KEPALA BATU
Cibiru, aku selalu merasa jatuh
cinta di setiap senjanya yang merah, ungu, kemudian kelam mengekalkan sekian banyak pertanyaan. Di sana, di celah senja, selalu ada uar asap kopi yang hangat. Segelas kopi yang membuatku, masih merasa menjadi manusia.
Dalam kafein bercampur gula dan
air panas yang segelas, di sanalah nalarku berkubang, jiwaku menari segenit uar
asap, seriang kehangatan, seabsurd sintesa rasa manis dan pahit, berkoloni dengan cekungan gelas waktu. Berkawan selarik kemurungan para eksistensialis, sebaris kegusaran hantu-hantu marxis, juga serpihan sajak cinta Gibran yang ngungun berdarah-darah.
Cibiru di sana ada segala macam
sihir. Mengutuk siapa saja menjadi serigala, atas nama KRS dan
kewajiban-kewajiban akademik. Birokrasi menjadi dehumanisasi sistemik. Formulir
beasiswa yang raib. Mahasiswa titipan yang menghabiskan kuota pendaftaran. Korupsi uang pembangunan. Premanisme
yang kental. Dosen-dosen bebal penyesap kembang.
Semua,
semua kegilaan itu, biarkan kusimpan di atas guguran daun beringin, ranggas, berserak, membusuk, menjadi lanskap untuk iblis-iblis, saat mereka bertamasya dalam bencana.
Kali
ini, akan kuceritakan sebuah kisah,
tentang sekepal batu dan para
demonstran. Batu yang menjadi tempat
patung sang filosof bermenung mencari pertanyaan atas dunia. Batu yang juga ada
di beranda rumah siapa saja, di tepian jalan atau di belakang kaca jendela yang
pecah.
Begini
ceritanya.
***
Selalu
ada suara geram, terdengar samar, mula-mula berbisik, kian lama kian hingar.
Aku tak pernah tertarik untuk mengetahui muasalnya, sedikit pun tak pernah. Aku selalu berhasil mengacuhkannya. Hingga pada suatu hari,
suara geram itu memanggil namaku, nama lengkapku.
“Hoi! Manusia bodoh! …” Begitu
panggilnya, diikuti panggilan namaku yang lengkap dan benar ejaannya.
Aku
terhenti, langkahku beku. Aku
menoleh, di belakang tak ada siapa-siapa, begitupun di depan sana.
Hanya gang kecil panjag, separit sungai, udara kosong yang mulai temaram, dan pertanyaan yang membentang.
“Bodoh! Aku di sini!”
Teriak
suara itu, nadanya terdengar geram. Aku masih celingukan mencari-cari sumber suara.
“Hantu Marxis?” Gumamku.
Tetap saja, tak ada siapa-siapa, hanya aku dan
waktu senja yang sebentar lagi menyihir dunia menjadi kelam.
“Aku
di bawahmu, bodoh!” Teriaknya, lebih kencang.
Aku
tertunduk, aku melotot, tetap saja tidak ada siapa-siapa. Hanya ada sebongkah
batu, sebesar kepal lengan. Batu jelek
berwana kemerahan.
“Bodoh!
Itu suaraku!”
“Busyet!” batu itu bicara.
Aku
tak begitu saja percaya, terlebih aku sudah pernah membaca metode keraguan
Descartes. Aku menatap batu itu, menyelidiknya, kembali menoleh-noleh, celingukan, sendirian. Lengang, tak ada siapa-siapa,
tapi tidak mungkin batu itu bicara.
“Aku
yang bicara, batu ini. Siapa
lagi?” Ucap batu itu.
“Wow!” Aku berdecak. Akhirnya aku
memutuskan percaya.
“Kemarilah, dengarkan aku.” Pinta
batu itu.
“Terus,
apa yang harus kulakukan?” Aku membungkuk, menatapinya lekat.
“Genggam
aku.”
“Terus?”
“Genggam
saja dulu, kau akan tahu apa yang akan terjadi kemudian.”
“Apa
yang akan terjadi kemudian?”
“Bodoh,
aku tidak tahu! Kau belum menggenggamku, kalau kau ingin tahu apa yang akan
terjadi kemudian, genggamlah aku!” Ucap batu itu, nada suaranya tak kumengerti,
antara meminta dan memaksa.
“Aku
tidak bisa, aku ingat ada peluru berdesingan karena sebongkah batu menumbuk
kaca Starbuck di Seattle. Aku ingat
ada nyawa yang hilang karena sebongkah batu beterbangan dari dua kubu suporter
sepakbola. Aku juga ingat ada banyak orang hilang karena sebongkah batu,
berhujan ke arah barikade polisi ketika demonstran turun ke jalan di bulan Mei 1998. Dan gara-gara batu juga, pembangunan kampus ini
begitu lama terbengkalai.”
“Apa maksud kau dengan kampus ini?
Apa hubungannya dengan batu?”
“Ya membangun kampus itu butuh batu,
bukan butuh kepala batu apalagi hati batu.” Ucapku.
“Masa
bodoh dengan batu-batu itu! Aku batu istimewa, genggamlah aku.” Batu itu kini
melengis, sepertinya memohon, amat sangat ingin digenggam.
“Kamu
seharusnya membaca lebih banyak buku, dan kamu seharusnya tahu, Newton
menemukan hukum gravitasi karena melihat buah apel, bukan melihat batu. Itu
sebabnya aku tidak ingin menggenggam
kamu.”
“Kamu
akan kulempar!” Batu itu mengancam.
“Ha
ha ha... Bagaimana mungkin batu melempar dirinya sendiri. Ha ha ha... Selamat
tinggal batu yang aneh...” Aku menatapnya untuk pengakhiran, kemudian berlalu. Aku mendengarnya mengumpat-ngumpat, entah apa yang
dikatakannya. Kurasa batu itu marah karena permintaannya kutinggalkan, kesepian.
Langkahku
belum genap sepuluh, tiba-tiba punggungku yang menggendong tas, ditumbuk benda
keras.
Peletak!
Aku
menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa.
Di bawahku, batu itu terkekeh, menertawakan.
Aku kesal, jengah, dendam. Betapa batu itu telah mengolok derajat kemanusiaanku! Absurditasku!
Eksistensiku!.
“Kenapa
marah? Setidaknya kau kini percaya, bahwa ada batu yang bisa melemparkan
dirinya sendiri. Hi hi hi...” Batu itu semakin terkekeh, jika saja batu itu
punya mata, aku mungkin sudah menjadi objek yang ditatapnya.
Seettt... aku meraih
batu itu, menggenggamnya, dan melemparkannya jauh ke ujung parit di pinggir gang.
“Berenanglah
dengan gaya batu! Bodoh!”
Teriakku
kepada batu yang tenggelam. Aku merasa
sangat geram!
***
Hari
sudah nyaris siang ketika aku berangkat menuju kelas, memenuhi panggilan mata
kuliah paling agung di Cibiru ini, filsafat. Pelajaran menjadi serigala, studi
menjadi robot, pendidikan yang menggodok akal untuk semakin terasing. Itulah
mata kuliah paling agung, selebihnya adalah mata kuliah yang tak bermakna.
Ada
yang aneh dengan rutinitas hari ini.
Semua dosen dan petinggi kampus,
termasuk rektorat, turun ke jalan. Semuanya tumpah ruah, berbaur,
menyemut, dan chaos. Mereka mengusung poster, membentang spanduk, berteriak
dengan mikropon, mengepalkan tangan kiri di udara, mereka berdemonstrasi!
“Turunkan harga kemanusiaan!”
“Lawan hati nurani kalian!”
“Tolak keadilan sistemik!”
Ya, mereka bena-benar sedang
berdemonstrasi. Menghasut para mahasiswanya yang berada di dalam kelas,
mengampanyekan dehumanisasi agar dijadikan gaya hidup. Mereka terlihat heroik,
bombastis dan berlaku tak ubahnya mesias untuk dunia. Secara keseluruhan, mereka
berhasil menjadi badut yang paling tolol!
“Hari yang istimewa…” Gumamku.
Mataku menyapu barisan demonstran,
aku melihat dosen ilmu bahasa berjalan teatrikal, meniru robot. Tapi tidak
hanya dia, semuanya berjalan seperti robot. Tidak hanya itu, semuanya berkepala
anjing. Wow, kostum demonstrasi mereka memang keren, apakah itu kostum? Ataukah
itu sungguhan?
Aku tidak tahu, aku hanya merasa seru
menonton badut-badut itu.
“Kopi hitam, satu.” Ucapku, kepada
pedagang kopi di kampus itu.
***
“Kenapa
kau diam saja, bodoh! Tinggalkan
kopimu! Lihat mereka, turunlah dan rayakan perlawanan! Genggam aku
dan lemparkan!” Tiba-tiba di bawah sana, di sebelah kakiku, batu kemarin sore yang kulemparkan ke dasar parit, sudah
menemukanku lagi.
“Busyet, kamu lagi. Ngapain sih, ngikut-ngikut terus?”
Aku sebenarnya terkejut, tapi aku ini
manusia, aku harus jaga eksistensi di hadapan batu. “Aku lagi ngopi...”
sambungku, acuh..
“Menjadi
mahasiswa tidak akan selesai hanya dengan ngopi, kamu butuh aku, kamu butuh
perubahan kamu harus melempar barisan serigala robot itu!”
“Tidak.” Aku menyesap kopi. Rasa hangat merambat di urat
leherku, melumer di dalam dadaku. Mengucek jiwaku dengan tarian asap yang
genit.
“Baiklah...” ucap batu itu, nadanya terdengar penuh dendam.
Batu
itu seketika melayang dan menyelinap ke genggaman tanganku. Aku terkesiap dan tidak tahu apa yang terjadi. Tanganku
digerakan batu itu, tanganku menjadi tak terkendali.
Swung!
Batu
itu melemparkan dirinya sendiri melalui
tanganku.
Semesta
raya seketika menjadi tayangan lambat.
Aku bisa melihat batu itu menembus
udara, melayang di ketinggian, melesat ke
awang-awang, melampaui barisan
serigala robot yang berdemonstrasi. Menembus waktu yang berdetak seperti lelehan mentega, lambat!
Batu
itu terus melayang, semakin tinggi.
Segalanya
membeku sejenak, ketika
batu itu berada pada titik tertinggi. Dunia
seperti gambar dalam bingkai, diam dalam tampilan
dua dimensi. Sehelai daun beringin tertahan di udara, burung kecil melayang
tanpa gerak di celah daun-daun. Semesta membeku, sunyi, dan murung.
Dunia
kembali bergerak, batu itu menukik.
Batu itu melayang di
udara, menembus angin, semakin jauh meninggalkan genggaman tanganku,
meninggalkan pertanyaan-pertanyaanku. Batu itu melesat ke bawah, menuruni angkasa, melesat menuju jidat.
“Pak
Rektor...” Aku bergumam, mataku mendelik, jarak antara jidat Pak Rektor dan
batu itu hanya sejengkal.
Aku
meringis, aku tak kuasa membayangkan jidat itu akan pecah, atau setidaknya
memar dan meneteskan darah, sebagaimana jidat-jidat yang menjadi korban batu
dalam banyak aksi demonstrasi yang rusuh.
Pletak!
Aku
berada cukup jauh dari Pak Rektor, tapi suara tumbukan batu itu terdengar nyaring. Hanya batu itu yang bersuara,
selebihnya adala kesunyian, mulut para serigala robot dalam tayangan lambat
memang terlihat mangap-mangap, tapi tanpa suara. Hanya mangap-mangap. Hanya
batu itu saja yang ada suaranya.
Darah merah muncrat di angkasa,
memulas udara, memulas gedung kampus, memulas langit, memulas apa saja menjadi
serba merah.
“Lihat
dunia ini, bodoh! Betapa merah adalah warna yang magis, bukan.” Ucap batu itu, dari kejauhan. Suaranya adalah yang paling tegas
kudengar, memang tak ada suara lain, hanya ada suara batu yang warnanya tak
lagi hitam. Seluruh
dirinya telah berubah menjadi merah,
sewarna darah.
Batu
itu melesat kembali ke genggaman tanganku.
Menggerakkan tanganku dengan sangat kuat.
Melemparkan dirinya
sendiri melalui tanganku.
Pletak! Jidat
pembantu rektor dicocol batu. Pletak!
Jidat kajur filsafat dicium batu. Pletak!
Jidat ketua UKM Suaka digigit batu. Pletak!
Kepala semua orang dibentur batu.
Pletak!
Batu membentur kepalaku.
Batu membentur kepalaku.
Bandung, 30 Januari 2013
Belum ada tanggapan untuk "Kepala Batu (Cerpen Tentang IAIN SGD yang Kini UIN SGD BDG)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar