IBX582A8B4EDEABB Cerpen Tarian Sunyi Lidah-Lidah Api (Absurditas Malka: Inilah Koran, Sabtu - 24 Januari 2015) | Info Absurditas Kata Cerpen Tarian Sunyi Lidah-Lidah Api (Absurditas Malka: Inilah Koran, Sabtu - 24 Januari 2015) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Cerpen Tarian Sunyi Lidah-Lidah Api (Absurditas Malka: Inilah Koran, Sabtu - 24 Januari 2015)

Ibuku bukan Joan, kenapa ia harus mati dibakar?
Lidah-lidah api, menari sunyi di matanya, di rambutnya, di bibirnya, di sekujur tubuhnya. Di hidupnya yang singkat. Hidupnya yang selalu peperangan.
**

            Ibuku bukan Joan.
        Hidupnya yang singkat adalah  peperangan seratus tahun. Peperangan yang di ujung-ujung sunyinya moral mati terbakar, menjadi abu, menggunungkan puing kenangan. Peperangan yang di medan baranya akal berhenti berputar, layu diterkam amarah.
            “Jangan ikut campur urusan orang tua!”
            Aku tidak ingin ikut campur, sama sekali tidak. Aku hanya tidak bisa diam, bila melihat maut begitu dekat dengannya. Ribuan kali, aku membujuk ibu untuk kabur, entah kemana. Ribuan kali pula aku dipelototinya “Rumah kita di sini, mau kemana lagi?” Selalu begitu.
Selalu saja ibu mampu bertahan menapaki setiap petak neraka yang membara di tempat ini, di tempat yang disebutnya rumah. Tubuhnya seakan semesta yang tiada akan habis-habisnya, tiada lelahnya, menerima kehancuran demi kehancuran yang siang-malam diperbuat iblis jahanam.
            Hidup ibu yang singkat adalah seratus tahun peperangan. Anak-anak panah yang mengobarkan api adalah musim penghujan tak berkesudahan. Derap pasukan berkuda yang garang menghunjamkan tombak panjang, selalu datang sejak hari masih sangat pagi.
             Ketika malam datang, benteng-benteng di hati ibu tidak lantas menjadi tenteram, tidak pula tertidur tenang. Selalu ada tembakan meriam, berdentum, menyeruak dari kegelapan, menghajar iga-iganya yang kian lama kian lapuk dan rentan. Tak lengkung lagi, patah dan remuk.
            Ibuku bukan Joan, ibuku tak bersalah sebagaimana Joan. Ia hanya ingin lebih lama menjaga semesta di dalam dadanya, di dalam dadaku. Ibuku tak pernah bersalah, iblis itulah yang tersesat.
            Iblis terkutuk yang seharusnya mampus sebelum dilahirkan. Iblis terkutuk yang kelak akan mampus dengan cara lebih mengenaskan.
***
            “Kurang ajar!”
            Suara iblis membelah malam, merobek-robeknya. Matanya membelalak bundar, kemerahan, penuh bara. Tubuhnya yang besar dan kejam, bergoyang-goyang menjaga keseimbangan. Sempoyongan.
            Apa salah ibuku? Hanya karena ia terlambat sepersekian detik menarik gagang pintu, haruskah dihantam habis-habisan?
“Mampus kau, mampus!”
Kerajaan kasih sayang di hati ibu, seketika recah menjadi pecahan. Berhamburan di ruang kamar, di atas meja makan, di lantai dapur, di dalam bak mandi. Menjadi serpih sebesar buliran abu. Menjadi atom yang melayang-layang di kesunyian. Menjadi bulir paling halus yang mengisi kekosongan relung jiwaku dengan perasaan nyeri. Melampaui nyeri.
            Keningnya yang landai bebukitan, diempaskan jemari berkekuatan ribuan iblis jahanam. Terempas mencium dinding beton. Bulir-bulir merah melompat dari robekan kulitnya, memulas udara menjadi sewarna senja.
            Botol kaca berisi udara menyapa punggung ibu sampai menjadi serpih, sampai dentingnya menggetarkan dinding. Ibu melengking. Sepotong botol kaca di dalam genggaman, botol yang ujungnya telah menjadi runcing, terbang melayang. Ingin mengusap leherku yang urat-uratnya mengencang, menegang, dipadati cekam.
            Genang merah menetes di lantai rumah. Aku melihat bayang-bayang lampu di atasnya, benderang. Aku melihat bayang-bayang wajah, tak bisa dikenali. Tanganku terkepal, bundar. Tanganku melayang, menyambar. Aku terpental, terjengkang. Iblis menertawakanku. Iblis mengancamku.
***
 Tangan iblis merenggutku dengan kejam. Menyeretku melintasi gurun beling di atas lantai. Sebagaimana prajurit perang yang ditawan, aku digelandang tanpa belas tanpa kasihan.
Aku ingin berteriak, suaraku sudah menjadi abu. Aku ingin menangis, air mataku sudah menjadi debu. Aku dilemparkan ke dalam kamar, berdebum menumbuk dinding beton, dinding ratapan, dinding yang cat temboknya banyak berhias bercak merah. Sama merahnya dengan darah.
 “Berhentilah menangis, jahanam!” iblis menyemburkan ludah ke wajahku. Ia sempoyongan pergi sebentar, kemudian kembali lagi bersama jeriken di tangan.
Aroma bahan bakar, membasah di kepalaku. Membasah di sekujur tubuhku. Resap sampai ke akar-akar ingatan, resap ke setiap sel merah dan putih di sungai darah dalam urat-urat tubuhku.
Sepasang mata dari neraka menatapku dengan nyala amarah yang berkobar. Menggila. Crassss… Kayu api dinyalakan. Aku tengadah, tatapku menempuh bentang rasa takut yang tak berkesudahan. Api menyambar! Api membakar. Api menari-nari di dalam kamar. Mengusap setiap lembar lapisan jangat. Mengusap helai demi helai rambutku. Tekun, mengusap sekujur tubuhku.
“Mampus!”
***
Gunungan salju, jatuh dari langit, memeluk tarian api di tubuhku. Ada lengan-lengan dingin bergerak lebih cepat dari angin, menubruk bara dengan kain basah terbentang. Ada sagara yang seketika merendam dunia, merendam lidah-lidah api sampai akhirnya berhenti menari.
Satu-satunya yang masih bisa kulihat ketika api berganti menjadi asap adalah gelombang-gelombang. Datang dari kedua bola mata ibu, berdesir menyapu pepasir hatiku yang terbakar. Berdesir mengempas-empaskan sepi ke semesta nyeri paling tepi.
Mulut ibu yang bisu megap-megap, merapal kutukan, tak ada suara. Ibu meronta, ingin menerjang. Tubuhnya yang lemah, melonjak, terbang, melayang. Sepasang tangan kekar, menghentikannya. Ibu jatuh berdebam. Lehernya yang jenjang pohon kelapa di tepi pantai, dihantam kepal tangan.
***
“Mampus kau! Mampus!” Iblis menyeret ibuku. Sebagaimana malam-malam yang sudah lalu, begitupun malam ini. Malam tak pernah hening, mimpi sudah bertahun-tahun tak mau lagi mendamping. Hanya di mulut ibu saja hening mau selamanya tinggal, merenggut suaranya, membisukan mulutnya.
Aku tersentak, merayap-rayap ikuti bercak. Merayap-rayap, payah sebagaimana cacing di atas pasir. Ikuti jejak merah. Setiap aku merayap, setiap itu pula lepuhan-lepuhan kulitku meleleh, melekat di wajah lantai.
Aku melihat telaga merah, di sudut bibir ibu yang pecah, di pelipisnya yang recah, di kelenjar-kelenjar matanya, di kedua lubang di hidungnya.
            Kelam rambut  ibu yang dihuni kelamnya malam berjuntai ke udara. Ujung-ujungnya bergelantung di jemari iblis yang menyeretnya ke dasar neraka.
            Matanya yang sayup dan nyaris sempurna tertutup, mengulur tatap ke arahku. Melelehkan doa-doa, melumerkan pengharapan. Tangan-tangan kurusnya yang sudah dijejaki banyak luka –yang kering yang basah yang melepuh dan bernanah- bergeletar di udara, ingin memeluk, ingin menyentuh, ingin menggapaiku. Hanya kosong, hanya kosong diraihnya. Kemudian terkulai di atas lantai, meninggalkan jejak merah.
Dadaku kembung kempis, mengisap geram. Mengisap sisa asap yang entah bagaimana, bagiku seakan uluran tangan ibu, mengusap jiwaku penuh kelembutan.
***
Ibuku bukan Joan, ibuku tidak mati terbakar.
            Aroma bahan bakar, memadat di dalam ruangan. Ibu diam saja, merasa-rasakan basahnya. Tak lagi kuasa melawan, apalagi menerjang. Aku ingin terbang, menyambarnya, membawanya terbang. Sayap-sayapku telah patah.
            “Mampus kalian!”
Api melalap malam, mengubahnya menjadi abu ketika azan subuh berkumandang. Aku masih bergeletaran, menggigil sendiri, ketakutan sendiri, di kolong meja makan. Iblis terbahak, sempoyongan. Ludah berhujan dari mulutnya. Telunjuk tak lelah menuduh-nuduh.
            “Matikan apinya, matikan apinya. Matikan!”
Ribuan bara kutelan sampai penuh tenggorokan. Ribuan asap kusesap sampai sesak rongga dada. Ribuan nyeri kucengkeram kuat sampai akal berlumuran dendam.
            Api tak kunjung padam. Lidah-lidahnya hanyut di kebeningan parit sudu-sudut mataku, membakar sekat-sekat dada. Aku sesenggukan “Ibu…” Aku memejan.
Pecahan beling melabur permukaan lantai, berdampingan dengan jelaga, berdampingan dengan luka. Aku melihat jutaan bintang, berkerlingan di ujung runcing beling-beling.
            Mataku tak hentinya menghamburkan ribuan kaca, tak padam-padam. Ribuan kaca yang berbaur dengan serakan beling, ribuan kaca yang meleleh sebelum matahari setara mata kaki.
Info Absurditas Kata
Di atas lantai yang sempurna dilabur beling dan lelehan kaca-kaca dari mataku, lidah-lidah api berkerjat-kerjat, menggeliat, menari-nari yang penghabisan.
Sisa-sisa bara yang masih terjaga, tekun mengutus bunga-bunga api ke udara. Percik yang kemudian lenyap sebelum sempat menggapai atap. Percik yang kemudian disihir angin menjadi asap, pucat, pudar. Nanar.
***
Ibuku bukan Joan, kenapa harus dibakar?
            Hidupnya yang singkat adalah peperangan seratus tahun, menanggung luka seabad. Aku masih memeluk rasa takut sendiri, memejamkan mata sekuat tenaga. Berharap dunia ini tak pernah ada, tak perlu ada.
Lidah-lidah api tak lagi berkerjat. Nyalak bara menjadi jelaga. Ibu menjadi asap, menjadi partikel, menjadi atom, menjadi sunyi. Pergi meniti lidah-lidah api. Hilang di pucuk-pucuknya yang temaram. Hilang.


Bandung, 16 Desember 2014
Inilah Koran, Sabtu - 24 Januari 2015

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Cerpen Tarian Sunyi Lidah-Lidah Api (Absurditas Malka: Inilah Koran, Sabtu - 24 Januari 2015)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar