Dewa Hujan
Seharusnya, aku percaya pada apa saja yang dikatakan Ibu bahkan ketika itu tidak masuk akal. Tidak sesuai dengan apa yang aku yakini. Seharusnya aku percaya kepada Ibu ketika ia mengatakan bertemu lelaki tampan bernama Joseph dalam mimpinya.
“Sudahlah Bu, namanya juga mimpi. Jangan hubung-hubungkan Joseph dalam mimpi Ibu itu dengan nabi Yusuf.” Ucapku, tidak peduli dengan cerita mimpi Ibu.
“Sadun, Joseph dalam mimpi Ibu mungkin tidak ada kaitannya dengan nabi Yusuf. Tapi kemarau yang kita alami, kekeringan ini, bukan mimpi.”
“Benar, kekeringan yang melanda perkampungan kita, memang bukan mimpi. Terus kenapa?”
“Kurasa mimpi itu benar, kita harus mencari Dewa Hujan.” Jawab Ibu seraya mengingat kembali mimpinya.
“Memangnya apa sih yang dikatakan Joseph dalam mimpi itu, kok bawa-bawa Dewa Hujan segala?” Tanyaku, mulai penasaran.
“Harus ada yang menurunkan hujan untuk kampung kita, begitulah ucap Joseph dalam mimpi Ibu.” Ibu menatapku.
“Hah, maksudnya kita harus mencari Dewa Hujan? Karena hanya Dewa Hujan yang bisa menurunkan hujan.”
“Benar, kita harus mencari Dewa Hujan.”
Aku tentu tidak satu arah dengan apa yang diyakini Ibu. Aku pada mulanya tidak setuju dengan gagasan mencari Dewa Hujan yang absurd itu. Dewa tidak mungkin ditemui kecuali dalam doa-doa atau asap dupa. Akan tetapi Ibu tetap berangkat menuju kota, mencari Dewa Hujan pada suatu pagi.
“Lihat saja nanti. Aku akan menemukan Dewa Hujan, membawanya pulang ke kampung kita, meminta menurunkan hujan besar di seluruh kampung.” Ucap Ibu ketika aku berusaha menahannya.
Lama aku menunggu, Ibu tidak juga kembali. Aku pun memutuskan untuk mencari Dewa Hujan, tentu aku akan mencarinya di tempat-tempat peribadatan, di celah doa, di putaran rosario, di pengsujudan suci dan di asap dupa-dupa. Hanya itu tempat dan jalan untuk menemui dewa-dewa, bukan pergi ke kota seperti yang Ibu lakukan.
Keputusanku untuk ikut mencari Dewa Hujan bukan karena mimpi itu, melainkan pembuktian. Aku harus membuktikan kepada Ibu bahwa dewa-dewa hanya bisa ditemui dengan jalan-jalan suci. Dewa bukanlah manusia yang bisa ditemui kafe, mall, gedung wakil rakyat atau taman public.
Perjalananku terasa begitu kering, matahari di atas sana menyimpan sengat yang sangat. Udara kering seperti ingin memeras seluruh keringat dari tubuhku. Segalanya mongering di luar sana, tidak hanya di kampungku. Daun-daun berserak temui ajal, bergelimang berkubur debu.
Air menjadi perkara penting di musim kemarau seperti sekarang. Jangankan untuk menyiram pohon atau mencuci kendaraan, untuk mandi, cuci dan minum saja, air menjadi barang langka. Air menjadi barang mahal, lebih mahal dari emas. Di beberapa tempat, air dihargai dengan nyawa. Seseorang harus kehilangan nyawanya demi seciduk air.
“Mimpi itu benar, harus ada yang mencari Dewa Hujan.” Aku bergumam, teringat mimpi Ibu. Debu-debu yang diterbangkan angin, hinggap di sekujur tubuhku, menyeduh rasa lengket.
“Dewa Hujan akan menemui siapa saja yang mencarinya.” Aku teringat ucapan Ibu sebelum pergi. Sudah ratusan tempat ibadat kumasuki, Dewa Hujan sedang tidak berada di tempat-tempat itu.
***
Aku kembali bersama nihil, Dewa Hujan yang kucari tidak pernah ditemukan. Ribuan doa-doa telah kuterbangkan, tak satu pun yang didengar. Tidak hanya doaku saja yang hilang, juga doa-doa orang di seluruh perkampungan, hanya terbang, lalu menguap di awang-awang.
“Siapakah orang itu Bu, apakah dia itu Dewa Hujan?” Tanyaku ketika Ibu kembali ke rumah bersama seseorang.
Angin kering musim kemarau berhembus kencang mengawangkan debu, menghinggapkannya di kaca jendela, menyebarkan di lembar-lembar paru. Kampung ini benar-benar menunggu hujan, menunggu Dewa Hujan untuk menurunkan hujan. Semua penduduk di kampungku berbondong menonton Dewa Hujan. Ada yang percaya, ada yang mencibir, ada juga yang menertawakannya. Akan tetapi semuanya bisa kupastikan, mereka sedang menunggu hujan.
“Kurasa dia benar-benar Dewa Hujan. Ibu melihatnya di kota, ia menurunkan hujan besar.”
“Benarkah Bu, bagaimana ia menurunkan air dari langit? Cepat Bu, cepat memohon kepadanya agar segera menurunkan hujan.” Aku merasa sangat bahagia berkesempatan melihat Dewa Hujan dan tidak lama lagi akan melihatnya menurunkan hujan dari langit. “Tenang Dun, Ibu sudah memintanya untuk menurunkan hujan, tidak lama lagi kita akan melihat hujan turun dari langit, pohon-pohon kering itu juga akan selamat dari kematian. Debu-debu itu juga akan lenyap. Kita akan mengecap segar, menciduk air, menikmati hujan.” Ucap Ibu, sambil tersenyum.
“Bagaimana ceritanya Ibu bisa menemukan Dewa Hujan?”
“Dewa Hujan sudah tidak lagi mendengar doa-doa manusia, Dun. Kamu tahu kenapa? Karena doa-doa kita sudah kotor, meskipun banyak di antara doa kita yang diterbangkan ke langit, tetapi doa-doa itu menguap di awang-awang, hilang. Kita tahu, hanya doa-doa putih saja yang diterima Dewa.”
“Kenapa doa-doa kita menjadi kotor Bu?”
“Kita hidup di negara yang kotor, setiap hari kita disuguhi perkara kotor, kampanye hitam, korupsi, perang antar agama, fanatisme buta, premanisme sistemik, penyelewengan APBD, ketidak-adilan hukum. Semua itu sangat kotor, itu sebabnya Dewa Hujan tidak lagi sudi mendengar doa-doa. Itu sebabnya Ibu pergi ke kota, di sanalah segala yang kotor berada. Di sanalah Dewa Hujan ingin ditemui.”
“Aku tidak mengerti.” Dahiku sudah berkerut berlapis-lapis, ucapan Ibu yang satu ini, sulit untuk dimengerti. “Kenapa dewa ingin ditemui di tempat kotor? Seharusnya dewa ditemu di tempat suci, Bu.”
“Kelak, kamu akan mengerti, Dun. Oh iya, Ibu menemukannya Dewa Hujan ini di mall.” Jawab Ibu, senyumannya terurai kepadaku.
“Di mall? Lagi ngapain dia di sana, belanja?”
“Tidak, Dewa Hujan sedang menangis di pinggir jalan ketika Ibu menemukannya.”
“Apa yang ditangisinya Bu?”
“Dewa Hujan sedang menangisi kita, umat manusia. Dia sangat ingin menurunkan hujan untuk seluruh kampung ini, akan tetapi manusia itu sendiri tidak pernah bersyukur, tidak peduli, selalu jemawa dan bodoh.”
“Maksudnya apa Bu?”
“Kalau saja kita bersyukur, peduli, tidak jemawa dan bodoh, Dun. Air bukanlah perkara yang susah untuk negara kita yang kaya ini. Akan tetapi negara kita terlanjur dikuasai orang-orang bodoh yang tidak mengerti bagaimana memanfaatkan alam untuk kepentingan bersama. Para penguasa di negara kita hanya memikirkan rezeki pribadi. Kita hidup di bawah kuasa-kuasa yang gila. Itu sebabnya Dewa Hujan menangis, bersedih dengan negara ini.”
“Oh, begitu ya Bu. Sebenarnya aku tidak mengerti, tapi bagaimana Ibu bisa tahu kalau dia itu benar-benar Dewa Hujan? Jangan-jangan orang itu bukan Dewa Hujan.” Aku merasa ragu.
“Kalaupun bukan Dewa Hujan, itu tidak masalah asalkan dia mampu menurunkan hujan.”
“Haduh Ibu ini, jadi yang penting itu hujannya atau dewanya?”
“Hujan tidak akan turun kalau tidak ada Dewa Hujan, Dun. Dua-duanya penting.”
“Benar Bu, benar. Kita butuh hujan dan Dewa Hujan.” Aku mengacung jempol untuk Ibu.
“Sadun! Siapa yang Ibumu bawa pulang itu, bapak barumu ya?” Teriak seorang perempuan di pinggir jalan. Penduduk lain tertawa bahak mendengar ucapannya. Ibu hanya tersenyum ke arahku.
“Dewa Hujan palsu!” Umpat seseorang, tangannya menuduh, wajahnya terlihat kesal.
Ada banyak suara yang kudengar, hanya saja suara Ibu adalah satu-satunya suara yang ingin kudengar dan hujan buatan Dewa Hujan adalah satu-satunya yang ingin kusaksikan.
Dewa Hujan yang sedari tadi terlihat membatu di beranda, kini mulai bergerak. Berjalan meniggalkan pekarangan. Orang-orang yang memberinya ruang, kemudian mengikutinya, menatapnya, mengawasi. Mereka terus mengikuti gerak-gerik Dewa Hujan, saling berebut tempat agar bisa berdiri paling depan, paling dekat dengan Dewa Hujan.
“Awas jangan dekat-dekat.” Bisik seorang lelaki, tangannya menarik anak kecil yang terlihat ingin lebih dekat.
“Lihat, Dewa Hujan melakukan sesuatu.” Lelaki lain di belakangku berbisik kepada temannya, tangannya menunjuk Dewa Hujan.
Dewa Hujan terlihat melambai-lambai ke langit, seperti memanggil angin dan awan. Seketika itu pula, langit yang terang dan matahari yang bersinar garang, tertutup kelam awan. Angin dingin berhembus kencang.
“Lihat Bu, banyak awan.” Aku menunjuk ke langit.
“Ssssttt…” Ibu menempelkan telunjuk di bibirnya.
“Hujan, datanglang! Hujan...” Orang-orang memanggil hujan. Tengadah mengawasi langit penuh permohonan.
Petir menyambar-nyambar. Guntur berdentuman. Dewa Hujan terus bergerak-gerak memanggil hujan.
“Bagaimana jika hujan tidak turun? Bukankah mendung belum tentu akan turun hujan?” Aku berbisik kepada Ibu.
“Dewa Hujan itu tidak lama lagi akan menurunkan hujan. Ayo, kita pulang. Siapkan ember dan jeriken.” Ucap seorang perempuan, tubuhnya melejit meninggalkan kerumunan.
“Hoi Dewa Hujan! Cepatlah turunkan hujan.”
Teriak orang-orang, mereka semakin tak sabar menunggu dalam kekeringan, terbakar di kemarau panjang. Langit semakin kelam, hitam, ribuan gunduk awan terlihat bergelayutan di awang-awang.
Hujan, entah kapan akan datang?
Bandung, 05 September 2012
Belum ada tanggapan untuk "Dewa Hujan (Inilah Koran - Minggu, 16 September 2012)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar