begitu.”
“Kata siapa Boy?”
“Seseorang, kata seseorang.”
“Seseorang siapa?”
“Orang Jakarta.”
“Haduh, orang Jakarta lagi. Kata siapa orang Jakarta?”
“Sudah langganan, kemerdekaan kami hilang karena memang orang-orang dari Jakarta yang mencurinya. Siapa lagi yang paling suka mencuri di negara ini? Jakarta kan?”
“Okey, okey... Gue ngarti. Tapi, kenapa kalian berperang dengan mereka? Penduduk Wamea kan bukan orang Jakarta?”
“Nah itu dia, orang-orang Jakarta itu pengecut. Mereka tidak berani bertempur melawan kami, mereka menyusup, menghasut, mencipatakan kekacauan, merekayasa apa saja. Semua ini perbuatan orang Jakarta.”
“Boy, lu tau dari siapa semua itu perbuatan orang Jakarta?” Aku mengambil gelas kopi, tinggal ampas. Bocah itu melirik ke arah gelas kopi miliknya.
“Minumlah.” Aku menunjuk ke arah gelas kopi miliknya.
“Kau kasih racun?” Bocah itu menunjuk gelas kopi dengan anak panah.
“Tidak.” Aku mengangkat bahu.
“Awas kau!” Gluguk, bocah itu menenggak habis gelas kopi pahit dengan tangan kiri, tangan kanannya menggenggam anak panah beracun, menodongkannya ke wajahku.
“Mantap!” Bocah itu mengusap bibirnya, kemudian mengacung jempol.
“Boy, lu mau tinggal di sini?”
“Tidaklah, ngapain aku tinggal di Jakarta. Tidak ada guna.”
“Kalau begitu buruan balik, nanti beritanya keburu udahan.”
Bocah itu terperanjat. Anak panah yang sedari tadi digenggamnya disimpan di atas meja, kemudian ia melompat memburu layar kaca. Kepalanya sudah berhasil masuk ke dalam layar, diikuti kaki kanan, kaki kiri dan seluruh tubuhnya sudah sempurna kembali dalam layar.
“Hoi! Selamat tinggal Jakarta!” Bocah itu berteriak.
Aku melambaikan tangan ke arahnya. Hujan anak panah belum juga mereda. Semakin banyak orang menjadi korban. Layar kaca berganti tampilan, bocah itu kembali terlipat dalam berita.
“Anak panah beracun.”
Aku bergumam, tanganku meraih anak panah di atas meja.
Betapa beracun kota Jakarta.
Bandung, 20 Juni 2012
Belum ada tanggapan untuk "Hujan Anak Panah (Lampung Post - Edisi Minggu, 12 Agustus 2012)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar