LES MAL ASSAMBLER
Ponsel berdering.
Nomor asing, Sadun tidak lekas menerima panggilan itu, ditatapnya deret angka di layar, sama sekali asing.
“Halo. Siapa ini?”
“Eh, lu yang siapa? Gue ketua KPK.”
“Ketua KPK, masa sih?”
“Gue serius, beneran. Lu siapa?”
“Saya Sadun, kuli bangunan. Kalau Bapak beneran ketuak KPK, berarti Bapak salah sambung.”
“Lu Sadun siapa?”
“Saya Sadun Pak. Kayaknya Bapak salah sambung deh.”
“Masa sih salah sambung?”
Tut tut tut
Sadun menutup pembicaraan, nada sambung terputus. Ponsel jadulnya kembali tergolek sepi di atas meja kayu.
Tok tok tok
Seseorang mengetuk pintu dari luar.
“Nah, moga-moga itu bukan si Eben, males aku ketemu tu orang. Ngajak maen catur mulu.” Sadun meninggalkan kursi kayu. Ditariknya gagang pintu, dua lelaki perlente tersenyum hangat kepadanya. Bukan Eben, bukan juga tetangganya yang lain.
“Apakah benar ini rumah Bapak Sadun?”
“Benar, saya sendiri Pak Sadun. Bapak-bapak ini siapa ya?”
“Kami dari KPK. Kami bermaksud membawa Bapak ke kantor KPK.”
“Waduh, serius nih Pak? Salah orang kali?”
“Tidak Pak, kami tidak salah orang. Benar kami mencari Bapak, ini foto Bapak bukan?” Lelaki perlente yang berdiri paling belakang mengeluarkan sebuah foto dari saku jasnya.
“Iya itu foto saya.” Sadun menatap foto itu.
Wajah di dalam foto itu memang foto dirinya, pas foto yang dicetaknya untuk memerpanjang KTP. Bersama seribu pertanyaan, Sadun berangkat menuju kantor KPK dijemput sebuah mobil dinas dan 2 lelaki perlente yang namanya entah siapa.
“Pak…”
“Apapun yang ingin Bapak tanyakan, sebaiknya nanti saja tanyakan pada waktunya. Sekarang Bapak tenang saja.” Ucap lelaki perlente, memotong kata-kata Sadun.
Sadun terdiam seribu bahasa. Pasrah, berserah pada kuasa mereka. Setelah 3 jam perjalanan dihabiskan dalam saling diam, akhirnya mobil itu tiba di depan kantor KPK.
“Kita sudah sampai Pak, silakan ikuti kami.”
“Ini kan kantor KPK?”
“Iya Pak, ini kantor KPK. Tadi kan kami sudah bilang mau membawa Bapak ke kantor KPK.”
“Iya saya juga tahu. Sekarang kita ke mana lagi?”
“Ikuti saya Pak.”
Sadun menguntit lelaki yang membawanya. Ditempuhnya lorong-lorong perkantoran KPK, berkas dokumen, kertas-kertas, terlihat menumpuk di setiap meja.
“Bapak silakan masuk ke dalam ruangan bersama teman-teman yang lain. Kami akan memanggil semuanya sesuai nomor urut. Sebelum ada panggilan, tunggu saja di ruangan itu.” Lelaki yang dikuntitnya menunjukan sebuah pintu kepada Sadun.
“Di dalam ada siapa saja?” Sadun menunjuk daun pintu.
“Ada teman-teman Bapak.”
“Teman saya?”
“Katanya sih teman Bapak.”
“Ada berapa orang?”
“Katanya sih enam puluh orang.”
“Dari tadi katanya-katanya terus. Ya sudah, saya masuk saja.” Sadun mendorong gagang pintu, celah terbuka menganga. “Hah? Batman, Superman, Spiderman?” Sadun kembali menutup pintu. Di dalam ruangan ada banyak orang berkostum super hero seperti yang dilihatnya di layar kaca.
“Pak Pak Pak… Kayaknya saya salah ruangan nih.” Sadun berteriak memanggil lelaki yang tadi mengantarnya.
“Tidak Pak, benar itu ruangan buat Bapak dan teman-teman Bapak.” Jawab lelaki itu dari kejauhan.
“Teman-teman saya apanya? Saya tidak mengenal mereka, lagian kenapa mereka memakai kostum seperti jagoan dalam film?” Teriak Sadun.
“Maaf Pak, mereka tidak memakai kostum. Mereka itu memang super hero dalam film itu. Asli!” Balas berteriak
“Hah asli? Mimpi apa aku semalam?”
Didorongnya daun pintu lebar-lebar. Semua orang di dalam ruangan sama sekali asing, tidak pernah ditemuinya secara langsung, selain dalam film atau berita di layar kaca. Sadun pernah melihat sebagian besar orang-orang di dalam ruangan. Sebaliknya, orang-orang itu sama sekali tidak pernah mengenalnya. Semua bangku yang berjumlah 60 sudah terisi, hanya tersisa 1 bangku tak bertuan, di paling depan. Sadun duduk di bangku kosong itu. Berhadapan dengan seorang lelaki yang duduk di sebuah podium yang cukup tinggi.
“Bapak Sadun ya? Silakan duduk Pak…” Lelaki di podium menyapanya ramah.
“Iya Pak, saya Sadun.”
“Tadi saya loh yang nelpon Bapak, perkenalkan saya ketua KPK. Terima kasih Bapak Sadun sudah datang paling akhir di sini.”
Lelaki di atas podium itu rupanya ketua KPK. Tanpa basa-basi lelaki itu langsung membuka acara.
“Terima kasih kepada semua rekan-rekan yang sudah datang memenuhi undangan KPK. Anda semua kami undang ke sini untuk dimintai keterangan perihal tindak pidana korupsi yang disinyalir melibatkan semua orang yang berada di dalam ruangan ini.”
“Apakah aku sedang bermimpi?” Dicubitnya pipi sendiri, rasanya sakit. Bukan mimpi yang sedang dialaminya, bukan. Sadun menganga tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Satu per satu semua orang di dalam ruangan di panggil ke ruangan lain, ruangan investigasi yang dilakukan di ruangan yang berbeda, tertutup, tidak diketahui orang lain, apalagi wartawan.
Sadun sibuk menatapi orang-orang di dalam ruangan. Semuanya orang-orang besar, super hero, menteri, pimpinan partai politik dan publik figur yang wajahnya seringkali mondar-mandir di layar televisi. Spiderman yang bermain tembak jaring. Superman yang mengintip ruangan lain dengan tatapan sinarnya. Robinhood yang memanah-manah jam dinding. Bapak Menteri yang browsing di tabnya. Ada juga si Buta dari goa hantu yang melempar-lemparkan pisang untuk Kliwon, monyetnya.
Setelah dipanggil, orang-orang itu tidak lantas pulang. Mereka kembali menuggu di ruangan yang sama.
“Bapak Sadun.”
Setelah menunggu 59 orang, akhirnya Sadun mendapatkan giliran. Namanya terdengar dipanggil dari ruang investigasi, orang-orang menatapnya dengan sorot heran.
“Sadun? Whos that?” Bisik Spiderman kepada Batman yang hanya menggeleng.
“What the hell! Who is Sadun?” Power Ranger Kuning melongo ikuti langkah Sadun yang celingukan memasuki ruang investigasi.
“Apakah Pak Sadun itu orang kita?” Bisik Bapak Menteri kepada rekannya dari salah satu partai politik.
“Tidak tahu Pak. Saya baru mendengar namanya. Mungkin dari pihak kontraktornya.” Politikus itu berkerut dahi, keheranan.
“Bapak Sadun.” Suara panggilan kedua terdengar semakin keras.
Di dalam ruang investigasi, terlihat sebuah meja panjang. Beberapa orang lelaki berdasi duduk berjajar di belakang meja, termasuk ketua KPK. Sadun duduk di sebuah kursi menghadapi semua orang itu yang berjumlah 7 orang.
“Semua orang telah terbukti tidak melakukan tipikor. Jika pun mereka melakukannya, mereka memiliki alibi kuat untuk tidak dijerat pasal tipikor. Jika pun mereka tidak memiliki alibi, mereka tetap tidak bisa dijerat ke dalam bui karena mereka memiliki kekuatan yang kuat.” Ucap ketua KPK tidak lama setelah Sadun duduk dibangku investigasi.
“Kekuatan yang kuat bagaimana maksudnya? Terus, apa hubungannya sama saya?”
“Bapak Sadun menjadi satu-satunya tersangka tindak korupsi. Bapak terlibat bukan?”
“Saya korupsi apa, terlibat apa?”
“Bapak ikut dalam proyek pembangunan di kota Hujan kan?”
“Saya memang kuli bangunan, maksud Bapak di proyek yang mana saya terlibat korupsi?”
“Di proyek yang itu, kota Hujan yang itu, di mana lagi?”
“Proyek wisma atlet di Suntel, kota Hujan. Itu maksud Bapak?”
“Ya, benar itu. Suntel, kota Hujan. Benar kan Bapak Sadun terlibat?”
“Iya kalau itu memang benar tapi saya tidak korupsi. Saya hanya kuli bangunan biasa. Saya hanya bertugas mengaduk pasir, air dan semen. Saya tidak pernah bersentuhan dengan uang kecuali gaji saya.”
“Nah itu dia. Bapak tidak memiliki alibi, tidak juga memiliki kekuatan. Jika pun benar Bapak tidak melakukan tipikor, tetap saja Bapak menjadi pelaku kejahatan tipikor. Kami butuh orang untuk dijadikan kambing hitam supaya lembaga kami kembali dipercaya. Eh, salah… maksud saya supaya negara ini kembali merdeka.” Papar ketua KPK.
“Jadi?”
“Jadi ya begitu. Bapak akan dihukum bui.”
Sadun gigit jari. Diingatnya kembali proyek pembangunan wisma atlet di Suntel, kota Hujan. Hanya daki, aduk kering yang tak sengaja terbawanya pulang, melekat di ujung topi, di ujung sepatu proyek, kadang terciprat di helm proyek. Tidak ada uang, tidak ada recehan dari proyek itu sepeserpun nyangkut di saku pribadinya.
“Jadi saya benar-benar dibui? Kenapa hanya dibui? Kenapa tidak dihukum mati saja?”
Tanya Sadun kepada ketua KPK.
Bandung, 29 Mei 2012
kata orang sih terbit Majalah Sabili, edisi 21/XIX - 19 Juli 2012
Belum ada tanggapan untuk "Les Mal Assambler (Majalah Sabili, edisi 21/XIX - 19 Juli 2012)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar