Burung-Burung Pencuri Sesajen
Absurditas Malka*
Emak sudah murtad, kemudian Bapak juga ikut
murtad.
Aku
hanya tinggal menghitung hari, menunggu waktu ketika aku pun pada akhirnya
terbawa murtad. Tapi aku rela mati agar tidak terbawa murtad.
**
Rutin, Emak selalu menyulut dupa di lantai dua, di tempat jemur pakaian,
lengkap dengan sesajen. Semuanya disimpan dalam wadah yang terbuat dari janur
kuning. Rutinitas seperti itu, mirip dengan ritual sehari-hari orang beragama
Hindu. Bedanya hanya sedikit, Emak tidak memakai nasi dan sayur yang sudah
dimasak untuk isi sesajen. Emak memakai beras putih, lengkap dengan
kembang-kembang kecuali kembang sepatu yang terlarang. Emak bukan orang Hindu,
ia muslim.
“Kenapa Emak menyembah berhala?”
tanyaku pada suatu pagi ketika aku memergokinya menyulut dupa. Ratusan burung
gereja, beberapa ekor burung merpati berhamburan ke udara ketika aku datang
mendekatinya.
“Emak tidak menyembah berhala, hanya
menyalakan dupa, menyimpan sesajen, itu saja.” Emak mengacung-acungkan dupa ke
angkasa, asapnya yang semilir terbang ke udara, lalu sirna.
“Semua perbuatan ini, Mak… Serupa
dengan ritual agama lain. Emak sudah berbuat syirik.”
Emak tidak pernah menjawab, kecemasanku
selalu saja terkatung-katung, semakin murung, semakin bingung.
***
“Bapak sudah tahu tentang Emak yang
…” Aku sangat ragu ketika bermaksud memberitahukan Bapak perihal kebiasan Emak
menyulut dupa. Bapak termasuk muslim yang taat, aku takut dia marah besar. Aku
takut, Emak nanti dimarahi besar-besaran.
“Kamu baru tahu? Ha ha ha.” Bapak
terkekeh.
Aku kaget mendengar jawaban itu,
rupanya Bapak lebih dulu mengetahui kebiasaan Emak. Aku semakin kaget ketika
tahu Bapak kadang-kadang ikut menyulut dupa juga. Apakah mereka berdua sudah
murtad?
“Kadang Bapak juga ikut menyulut
dupa.” Ucap Bapak, enteng “Sesekali, ikutlah menyulut dupa bersama kami.”
Lanjutnya.
“Kalian ini kenapa sih?” Aku kesal,
kecewa. Tidak seharusnya Bapak berkata begitu, aku berharap sesuatu yang lain,
Bapak sebagai sosok yang taat dengan ajaran-ajaran agamanya, seharusnya tidak
menolelir sedikit pun perbuatan-perbuatan yang serupa dengan perbuatan orang
yang berbeda agama.
Setelah percakapan itu, aku tak
peduli lagi dengan dupa-dupa di tempat jemuran. Bahkan, jika pun Emak dan Bapak
benar-benar murtad, bukan urusanku. Mereka sudah tahu mana jalan yang benar,
mana jalan yang dosa besar.
“Dun, orang tuamu pindah agama ya?” tanya sahabatku,
Tito.
“Ngapain nanyain begituan?” jawabku kesal.
“Orang bilang Emak dan Bapakmu, suka
menyulut dupa di tempat jemuran?”
“Iya!” Jawabku kesal.
“Kok bisa?”
“Sana aja tanya sama Emak dan Bapak. Pusing aku!”
“Sabar ya Dun, semoga mereka tidak murtad.”
“Amin.”
Kelakuan Emak dan Bapak sudah
menjadi rahasia umum, orang-orang di perumahan menganggap mereka sudah murtad,
pindah agama. Aku pun sebenarnya ingin menganggap mereka murtad tapi aku masih
melihat keduanya salat, mengaji, tahajud, dan ibadah lain sebagaimana yang
dilakukan orang-orang muslim. Tidak ada satu pun yang ditinggalkan, tidak ada
satu pun yang berubah kecuali menyulut dupa itu.
“Sebelum kamu terbawa murtad,
sebaiknya kamu hijrah saja ke rumah saudaramu untuk sementara.” Tito memberi
saran yang masuk akal, saran yang selalu kutolak karena memang orang tuaku
tidak pernah dan tidak sekali pun memintaku berganti agama.
“Tidak usah, aku masih berharap
orang tuaku tidak melakukan itu lagi. Aku berharap Tuhan memberikan mereka
kesadaran.”
“Amin.”
Tito menengadahkan tangan kemudian mengusap wajahnya. Ia berdoa-doa
penuh kesungguhan.
***
“Mak, Pak, orang-orang di perumahan
sudah tahu semua, tentang ...” Kalimatku terpotong, Emak langsung menyambar.
“Tahu apa mereka?” ucap Emak,
suaranya sengau, tersumpal nasi di dalam mulutnya.
“Ya itu, mereka tahu kalau Emak dan
Bapak sudah murtad.” Ucapku, ragu. Bagaimanapun aku tidak ingin menyebut mereka
murtad tapi begitulah adanya yang kulihat, mereka sudah melenceng, tersesat
jauh, sangat jauh.
“Ha ha ha… murtad?” Bapak terbahak
mendengarku, begitupun Emak. Keduanya hanya menggeleng-gelengkan kepala, seakan
apa yang baru saja kukatakan adalah perkara paling lucu yang pernah mereka
dengar.
Waktu atau siapakah yang telah mengubah keimanan mereka menjadi
sedemikian rapuh, aku tak tahu. Kuharap bukan Tuhan yang telah mengubah mereka
menadi murtad.
“Kalian pikir itu lucu ya?” Nada
suaraku meninggi.
“Sudahlah, lanjutkan makanmu.” Emak
sangat malas untuk meladeni obrolanku yang mulai naik tensi.
“Iya lanjutkan saja makanmu, kalau
kamu masih penasaran Bapak sudah bilang, sesekali ikutlah menyulut dupa.”
Pungkas Bapak.
Blaaar!
Lagi, aku berasa disambar petir, benar apa yang dikatakan orang-orang, pasti
mereka sudah murtad. Lama-lama, mereka akan mengajakku pula untuk menjadi
murtad.
“Kamu tidak perlu meninggalkan rumah
ini. Bapak tidak akan mengajakmu untuk murtad. Ya, maksudmu kita ini murtad,
kan?” Bapak sepertinya tahu benar apa yang berada di dalam pikiranku.
“Suatu hari, kamu akan mengerti.”
Emak mengusap bahuku, melipur amarahku yang membara.
“Kalian murtad!”
Sore itulah, pertama kalinya aku
membentak kedua orang tuaku, suaraku seperti anjing, mendengking. Aku tidak
ingin membentaknya tapi rasa kecewa, marah, sedih, dan entah apa lagi telah
membuat lidahku melontarkan bentakan. Tidak hanya membentak, aku juga
melemparkan gelas ke lantai. Agar mereka mengerti bahwa aku sangat, sangat,
sangat kecewa. Sangat bersedih.
***
Kata-kata Bapak semakin hari semakin
terngiang dalam ingatan, aku semakin terganjal, sekaligus semakin penasaran, “Sesekali cobalah menyulut dupa bersama
kami.” Setiap aku mengingat ucapan Bapak, setiap itu pula aku merasa sakit
hati, sekaligus penasaran.
Tanpa sepengetahuan Emak dan Bapak,
aku pergi ke tempat jemuran. Ratusan burung gereja, burung pipit, dan beberapa
ekor burung merpati berhamburan ke udara ketika aku tiba di tempat jemuran.
“Sesajen bodoh, sia-sia saja
nasibmu, akhirnya menjadi santapan burung.” Aku menendang kotak janur tempat
biasanya Emak dan Bapak menyimpan bunga persembahan dan beras putih ke
dalamnya. Aku juga merenggut dupa yang masih mengepul, mematahkannya. Buliran
beras yang masih tersisa di dalam kotak janur berhamburan di lantai jemuran.
Burung-burung yang tadi sempat terbang menjauh kini kembali mendekat,
hinggap di lantai jemuran, berebut beras yang awur-awuran.
“Dupa bodoh.” Aku melemparkan dupa
ke genting rumah, burung-burung beterbangan lagi, menjauh. Mereka sepertinya
kembali mematuki beras di lantai jemuran setelah aku pergi menuju dapur.
“Mak, sampai kapan melakukan dosa
semacam itu, tidak ada dewa di dunia ini, Tuhan itu hanya satu. Lagian
sesajennya juga tidak berguna, dimakan burung-burung.” Aku coba berdialog
dengan Emak.
“Biarkan saja dimakan burung.” Jawab
Emak, singkat saja.
“Emak tidak takut berdosa?” Emak
tidak bicara, aku didiamkan tanpa kata-kata, “Terserah Emak sajalah, aku sudah
mengingatkan.” Ucapku, ketus.
“Maukah kamu menolong Emak?”
tiba-tiba Emak bicara, suaranya seakan tangan-tangan kekar yang menahan tubuhku
tanpa perlawanan ketika sudah beberapa langkah menuju ruangan lain di dalam
rumah.
“Nanti sore Emak dan Bapak akan
pergi ke luar kota.” Emak berhenti bicara, tangannya menarik laci, “Tolong kamu
sulutkan dupa untuk kami.” Tangannya mengeluarkan tiga dupa dari dalam laci,
menyimpannya di atas meja, “Sesajennya sudah disiapkan, kamu tinggal
menyimpannya saja di tempat jemuran.”
Emak tidak menoleh ke arahku yang
merah padam. Bagaimana bisa ia menyuruhku melakukan perbuatan dosa besar yang
kubenci itu? Bagaimana bisa ia begitu santai seolah aku akan memenuhi
permintaannya?
“Mak, maafkan anakmu ini. Aku tidak
bisa memenuhi permintaan itu. Aku tidak ingin menyekutukan Tuhan.” Jawabku
kemudian berlalu.
“Kalau besok kamu mau menyulutnya,
semua sudah disiapkan di meja.” Meskipun sudah berada di ruangan lain, aku bisa
mendengar apa yang diucapkan Emak dari dapur.
“Bermimpilah, Mak.” Gumamku, sedih.
***
Setelah berwudu, ketika melintasi
meja makan di dapur, aku melihat tiga batang dupa tergolek bersebelahan dengan
kotak janur tempat menyimpan sesajen, bunga-bunga segar memenuhi mangkuk kaca,
termasuk segelas beras putih. Aku merasa jijik melihatnya, aku tidak akan
pernah melakukan permintaan Emak.
Setelah salat subuh, aku kembali
teringat dupa di atas meja, teringat pula permintaan Emak. Batinku berperang,
untuk mengacuhkan dupa-dupa di meja makan atau menyulutkannya untuk Emak dan
Bapak.
“Apakah aku akan berdosa?”
Kugenggam dupa-dupa, kugenggam pula
sesajen dan perlengkapannya yang sudah disediakan, lengkap dengan korek api
yang masih utuh. Aku membawanya ke tempat jemuran.
“Aku tidak akan melakukannya, Mak.”
Batinku semakin berperang.
Tanganku bergetar ketika api
melentik di ujung korek, membakar kayu dupa. Tanganku semakin bergetar ketika
dupa telah menyala dan aromanya yang asing membuat dadaku berdebum-debum. Aku
mendengar kelepak sayap beberapa ekor burung, berdatangan entah dari mana.
Kutancapkan dupa pertama di wadah
sesajen. Aku mendengar burung-burung semakin banyak yang berdatangan. Kusulut
dan kutancapkan lagi dupa kedua, aku mendengar lebih banyak lagi burung yang
berterbangan, mendekat dan hinggap di tali jemuran. Aku tengadah, betapa tali
jemuran itu tidak menyisakan ruang kosong, habis dipakai bertengger
burung-burung. Masih banyak burung-burung yang berputar-putar di angkasa,
mungkin karena tidak kebagian tempat untuk bertengger di tali jemuran.
Kusulut dupa terakhir, kutancapkan di tempat yang sama. Sebagaimana
tongkat sihir, dupa itu seakan mengomando semua burung untuk berebut beras di
dalam kotak sesajen. Aku terpental, aku terkejut, aku tidak mengira semua itu
akan terjadi.
Lama-lama, aku tertawa, betapa
pemandangan itu sangat langka. Aku ambil seciduk beras di dalam kotak, aku
tengadahkan tanganku ke angkasa, burung-burung itu hinggap dan berebut beras
dari tanganku. Aku merasa bahagia. Aku bersukacita.
“Besok, aku akan membakar dupa
lagi.”
Ubud-Bali, Oktober 2014
*) Absurditas Malka lahir di Karawang dan
bekerja di PKL Panglima Ikan Bakar, Bandung.
Belum ada tanggapan untuk "Burung-Burung Pencuri Sesajen (Pikiran Raykat, Minggu 26 Oktober 2014)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar