Kumpulan cerpen (kumpen) PAYUDARA, disebut-sebut sebagai cerpen yang di dalamnya menghadirkan semangat pemberontakan yang kental. Perlawanan perempuan atas segala realitas yang kerap membuat perempuan menjadi objek yang termarjinalkan, tertindas dan tak bermakna.
Akan lebih asyik kiranya jika bicara pemberontakan, juga bicara tentang Eksistensialisme Albert Camus. Dalam bukunya Absurditas Mite Sisifus, Camus berujar "Sisifus betapa ia berbahagia..." Ujaran yang cukup simpel untuk memahami absurditas dan pemberontakan itu sendiri, yakni sebagai penerimaan pada hidup -bahkan dalam wujudnya yang paling sengkarut-.
Dalam kumpen Payudara, perempuan menjadi tokoh yang dominan di dalamnya, tapi semuanya diceritakan sebagai objek, atau korban kekerasan, seperti KDRT salah satunya. Ada yang berbeda dari pemberontakan Sisifus dan Payudara. Pemberontakan Payudara, lebih layak disebut sebagai "Pemberontakan yang Membeku" dan bahkan cenderung menghadirkan "Altruisme tragis". Keberontakan perempuan dalam kumpen Payudara kurang berhasil mengangkat perempuan yang diperlakukan sebagai objek menjadi subjek, sebagaimana Sisifus telah melakukannya dan diujarkan Camus betapa ia berbahagia. Payudara kemudian terjebak dalam kemurungan yang kental.
Sekarang, mari kita bertamasya pada apa yang telah dituliskan Seno dalam cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku (dari buku yang berjudul sama, SSUP) dan Clara (Buku Iblis Tak Pernah Mati).
Dalam cerpen SSUP diceritakanlah seorang lelaki, -yang di akhir cerita diketahui tiada lain adalah Sukab- ia jatuh hati teramat sangat kepada Alina. Sebagai simbol dari kecintaannya kepada perempuan itu, maka Suka mengungkapkan cintanya dalam bahasa senja yang sebenarnya. Dikeratlah sepotong senja, dimasukannya ke dalam amplop (Ingat, itu senja yang sebenarnya, lengkap dengan matahari, laut dan sepotong semesta yang merah membara). Surat itu pun tiba di tangan Alina, surat yang berisi cinta.
Aih, rupanya cinta kerap kali menjadi bencana, begitupun cinta Sukab kepada Alina. Cintanya kemudian menjadi penindas yang paling kejam yang pernah ada di muka bumi. Betapa tidak sepotong senja di dalam amplop itu kemudian menjadi bencana. Tidak hanya menindas dan meng-objekkan Alina saja, tapi juga merendam seluruh dunia! Adakah yang lebih kejam dari itu?
Gila! Cinta yang suci dan buta itu, pada akhirnya menjadi tangan yang menindas keberadaan perempuan dalam deritanya yang bukan alang kepalang. Meskipun demikian, rupanya Alina - sebagaimana Sisifus - tidak lantas menjadi objek yang murung, sebagaimana kebanyakan tokoh perempuan dalam kumpen Payudara.
Alina hanya sedikit "ngedumel manja" yang tersurat di bagian cerpen lain berjudul UJUNG DUNIA (Kalau tidak salah), begini katanya, "Sukab yang bodoh dan teramat sangat bodoh, kirakira dong, cinta kamu membuatku menderita. Dasar bodoh!" kurang lebih seperti itu. Bersama kesendirian, Alina pun mengarungi kesunyian, di atas cadik, dan hanya berbekal sebungkus mie rebus. Wow! Betapa seorang perempuan begitu tenang dalam kemahagetiran itu, dan ini yang tidak hadir dalam sebagian besar kumpen Payudara, lagi-lagi perempuan hanya menjadi objek yang murung.
Berikutnya adalah cerpen Clara. Ini cerpen bicara tentang keturunan Cina yang pada kerusuhan Mei 1998, dirampok di tengah jalan, mobilnya dibakar, diperkosa beramai-ramai dan ketika mengadu, petugasnya sendiri malah memerkosanya berkali-kali dan bergantian! Gilaaaa! Seno menyatakan, bahwa "Tidak ada bahasa yang mampu diucapkan Clara untuk menggambarkan perasaannya itu, bahkan bahasa Cina itu sendiri yang konon paling kaya dengan rasa."
Dalam cerpen Clara, pembaca mengalami dua stasi secara bersamaan. Pertama, "beriba" kepada Clara dan kedua "berbenci" pada yang menindas Clara. Keduanya hadir secara bersamaan. Dan pembaca masih menyimpan banyak energi untuk menentukan sikap keberpihakan selain di atas.
Sementara dalam Payudara, pembaca diseret untuk hanya "beriba"" kepada tokoh cerita. Tok, sampai di sana saja. Itu sebabnya di atas sana, Payudara disebut sebagai "Pemberontakan yang membeku", tidak merobohkan apa pun, tidak juga menegakan apa pun. Kecuali nuansa altruisme yang bagi saya, itu tragis.
Terlepas dari itu semua, keseluruhan Payudara tetap menghadirkan khazanah sastra dahsyat. Terutama kemasan metafora, narasi dan plot yang sungguh menggoda, sebagaimana payudara itu sendiri adanya.
Bandung, 16 Desember 2012
Belum ada tanggapan untuk "Membaca Payudara (Perspektif Albert Camus dan Cerpen-cerpen SGA)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar