Dagelan Penipu Rakyat 2014
Cerpen karya Absurditas
Malka*
Monyet-monyet
menjerit-jerit. Monyet-monyet bergelantungan. Monyet-monyet berjempalitan.
Monyet-monyet saling mencakar. Monyet-monyet saling menggigit. Dasar monyet!
*
Kopiku belum tandas ketika Ningsih
menyeruak dari dalam rumah, menagih janji. Aku sebenarnya tidak ingat apa yang
pernah kujanjikan kepadanya? Karierku di dunia politik telah membuatku sering lupa.
Terutama lupa janji. Tepatnya ingkar janji.
“Ayah pasti lupa.” Ningsih
mengerut, cemberut. Tangan mungilnya menggerayangi lembaran koran yang sedang
kubaca, “Ayah sudah janji kita akan pergi ke kebun binatang. Masa lupa?” Ningsih
merajuk, menagih janji.
“O, Ayah tidak lupa. Ayah selesaikan
dulu baca berita ini, nanti satu jam lagi kita berangkat. Oke?” Aku mengulurkan
lima jemariku, Ningsih membalasnya, telapak tangan kita bertepuk di udara.
Senyum riang rekah di bibir Ningsih.
Aku benar-benar lupa, aku juga lupa
kenapa harus berjanji mengajak Ningsih tamasya ke kebun binatang. Duniaku,
dunia politik sudah serupa dunia binatang, sudah bosan aku dengan aksi-aksi
binatang-binatangan. Tapi sudahlah, sekali saja politisi ini bolehlah terpaksa
menepati janji.
***
“Maaf Pak, hari ini kebun binatangnya
sedang libur.” Jawab petugas kebun binatang ketika aku celingukan di tempat
penjualan tiket yang tertutup.
“Biasanya
kan buka, kok libur sih?” Aku garuk-garuk kepala. Mataku melihat sudut-sudut
bibir Ningsih digelayuti cemberut.
“Iya
Pak, kebun binatangnya sedang dipakai musyawarah.”
“Musyawarah
apaan, masa musyawarah di kebun binatang?”
“Musyawarah monyet, Pak.”
Aku ingin terbahak mendengar
penjelasannya tapi wajah penjaga keamanan itu tidak terlihat sedang bercanda.
Lagi, aku garuk-garuk kepala. Ningsih meremas lenganku, aku bisa merasakan
kekecewaan mengalir di nadinya. Aku sudah banyak gagal mengurus janji kepada
rakyat, setidaknya aku tak gagal mengurus janjiku kepada Ningsih.
Setelah berbisik-bisik kepada
petugas keamanan dan menyelipkan beberapa lembar uang seratus ribuan, aku dan
Ningsih bisa melenggang. Berdua menonton musyawarah monyet di kebun binatang.
Ingat, aku ini politisi, bisa mengatasi apa saja dengan mudah. Tinggal lobi
sedikit, jalan pun lancar, rintangan bisa disingkirkan.
“Lihat Ayah, lihat! Monyet-monyet
itu lucu sekali, seperti pejabat!” Teriak Ningsih, telunjuknya menuduh-nuduh ke
arah monyet-monyet yang duduk manis di dalam gedung aula, tepat di tengah kebun
binatang.
Ya, monyet-monyet itu semuanya
berkostum keren, memakai jas, dasi, sepatu, lengkap dengan peci hitam. Ah,
sialan, kenapa harus berpakaian seperti itu, seperti anggota MPR atau DPR yang
di tayangan televise, perlente. Aku merasa menjadi bagian dari mereka, aku
merasa serupa dengan monyet-monyet. Semoga itu sekadar perasaan belaka. Semoga.
“Pakaian monyetnya mirip Ayah.”
Pekik Ningsih, bibirnya mengulum senyum geli. Tatap matanya tak diragukan lagi,
sedang membandingkan penampilanku dengan penampilan monyet-monyet itu. Sial!
Aku diam saja, toh Ningsih berkata benar. Aku hanya bisa tersenyum hambar kemudian
mengikuti Ningsih yang menuntunku mendekati gedung aula.
Tidak ada pengunjung lain di kebun
binatang, hanya ada aku, Ningsih, dan beberapa petugas kebun binatang.
“Kita lihat jerapah yuk.” Aku
membujuk Ningsih agar meninggalkan gedung aula tempat monyet-monyet
bermusyawarah. Entahlah, aku merasa tak nyaman menonton monyet-monyet itu, aku
merasa sedang menonton diri sendiri, menonton kawanan-kawanku yang satu
profesi.
“Nggak mau, kita di sini saja, menonton
monyet-monyet itu. Mereka lucu sekali.” Ningsih terkekeh menonton monyet-monyet
di dalam gedung. Wajahnya dilekatkan ke kaca jendela agar lebih jelas menonton
monyet-monyet. Menonton musyawarah monyet.
***
Monyet-monyet
duduk rapi di kursi yang juga berderet rapi, ruangan itu disetel seperti ruang
sidang di gedung DPR. Semakin kecut saja perasaanku, semakin berdarah-darah.
Monyet berdasi merah sibuk
menggaruk lehernya, monyet itu dapat kutu, dimakannya kutu itu. Monyet yang
memakai peci, sibuk membaca sederet tulisan di layar tablet. Monyet dengan
bibir bergincu merah tak hentinya menicipi makanan di dalam kotak kertas.
Kepalaku terasa pusing melihat kelakuan monyet-monyet di dalam gedung.
Aku sebenarnya tak mau tahu dengan
apa yang sedang mereka musyawarahkan. Aku sendiri ketika sedang bermusyawarah tidak
begitu tahu apa yang sebenarnya harus kumusyawarahkan. Aku hanya datang saja,
tanda tangan absen, tidur, kemudian pulang bersama amplop tebal.
“Ayah,
mereka ribut. Hihihi…” Ningsih menengok sejenak ke arahku, kemudian cepat-cepat
mengintip lagi ke dalam gedung.
Aku
tidak berminat menonton musyawarah monyet, aku sudah hapal semua keributan atau
kemupakatan sudah disetel sejak jauh-jauh hari. Musyawarah hanyalah dagelan,
hanya omong kosong.
“Hihihihi…”
Ningsih cekikikan, pundaknya berguncang-guncang menahan tawanya yang terus
berderai. Suara monyet-monyet di dalam ruangan semakin nyaring terdengar,
menyapu aneka macam suara binatang di kebun binatang.
“Interupsi!
Interupsi! Interupsi!”
“Cabut!
Cabut! Cabut!”
“Ha ha ha ha… Ha ha ha…”
“Pimpinan! Pimpinan!”
“Lanjut!”
“Interupsi!”
“Interupsi!”
“Solatullah…
”
“Suap!”
“Undang-undang!”
“Voting!”
“Lanjut!”
“Voting!”
“Voting!
Voting! Voting!”
“Ha ha ha
ha…”
“Hi hi hi
hi…”
“Interupsi!”
Cih! Dasar monyet, berisik sekali musyawarah mereka. Aku
penasaran, aku ikut mengintip, bersebelahan dengan Ningsih yang tak hentinya
cekikikkan. Ya Tuhan, monyet-monyet itu sungguh sasar, ada yang berjengkolet di
atas meja, gelantungan di langit-langit, menggedor-gedor meja, memukul dinding
ruangan. Ada juga yang cengengesan sambil berbisik-bisik dengan sesamanya.
Monyet!
***
“Ayah, kalau lagi musyawarah suka
begitu?” celetuk Ningsih.
“O
tidak, Ayah tidak pernah ribut seperti monyet.” Aku menelan ludah. “Sekarang
kita naik unta yuk.” Aku membujuk lagi Ningsih agar meninggalkan gedung aula.
“O
Ayah, aku mohon. Aku tidak tertarik dengan binatang lain, aku ingin menonton
musyawarah monyet saja.” Ningsih memelas.
Aku
tidak bisa melobi Ningsih, biasanya aku selalu bisa diandalkan dalam masalah
lobi-lobi. Tapi aku tak bisa membuat Ningsih mengalah. Aku terpaksa menyerah.
“Ayah,
kenapa monyet-monyet itu meninggalkan ruangan?”
“Mereka
wolk out.”
“Apa
itu wok ot?”
“W O
L K O U T.”
“Iya
apa itu wolk out?”
“Wolk out itu ya seperti monyet-monyet
itu, meninggalkan ruangan.”
“Begitu?
Aku jadi ingat, kata Bunda dulu Ayah pernah wolk
out, Ayah seperti monyet saja. Hi hi hi…”
Ningsih
Ningsih Ningsih, seandainya perasaanku adalah sekotak air di dalam aquarium dan
dia adalah ikan. Aku akan memasukkannya ke dalam diriku, agar tahu betapa
keruhnya perasaanku.
“Ayah,
pintunya terbuka. Ayo kita masuk.” Ningsih melompat, meninggalkan jendela,
berlari ke arah pintu gedung yang terbuka setelah beberapa ekor monyet
meninggalkan ruangan.
“Ningsih
jangan masuk!” aku terlambat, aku tak bisa mencegah Ningsih masuk ke dalam
gedung berisi monyet-monyet itu. Celaka, bagaimana bila monyet-monyet itu menggigit anakku.
Gawat!
***
Jantungku
menderu-deru, monyet-monyet di dalam sana pasti mengancam Ningsih. Monyet itu,
bisa saja menggigitnya. Aku tahu betapa dunia binatang adalah dunia yang kejam,
aku pernah berada di dunia semacam itu. Aku sedang berada di dunia itu.
“Ayah duduk sini!”
Setibanya
di dalam ruangan aku bernapas lega, Ningsih baik-baik saja. Ningsih duduk
bersebelahan dengan monyet berbulu keemasan, di sisi lainnya kursi kosong sudah
dipersiapkannya untukku. Ningsih melambaikan tangan, memintaku untuk segera
duduk.
“Berisik!”
umpatku, membatin.
Suara monyet-monyet berteriak
saling berbenturan satu sama lain. Semua monyet menjerit ingin didengar, ingin
bersuara. Semua monyet berbuat kegaduhan. Kepalaku berasa sejengkal lagi dari
pecah berantakan, sepertinya hanya butuh satu lagi jeritan monyet agar kepalaku
benar-benar berantakan.
“Hi
hi hi… Lihat monyet berpalu itu.” Ningsih menunjuk ke arah depan, ke arah
seekor monyet yang mengayun-ayun palu kayu.
“Ningsih,
Ayah pusing.”
“sebentar
lagi Ayah, aku mohon. Kuatkanlah dirimu.”
“Baiklah.”
Aku
mengalah, aku tak kuasa menolak permintaan Ningsih. Sedikit pun tak berkuasa
membantahnya. Aku terpaksa bertahan di dalam ruangan, bertahan dengan kejamnya
suara jeritnya monyet-monyet. Jerit monyet-monyet semakin bergemuruh, semakin
menggelegar. Aku semakin membatin.
“Interupsi!”
“Voting!”
“Inturpsi!”
“Pimpinan!”
“Ha
ha ha…”
“Interupsi!”
Bosan
rasanya aku mendengar apa yang monyet-monyet itu jeritkan, begitu-begitu saja.
Aku menutup telinga, tak ingin mendengar suara monyet-monyet. Sekuat tenaga
kusumpalkan telapak tangan ke daun telinga.
Percuma, suara monyet-monyet itu
tetap terdengar. Semakin tajam, semakin jalang. Kepalaku berdenyut-denyut
menahan sakit dari ribuan jarum suara yang semakin terasa menusuk. Kepalaku
berkeletak, sepertinya mulai retak. Aku berteriak.
Ak ak uk uk! Ak ak uk uk! Ak ak
aaak!
Aku menjerit-jerit.
Bandung, 15 September 2014
Absurditas Malka menulis cerpen, carpon, dan sajak di beberapa media massa. Kini tinggal di Bandung bekerja sebagai admin Absurditas Kata
Belum ada tanggapan untuk "Dagelan Penipu Rakyat 2014 (Cerpen Tribun Jabar, Minggu - 23 November 2014)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar