IBX582A8B4EDEABB Kepala Batu (Cerpen Tentang IAIN SGD yang Kini UIN SGD BDG) | Info Absurditas Kata Kepala Batu (Cerpen Tentang IAIN SGD yang Kini UIN SGD BDG) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Kepala Batu (Cerpen Tentang IAIN SGD yang Kini UIN SGD BDG)

KEPALA BATU

cerpen absurditas malkaCibiru, aku selalu merasa jatuh cinta di setiap senjanya yang merah, ungu, kemudian kelam mengekalkan sekian banyak pertanyaan. Di sana, di celah senja, selalu ada uar asap kopi yang hangat. Segelas kopi yang membuatku, masih merasa menjadi manusia.
Dalam kafein bercampur gula dan air panas yang segelas, di sanalah nalarku berkubang, jiwaku menari segenit uar asap, seriang kehangatan, seabsurd sintesa rasa manis dan pahit,  berkoloni dengan cekungan gelas waktu. Berkawan selarik kemurungan para eksistensialis, sebaris kegusaran hantu-hantu marxis, juga serpihan sajak cinta Gibran yang ngungun berdarah-darah.
Cibiru di sana ada segala macam sihir. Mengutuk siapa saja menjadi serigala, atas nama KRS dan kewajiban-kewajiban akademik. Birokrasi menjadi dehumanisasi sistemik. Formulir beasiswa yang raib. Mahasiswa titipan yang menghabiskan kuota pendaftaran. Korupsi uang pembangunan. Premanisme yang kental. Dosen-dosen bebal penyesap kembang.
Semua, semua kegilaan itu, biarkan kusimpan di atas guguran daun beringin, ranggas, berserak, membusuk, menjadi lanskap untuk iblis-iblis, saat mereka bertamasya dalam bencana.
Kali ini, akan kuceritakan sebuah kisah, tentang sekepal batu dan para demonstran. Batu yang menjadi tempat patung sang filosof bermenung mencari pertanyaan atas dunia. Batu yang juga ada di beranda rumah siapa saja, di tepian jalan atau di belakang kaca jendela yang pecah.
Begini ceritanya.
***
Selalu ada suara geram, terdengar samar, mula-mula berbisik, kian lama kian hingar. Aku tak pernah tertarik untuk mengetahui muasalnya,  sedikit pun tak pernah. Aku selalu berhasil mengacuhkannya. Hingga pada suatu hari, suara geram itu memanggil namaku, nama lengkapku.
“Hoi! Manusia bodoh! …” Begitu panggilnya, diikuti panggilan namaku yang lengkap dan benar ejaannya.
Aku terhenti, langkahku beku. Aku menoleh, di belakang tak ada siapa-siapa, begitupun di depan sana. Hanya gang kecil panjag, separit sungai, udara kosong yang mulai temaram, dan pertanyaan yang membentang.
Bodoh! Aku di sini!”
Teriak suara itu, nadanya terdengar geram. Aku masih celingukan mencari-cari sumber suara.
“Hantu Marxis?” Gumamku.
Tetap saja, tak ada siapa-siapa, hanya aku dan waktu senja yang sebentar lagi menyihir dunia menjadi kelam.
“Aku di bawahmu, bodoh!” Teriaknya, lebih kencang.
Aku tertunduk, aku melotot, tetap saja tidak ada siapa-siapa. Hanya ada sebongkah batu, sebesar kepal lengan. Batu jelek berwana kemerahan.
“Bodoh! Itu suaraku!”
“Busyet!” batu itu bicara.
Aku tak begitu saja percaya, terlebih aku sudah pernah membaca  metode keraguan Descartes. Aku menatap batu itu, menyelidiknya, kembali menoleh-noleh, celingukan, sendirian. Lengang, tak ada siapa-siapa, tapi tidak mungkin batu itu bicara.
“Aku yang bicara, batu ini. Siapa lagi?” Ucap batu itu.
“Wow!” Aku berdecak. Akhirnya aku memutuskan percaya.
“Kemarilah, dengarkan aku.” Pinta batu itu.
“Terus, apa yang harus kulakukan?” Aku membungkuk, menatapinya lekat.
“Genggam aku.”
“Terus?”
“Genggam saja dulu, kau akan tahu apa yang akan terjadi kemudian.”
“Apa yang akan terjadi kemudian?”
“Bodoh, aku tidak tahu! Kau belum menggenggamku, kalau kau ingin tahu apa yang akan terjadi kemudian, genggamlah aku!” Ucap batu itu, nada suaranya tak kumengerti, antara meminta dan memaksa.
“Aku tidak bisa, aku ingat ada peluru berdesingan karena sebongkah batu menumbuk kaca Starbuck di Seattle. Aku ingat ada nyawa yang hilang karena sebongkah batu beterbangan dari dua kubu suporter sepakbola. Aku juga ingat ada banyak orang hilang karena sebongkah batu, berhujan ke arah barikade polisi ketika demonstran turun ke jalan di bulan Mei 1998. Dan gara-gara batu juga, pembangunan kampus ini begitu lama terbengkalai.”
“Apa maksud kau dengan kampus ini? Apa hubungannya dengan  batu?”
“Ya membangun kampus itu butuh batu, bukan butuh kepala batu apalagi hati batu.” Ucapku.
“Masa bodoh dengan batu-batu itu! Aku batu istimewa, genggamlah aku.” Batu itu kini melengis, sepertinya memohon, amat sangat ingin digenggam.
“Kamu seharusnya membaca lebih banyak buku, dan kamu seharusnya tahu, Newton menemukan hukum gravitasi karena melihat buah apel, bukan melihat batu. Itu sebabnya aku tidak ingin menggenggam kamu.”
“Kamu akan kulempar!” Batu itu mengancam.
“Ha ha ha... Bagaimana mungkin batu melempar dirinya sendiri. Ha ha ha... Selamat tinggal batu yang aneh...” Aku menatapnya untuk pengakhiran, kemudian berlalu. Aku mendengarnya mengumpat-ngumpat, entah apa yang dikatakannya. Kurasa batu itu marah karena permintaannya kutinggalkan, kesepian.
Langkahku belum genap sepuluh, tiba-tiba punggungku yang menggendong tas, ditumbuk benda keras.
Peletak!
Aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa.
Di bawahku, batu itu terkekeh, menertawakan. Aku kesal, jengah, dendam. Betapa batu itu telah mengolok derajat kemanusiaanku! Absurditasku! Eksistensiku!.
“Kenapa marah? Setidaknya kau kini percaya, bahwa ada batu yang bisa melemparkan dirinya sendiri. Hi hi hi...” Batu itu semakin terkekeh, jika saja batu itu punya mata, aku mungkin sudah menjadi objek yang ditatapnya.
Seettt... aku meraih batu itu, menggenggamnya, dan melemparkannya jauh ke ujung parit di pinggir gang.
“Berenanglah dengan gaya batu! Bodoh!
Teriakku kepada batu yang tenggelam. Aku merasa sangat geram!
***
Hari sudah nyaris siang ketika aku berangkat menuju kelas, memenuhi panggilan mata kuliah paling agung di Cibiru ini, filsafat. Pelajaran menjadi serigala, studi menjadi robot, pendidikan yang menggodok akal untuk semakin terasing. Itulah mata kuliah paling agung, selebihnya adalah mata kuliah yang tak bermakna.
Ada yang aneh dengan rutinitas hari ini.
Semua dosen dan petinggi kampus, termasuk rektorat, turun ke jalan. Semuanya tumpah ruah, berbaur, menyemut, dan chaos. Mereka mengusung poster, membentang spanduk, berteriak dengan mikropon, mengepalkan tangan kiri di udara, mereka berdemonstrasi!
“Turunkan harga kemanusiaan!”
“Lawan hati nurani kalian!”
“Tolak keadilan sistemik!”
Ya, mereka bena-benar sedang berdemonstrasi. Menghasut para mahasiswanya yang berada di dalam kelas, mengampanyekan dehumanisasi agar dijadikan gaya hidup. Mereka terlihat heroik, bombastis dan berlaku tak ubahnya mesias untuk dunia. Secara keseluruhan, mereka berhasil menjadi badut yang paling tolol!
“Hari yang istimewa…” Gumamku.
Mataku menyapu barisan demonstran, aku melihat dosen ilmu bahasa berjalan teatrikal, meniru robot. Tapi tidak hanya dia, semuanya berjalan seperti robot. Tidak hanya itu, semuanya berkepala anjing. Wow, kostum demonstrasi mereka memang keren, apakah itu kostum? Ataukah itu sungguhan?
Aku tidak tahu, aku hanya merasa seru menonton badut-badut itu.
“Kopi hitam, satu.” Ucapku, kepada pedagang kopi di kampus itu.
***
“Kenapa kau diam saja, bodoh! Tinggalkan kopimu! Lihat mereka, turunlah dan rayakan perlawanan! Genggam aku dan lemparkan!” Tiba-tiba di bawah sana, di sebelah kakiku, batu kemarin sore yang kulemparkan ke dasar parit, sudah menemukanku lagi.
Busyet, kamu lagi. Ngapain sih, ngikut-ngikut terus?”
Aku sebenarnya terkejut, tapi aku ini manusia, aku harus jaga eksistensi di hadapan batu. “Aku lagi ngopi...” sambungku, acuh..
“Menjadi mahasiswa tidak akan selesai hanya dengan ngopi, kamu butuh aku, kamu butuh perubahan kamu harus melempar barisan serigala robot itu!”
“Tidak.” Aku menyesap kopi. Rasa hangat merambat di urat leherku, melumer di dalam dadaku. Mengucek jiwaku dengan tarian asap yang genit.
“Baiklah...” ucap batu itu, nadanya terdengar penuh dendam.
Batu itu seketika melayang dan menyelinap ke genggaman tanganku. Aku terkesiap dan tidak tahu apa yang terjadi. Tanganku digerakan batu itu, tanganku menjadi tak terkendali.
Swung!
Batu itu melemparkan dirinya sendiri melalui tanganku.
Semesta raya seketika menjadi tayangan lambat. Aku bisa melihat batu itu menembus udara, melayang di ketinggian, melesat ke awang-awang, melampaui barisan serigala robot yang berdemonstrasi. Menembus waktu yang berdetak seperti lelehan mentega, lambat!
Batu itu terus melayang, semakin tinggi.
Segalanya membeku sejenak, ketika batu itu berada pada titik tertinggi. Dunia seperti gambar dalam bingkai, diam dalam tampilan dua dimensi. Sehelai daun beringin tertahan di udara, burung kecil melayang tanpa gerak di celah daun-daun. Semesta membeku, sunyi, dan murung.
Dunia kembali bergerak, batu itu menukik.
Batu itu melayang di udara, menembus angin, semakin jauh meninggalkan genggaman tanganku, meninggalkan pertanyaan-pertanyaanku. Batu itu melesat ke bawah, menuruni angkasa, melesat menuju jidat.
“Pak Rektor...” Aku bergumam, mataku mendelik, jarak antara jidat Pak Rektor dan batu itu hanya sejengkal.
Aku meringis, aku tak kuasa membayangkan jidat itu akan pecah, atau setidaknya memar dan meneteskan darah, sebagaimana jidat-jidat yang menjadi korban batu dalam banyak aksi demonstrasi yang rusuh.
Pletak!
Aku berada cukup jauh dari Pak Rektor, tapi suara tumbukan batu itu terdengar nyaring. Hanya batu itu yang bersuara, selebihnya adala kesunyian, mulut para serigala robot dalam tayangan lambat memang terlihat mangap-mangap, tapi tanpa suara. Hanya mangap-mangap. Hanya batu itu saja yang ada suaranya.
Darah merah muncrat di angkasa, memulas udara, memulas gedung kampus, memulas langit, memulas apa saja menjadi serba merah.
“Lihat dunia ini, bodoh! Betapa merah adalah warna yang magis, bukan.” Ucap batu itu, dari kejauhan. Suaranya adalah yang paling tegas kudengar, memang tak ada suara lain, hanya ada suara batu yang warnanya tak lagi hitam. Seluruh dirinya telah berubah menjadi merah, sewarna darah.
Batu itu melesat kembali ke genggaman tanganku.
Menggerakkan tanganku dengan sangat kuat.
Melemparkan dirinya sendiri melalui tanganku.
Pletak! Jidat pembantu rektor dicocol batu. Pletak! Jidat kajur filsafat dicium batu. Pletak! Jidat ketua UKM Suaka digigit batu. Pletak! Kepala semua orang dibentur batu.
Pletak!
            Batu membentur kepalaku.
Bandung, 30 Januari 2013

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Kepala Batu (Cerpen Tentang IAIN SGD yang Kini UIN SGD BDG)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar