Ibuku bukan Joan, kenapa ia harus mati dibakar?
Lidah-lidah api, menari sunyi di matanya, di
rambutnya, di bibirnya, di sekujur tubuhnya. Di hidupnya yang singkat. Hidupnya
yang selalu peperangan.
**
Ibuku bukan Joan.
Hidupnya yang singkat adalah peperangan seratus tahun. Peperangan yang di
ujung-ujung sunyinya moral mati terbakar, menjadi abu, menggunungkan puing
kenangan. Peperangan yang di medan baranya akal berhenti berputar, layu
diterkam amarah.
“Jangan ikut campur urusan orang
tua!”
Aku tidak ingin ikut campur, sama
sekali tidak. Aku hanya tidak bisa diam, bila melihat maut begitu dekat
dengannya. Ribuan kali, aku membujuk ibu untuk kabur, entah kemana. Ribuan kali
pula aku dipelototinya “Rumah kita di sini, mau kemana lagi?” Selalu begitu.
Selalu
saja ibu mampu bertahan menapaki setiap petak neraka yang membara di tempat
ini, di tempat yang disebutnya rumah. Tubuhnya seakan semesta yang tiada akan
habis-habisnya, tiada lelahnya, menerima kehancuran demi kehancuran yang
siang-malam diperbuat iblis jahanam.
Hidup ibu yang singkat adalah
seratus tahun peperangan. Anak-anak panah yang mengobarkan api adalah musim
penghujan tak berkesudahan. Derap pasukan berkuda yang garang menghunjamkan
tombak panjang, selalu datang sejak hari masih sangat pagi.
Ketika malam datang, benteng-benteng di hati
ibu tidak lantas menjadi tenteram, tidak pula tertidur tenang. Selalu ada
tembakan meriam, berdentum, menyeruak dari kegelapan, menghajar iga-iganya yang
kian lama kian lapuk dan rentan. Tak lengkung lagi, patah dan remuk.
Ibuku bukan Joan, ibuku tak bersalah
sebagaimana Joan. Ia hanya ingin lebih lama menjaga semesta di dalam dadanya,
di dalam dadaku. Ibuku tak pernah bersalah, iblis itulah yang tersesat.
Iblis terkutuk yang seharusnya
mampus sebelum dilahirkan. Iblis terkutuk yang kelak akan mampus dengan cara
lebih mengenaskan.
***
“Kurang ajar!”
Suara iblis membelah malam,
merobek-robeknya. Matanya membelalak bundar, kemerahan, penuh bara. Tubuhnya
yang besar dan kejam, bergoyang-goyang menjaga keseimbangan. Sempoyongan.
Apa salah ibuku? Hanya karena ia
terlambat sepersekian detik menarik gagang pintu, haruskah dihantam
habis-habisan?
“Mampus
kau, mampus!”
Kerajaan
kasih sayang di hati ibu, seketika recah menjadi pecahan. Berhamburan di ruang
kamar, di atas meja makan, di lantai dapur, di dalam bak mandi. Menjadi serpih
sebesar buliran abu. Menjadi atom yang melayang-layang di kesunyian. Menjadi
bulir paling halus yang mengisi kekosongan relung jiwaku dengan perasaan nyeri.
Melampaui nyeri.
Keningnya yang landai bebukitan,
diempaskan jemari berkekuatan ribuan iblis jahanam. Terempas mencium dinding
beton. Bulir-bulir merah melompat dari robekan kulitnya, memulas udara menjadi
sewarna senja.
Botol kaca berisi udara menyapa
punggung ibu sampai menjadi serpih, sampai dentingnya menggetarkan dinding. Ibu
melengking. Sepotong botol kaca di dalam genggaman, botol yang ujungnya telah
menjadi runcing, terbang melayang. Ingin mengusap leherku yang urat-uratnya
mengencang, menegang, dipadati cekam.
Genang merah
menetes di lantai rumah. Aku melihat bayang-bayang lampu di atasnya, benderang.
Aku melihat bayang-bayang wajah, tak bisa dikenali. Tanganku terkepal, bundar.
Tanganku melayang, menyambar. Aku terpental, terjengkang. Iblis menertawakanku.
Iblis mengancamku.
***
Tangan iblis merenggutku dengan kejam.
Menyeretku melintasi gurun beling di atas lantai. Sebagaimana prajurit perang
yang ditawan, aku digelandang tanpa belas tanpa kasihan.
Aku
ingin berteriak, suaraku sudah menjadi abu. Aku ingin menangis, air mataku
sudah menjadi debu. Aku dilemparkan ke dalam kamar, berdebum menumbuk dinding
beton, dinding ratapan, dinding yang cat temboknya banyak berhias bercak merah.
Sama merahnya dengan darah.
“Berhentilah menangis, jahanam!” iblis
menyemburkan ludah ke wajahku. Ia sempoyongan pergi sebentar, kemudian kembali
lagi bersama jeriken di tangan.
Aroma
bahan bakar, membasah di kepalaku. Membasah di sekujur tubuhku. Resap sampai ke
akar-akar ingatan, resap ke setiap sel merah dan putih di sungai darah dalam
urat-urat tubuhku.
Sepasang
mata dari neraka menatapku dengan nyala amarah yang berkobar. Menggila. Crassss… Kayu api dinyalakan. Aku
tengadah, tatapku menempuh bentang rasa takut yang tak berkesudahan. Api
menyambar! Api membakar. Api menari-nari di dalam kamar. Mengusap setiap lembar
lapisan jangat. Mengusap helai demi helai rambutku. Tekun, mengusap sekujur
tubuhku.
“Mampus!”
***
Gunungan
salju, jatuh dari langit, memeluk tarian api di tubuhku. Ada lengan-lengan
dingin bergerak lebih cepat dari angin, menubruk bara dengan kain basah
terbentang. Ada sagara yang seketika merendam dunia, merendam lidah-lidah api
sampai akhirnya berhenti menari.
Satu-satunya
yang masih bisa kulihat ketika api berganti menjadi asap adalah
gelombang-gelombang. Datang dari kedua bola mata ibu, berdesir menyapu pepasir
hatiku yang terbakar. Berdesir mengempas-empaskan sepi ke semesta nyeri paling
tepi.
Mulut
ibu yang bisu megap-megap, merapal kutukan, tak ada suara. Ibu meronta, ingin
menerjang. Tubuhnya yang lemah, melonjak, terbang, melayang. Sepasang tangan
kekar, menghentikannya. Ibu jatuh berdebam. Lehernya yang jenjang pohon kelapa
di tepi pantai, dihantam kepal tangan.
***
“Mampus
kau! Mampus!” Iblis menyeret ibuku. Sebagaimana malam-malam yang sudah lalu,
begitupun malam ini. Malam tak pernah hening, mimpi sudah bertahun-tahun tak
mau lagi mendamping. Hanya di mulut ibu saja hening mau selamanya tinggal,
merenggut suaranya, membisukan mulutnya.
Aku
tersentak, merayap-rayap ikuti bercak. Merayap-rayap, payah sebagaimana cacing
di atas pasir. Ikuti jejak merah. Setiap aku merayap, setiap itu pula
lepuhan-lepuhan kulitku meleleh, melekat di wajah lantai.
Aku
melihat telaga merah, di sudut bibir ibu yang pecah, di pelipisnya yang recah,
di kelenjar-kelenjar matanya, di kedua lubang di hidungnya.
Kelam rambut ibu yang dihuni kelamnya malam berjuntai ke
udara. Ujung-ujungnya bergelantung di jemari iblis yang menyeretnya ke dasar
neraka.
Matanya yang sayup dan nyaris
sempurna tertutup, mengulur tatap ke arahku. Melelehkan doa-doa, melumerkan
pengharapan. Tangan-tangan kurusnya yang sudah dijejaki banyak luka –yang
kering yang basah yang melepuh dan bernanah- bergeletar di udara, ingin memeluk,
ingin menyentuh, ingin menggapaiku. Hanya kosong, hanya kosong diraihnya. Kemudian
terkulai di atas lantai, meninggalkan jejak merah.
Dadaku
kembung kempis, mengisap geram. Mengisap sisa asap yang entah bagaimana, bagiku
seakan uluran tangan ibu, mengusap jiwaku penuh kelembutan.
***
Ibuku
bukan Joan, ibuku tidak mati terbakar.
Aroma bahan bakar, memadat di dalam
ruangan. Ibu diam saja, merasa-rasakan basahnya. Tak lagi kuasa melawan,
apalagi menerjang. Aku ingin terbang, menyambarnya, membawanya terbang.
Sayap-sayapku telah patah.
“Mampus kalian!”
Api
melalap malam, mengubahnya menjadi abu ketika azan subuh berkumandang. Aku
masih bergeletaran, menggigil sendiri, ketakutan sendiri, di kolong meja makan.
Iblis terbahak, sempoyongan. Ludah berhujan dari mulutnya. Telunjuk tak lelah
menuduh-nuduh.
“Matikan apinya, matikan apinya.
Matikan!”
Ribuan
bara kutelan sampai penuh tenggorokan. Ribuan asap kusesap sampai sesak rongga
dada. Ribuan nyeri kucengkeram kuat sampai akal berlumuran dendam.
Api tak kunjung padam.
Lidah-lidahnya hanyut di kebeningan parit sudu-sudut mataku, membakar
sekat-sekat dada. Aku sesenggukan “Ibu…” Aku memejan.
Pecahan
beling melabur permukaan lantai, berdampingan dengan jelaga, berdampingan
dengan luka. Aku melihat jutaan bintang, berkerlingan di ujung runcing
beling-beling.
Mataku tak hentinya menghamburkan
ribuan kaca, tak padam-padam. Ribuan kaca yang berbaur dengan serakan beling,
ribuan kaca yang meleleh sebelum matahari setara mata kaki.
Di
atas lantai yang sempurna dilabur beling dan lelehan kaca-kaca dari mataku,
lidah-lidah api berkerjat-kerjat, menggeliat, menari-nari yang penghabisan.
Sisa-sisa
bara yang masih terjaga, tekun mengutus bunga-bunga api ke udara. Percik yang
kemudian lenyap sebelum sempat menggapai atap. Percik yang kemudian disihir
angin menjadi asap, pucat, pudar. Nanar.
***
Ibuku bukan Joan,
kenapa harus dibakar?
Hidupnya yang singkat adalah
peperangan seratus tahun, menanggung luka seabad. Aku masih memeluk rasa takut
sendiri, memejamkan mata sekuat tenaga. Berharap dunia ini tak pernah ada, tak
perlu ada.
Lidah-lidah
api tak lagi berkerjat. Nyalak bara menjadi jelaga. Ibu menjadi asap, menjadi
partikel, menjadi atom, menjadi sunyi. Pergi meniti lidah-lidah api. Hilang di
pucuk-pucuknya yang temaram. Hilang.
Bandung, 16 Desember 2014
Inilah Koran, Sabtu - 24 Januari 2015
Belum ada tanggapan untuk "Cerpen Tarian Sunyi Lidah-Lidah Api (Absurditas Malka: Inilah Koran, Sabtu - 24 Januari 2015)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar