KUDETA
Absurditas Malka
Dia bermimpi.
Dia terduduk di atas kursi, di sebuah ruangan yang dikepung ratusan lampu sorot yang terang. Lampu yang membuat warna kursi tak terlihat jelas, hanya terang satu-satunya rona di dalam ruangan.
Dari permukaan lantai yang juga terang, perlahan bermunculan bayang-bayang hitam. Bayangan tubuhnya sendiri, ratusan, tumpang tindih, bertumpuk-tumpuk. Dia melihat bayang-bayangnya berlepasan, meninggalkan tubuhnya, bergerak-gerak bebas di atas lantai, di tembok, di kekosongan ruang. Bayang-bayang itu hidup.
“Apakah aku bermimpi?” Dia mengusap keringat di jidat, dingin, lengket.
Ratusan bayang-bayang di atas lantai bergerak-gerak bebas, merayap ke dinding, berdiri di depannya, berjingkrak, menari, memutarinya. Putarannya semakin kencang, berdesing, ratusan bayang-bayang menjadi satu, meramu kabut hitam yang pekat.
Dia berteriak-teriak, tangannya menepis-nepis kabut hitam. Percuma, seisi ruang yang tadi terang, kini sempurna menjadi hitam. Tangannya tak sanggup mengurai kabut kelam.
Dia semakin kalap, semakin berteriak-teriak! “Ajudan!”
Dia terbelalak, keringat sebesar biji jagung terpeleset dari sekujur tubuhnya. Membasah di baju tidurnya. Nafasnya berdengus-dengus.
“Ayah, pasti bermimpi” Istrinya menyalakan lampu kamar. Tanganya mengusap dahi dia. “Ani, aku bermimpi.” Dia menjawab tercekat. Tangannya erat mencengkram jemari Ani, matanya berkaca-kaca menatap jarak antara dirinya dan istrinya.
Mata Ani lumer, menjadi kabut hitam, diikuti pipi, rambut, kepala, dan seluruh tubuh Ani menjadi kabut hitam. Dia terbelalak, kabut itu berputar membalutnya dalam kelam. Dia menjerit!
“Ajudan!”
Pintu kamar terbuka, dua lelaki berseragam militer memburunya. Dia tersengal-sengal, jantungnya berdebum-debum. Kabut yang tadi melilitnya, sudah terurai, hilang tak berjejak. Seisi ruangan terlihat tenang.
“Apakah Tuan bermimpi?” Ajudan bertindak sigap, satu mengamankan ruangan, satu memeriksa keadaan dia.
“Apakah aku bermimpi?”
Dia mereguk air bening di dalam gelas. Dengusnya mengendur, jantungnya tak lagi menabuh debum. Matanya berlarian ke sekeliling ruangan, tak ada yang aneh, tak ada kabut hitam.
***
Dia terjaga.
Di kursi yang sama, di kursi yang didudukinya dalam sebuah ruang kosong yang ditumbuk ratusan lampu sorot. Dia melihat bayang-bayang tubuhnya membebaskan diri. Dia juga melihat istrinya Ani, Agis, dan Iban, diculik bayang-bayang itu. Semua keluarganya diculik kabut hitam!
Dia melihat dengan begitu nyata, keluarganya seperti balon gas, ringan melayang di udara, diterbangkan kabut hitam yang menlilit. Mereka melayang semakin tinggi, semakin jauh, menembus cahaya, hilang.
“Ajudan!” Dia berteriak, suaranya bergeletar.
Dua lelaki berseragam militer memburunya. Dia tersedak, batuk, bergetaran, seluruh tubuhnya kuyup oleh keringat yang sangat dingin, lengket.
“Apakah aku bermimpi?” ucapnya tercekat.
Tangannya terulur, meminta ajudan untuk memberinya minum segelas air bening. Ajudan menyodorkan gelas berisi air bening, ajudan lain mengamankan ruangan kamar.
Dia merogoh gelas, menyentuhnya. Gelas itu lumer, menjadi kabut hitam. Begitupun tangan ajudan itu, lumer. Diikuti seluruh tubuhnya yang lumer menjadi kabut.
Kabut itu berputar, berdesing, mengepungnya, melilitnya. Dia terbelalak, dia menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya. Dia merasakan selimut yang dicengkeramnya juga lumer. Dia merasakan seluruh selimut yang merungkup tubuhnya, lumer. Dia membuka mata, dia melihat seluruh selimut menjadi kabut. Seluruh tempat tidur, menjadi kabut. Seluruh ruangan, menjadi kabut.
“Ajudan!” Dia berteriak, menggelegar.
Suara teriakannya hilang, ditelan kabut yang berdesing. Dia melayang-layang di udara, dibalut kabut hitam. Dia meronta, dia berjerit-jerit, dia menangis.
“Kamu hanya bermimpi.” Ucap dia kepada dirinya sendiri di dalam mimpi.
***
Dia bermimpi.
Ratusan bayang-bayang tubuhnya tergeletak di atas lantai, tumpang tindih. Seluruh lantai di ruangan itu, meskipun disiniri lampu yang sangat terang, menjadi kelam dipulas sekian banyak bayang-bayang.
“Mimpi ini lagi.” Jeritnya, dia memelas, berharap terbangun dari mimpi buruknya.
Bayang-bayang itu kali ini tidak melepaskan diri, mereka tetap tergeletak di lantai, diam, sebagaimana bayangan adanya, hanya bergerak ketika dia bergerak.
Dari balik cahaya, dia melihat anaknya Agis, menyembul. Wajah anaknya terlihat dingin, tidak ada senyum, tidak ada sapa, terlihat beku, berjalan kaku mendekatinya.
“Agis, apakah Ayah bermimpi?” Ucapnya, tangannya mengambang di udara ingin menyentuh Agis. Dia tak sanggup, tubuhnya seolah ditakdirkan untuk menderita di kursi itu.
Dari balik cahaya yang lain, dia melihat Iban menyembul.
“Iban, apakah Ayah bermimpi?” Dia meraba-raba mukanya sendiri, memastikan apa yang dilihatnya hanyalah mimpi. Dia merengut, kesal, kalap. Akalnya tak mampu lagi membedakan mimpi dan nyata.
Ani yang kaku, dingin, dan terlihat sunyi sebagaimana kedua anaknya, juga menyembul dari balik dinding cahaya.
“Ani, katakanlah ini hanya mimpi!” Dia sesenggukan, menutupi mukanya sendiri.
Dari tembok ruangan yang terang, tak henti bersembulan keluarganya. Ani lagi, Iban lagi, Agis lagi, terus dan terus bersembulan. Semuanya bergerak kaku, semakin mendekatinya.
Ruangan yang penuh cahaya itu menjadi sesak oleh keluarganya yang terlihat beku, kaku. Di dalam ruangan ada banyak tubuh, semuanya sama, tubuh yang sama, tubuh keluarganya sendiri yang menjadi berlipat ganda.
“Ajudan!” Dia menjerit!
Pintu kamar terbuka, tiga petugas berseragam militer memburunya. Dia terperanjat, terbelalak. Ajudan yang biasa menjaganya dari mimpi, entah ke mana. Tiga sosok ajudan yang memburunya kini tak lain, keluarganya sendiri, anak dan istrinya.
***
“Ayah pasti bermimpi.” Ani tersenyum, tangannya menyodorkan segelas air bening. Iban memijat kakinya, begitupun Agis, mengusap-ngusap rambutnya. Dia merasa tenang, teramat sangat tenang.
Dua ajudan berseragam militer yang selalu setia dan menjaganya, terlihat ikut hadir di dalam ruangan. Satu berjaga di pintu masuk, satu lagi berjaga di jendela.
“Benarkah Ayah bermimpi?” ucapnya, nyaris bergumam.
“Apakah Ayah bermimpi seperti ini?” ucap Ani, seraya menjentikkan jemari. Seketika itu pula jemarinya melumer, menjadi kabut, diikuti seluruh tubuhnya, menjadi kabut.
“Atau mimpi yang seperti ini?” Ucap Agis, sembari menepuk tangan, seketika itu pula seluruh tubuhnya menjadi kabut.
“Mungkin mimpi yang seperti ini.” Iban sekonyong-konyong menjadi bayangan hitam, tergeletak di atas lantai, menggandakan diri.
“Barangkali mimpi yang begini, Tuan?”
Ucap kedua ajudannya. Mereka berdua ambruk seketika, menjadi kabut yang tumpah di atas lantai. Menguar di seluruh ruangan.
Kabut hitam semakin pekat, menjadi ratusan pasang tangan, merebut kursi yang didudukinya. Dia berontak, dia memukul-mukul tangan-tangan kabut. Percuma, kabut itu terurai dan kembali menjadi tangan kelam. Dia menjerit!
“Apakah aku bermimpi?” Dia bermandi keringat, mendelik, memejan mempertahankan kursinya.
Tangan-tangan kabut menculik kursi yang didudukinya, melayang-layang di udara, terbang seperti balon gas, berputar-putar di atas kepalanya.
Dia meronta, tangannya menggapai-gapai kekosongan, ingin merebut kursi itu lagi. Dia meronta, memejan, menangis.
“Kudeta...” Dia memekik. Dia sesenggukan.
“Ayah pasti bermimpi lagi.” Ani menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Dia terjaga, menggosok matanya berkali-kali. Ditatapnya Ani dengan sorot memisau. Disentuhnya, dicengkeramnya. Dia tersedu.
Air mata memarit dari sudut matanya, jatuh di atas lantai, menjadi kabut. Dia masih sesenggukan, ketika sebagian tubuhnya telah lumer, menjadi kabut. Hitam.
Belum ada tanggapan untuk "KUDETA (Tribun Jabar, Minggu - 12 Mei 2013)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar