IBX582A8B4EDEABB Kwoor (Cerita Pendek Absurditas Malka - April 2016) | Info Absurditas Kata Kwoor (Cerita Pendek Absurditas Malka - April 2016) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Kwoor (Cerita Pendek Absurditas Malka - April 2016)

Absurditas Malka*

            Bijok, usianya baru lima tahun lebih sehari. Dia bekerja di pertambangan sejak umur empat tahun. Tidak bersama bapaknya, tidak juga bersama keluarganya, dia sendirian, benar-benar sendirian. Dia bekerja dari pagi buta sampai petugas keamanan memburunya. Jika selamat dia akan kembali bekerja sore atau besok harinya. Jika tidak selamat dari kejaran petugas, dia babak belur, beruntung jika tidak mati ditembak.
            Anak kecil, orang tua, lelaki, dan perempuan, semuanya diperlakukan sama di hadapan para petugas. Diperlakukan sebagai para pencuri, diburu, dipukuli, dan tak jarang yang ditembak mati.
            “Berhentilah menambang, para petugas semakin hari semakin buas. Aku tidak mau kamu ditelan mulut senapan.” Ucap Emak.
Di dalam honai tak ada siapa-siapa, hanya Bijok dan batu besar yang disebutnya Emak.
“Tapi Mak, Bijok harus bekerja.” Ucapnya, kepada batu hitam di dekat tungku api. Batu yang katanya adalah ibunya sendiri.
            “Tidak! Emak, tidak mau kehilangan semua orang di rumah ini.”
            Hening, tidak ada kata-kata. Bijok teringat peristiwa-peristiwa, meskipun samar tapi dia masih mengingatnya. Setahun yang lalu, kawan-kawannya yang juga terlahir dari bongkahan batu, ditangkap petugas keamanan dan mereka tidak pernah kembali.
            “Kenapa mereka menyebut kita pencuri?”
            Emak terdiam, dia tidak memiliki kata-kata yang banyak untuk menjawab kebingungan semacam itu. Tidak ada bahasa yang bisa dipinjam untuk menjelaskan bahwa warga Kwoor bukan pencuri, mereka hanya mengais harapan dari limbah tambang yang dibuang ke sisian pemukiman. Itu pun jika hasil, nilainya tak seberapa, tal sebanding dengan risiko kehilangan nyawa. Tak cukup besar untuk membebaskan mereka dari hantu-hantu gizi buruk yang bergentayang di setiap perut anak-anak kecil di sana. Tidak sepadan dengan  bengisnya jeruji bui atau dinginnya kematian.
            “Mak, apakah para pemilik tambang itu manusia, sama seperti kita?”
            Emak semakin diam, beku, membatu. Kosa kata mana yang bisa menjelaskan perihal kemanusiaan seseorang.
            “Mak, mereka bukan manusia?” Gumam Bijok, ditatapnya Emak yang tiada lain hanyalah sebongkah batu besar. Di atas tungku, ketel penyok berisi air yang akan mendidih setia memeluk lidah api. Hanya air, tanpa apa pun di dalamnya. Suaranya meletup-letup.
            “Emak, masak air lagi?” Bijok menelisikisi ketel penyok. “Hanya itukah yang bisa kita miliki?” matanya menyapu sekeliling honai, tidak ada apa-apa di dalamnya, hanya ruangan yang remang dan larik-larik cahaya yang menerobos melalu celah jendela dan lobang-lobang atap yang menganga di sana-sini.
            “Aku lapar, aku bukan haus.”
            Emak terdiam, keduanya dibekap hening. Dari dalam perut Bijok terdengar suara keroncongan, berderu beradu keras dengan bisik api yang lahap melumat kayu-kayu kering.
***
            Hari masih sangat pagi, kabut masih tebal di sepanjang jarak pandang ketika Bijok sudah berada di tempat pertambangan. Emak masih seperti kemarin dan kemarinnya lagi, terdiam beku di dekat tungku. Hanya diam, selama-lamanya diam.
            Di tepian pemukiman, di sungai yang menjadi pembuangan limbah pertambangan. Bijok dan bocah-bocah Kwoor, berburu kemungkinan, mencari setitik emas yang terbuang.
            “Hoi! Lihat, aku menemukan sesuatu...”
            Majuk berteriak tertahan, diais-aisnya gundukan batu yang tertimbun lumpur, air limbah membahasi seluruh tubuh dan rambutnya yang rintik. Bijok ikut memburu pula gundukan batu itu.
Air limbah yang beracun menyepuh bocah-bocah hitam itu menjadi kotor, sangat kotor. Melepuh. Gatal-gatal.
            “Batu apa ini?”  Bijok semakin cepat mengais-ngais lumpur. Setengah tubuhnya terendam air, karena ia berjongkok ingin segera melihat batu besar itu.
            “Angkat, angkat.” Majuk berteriak kepada Bijok dan kawanan lainnya.
            “Bongkahan Ibu!” Bijok terpana, ditatapnya bongkahan batu besar. Ukurannya lebih besar dari tubuhnya sendiri, warna, tekstur, dan bentuknya sangat mirip dengan batu legam yang menjadi ibunya.
            “Percayalah, ini bukan batu ibu, kuharap di dalamnya ada bongkahan emas.” Majuk meyakinkan semua bocah.
            Darus di tepi sungai mengawasi keadaan di sekitar, memastikan tidak ada petugas yang bisa dengan tiba-tiba menyergap mereka.
            “Bagaimana bisa ada emas di dalam batu?”
            “Aku tidak tahu, semoga saja di dalamnya benar-benar ada emas. Kita bisa membeli garam di kota.” Majuk membersihkan lumpur yang melekat di batu.
            “Batu itu seperti batu ibu, kurasa itu bukan emas.” Ucap Bijok.
            “Bukan, ibu kita tidak seperti ini.” Majuk menjawab yakin.
“Pecahkan saja batunya kalau kau tidak percaya.” Bijok menunjuk batu.
            Krak! Bongkah batu besar itu retak dengan sendirinya, cahaya gemilang memancar dari celah-celah retakannya. Semua mata terkesima, menatapi apa yang berselimut cahaya di dalam bongkah batu.
            “Anak kecil...” Gumam Majuk, tubuhnya terempas, matanya mendelik, jantungnya berdebum-debum. Begitupun bocah-bocah lainnya, terempas, menjauh dari bongkah batu.
            Bocah kecil terbujur layu di dalam bongkah batu, tubuhnya kurus kering, tulang belulang menonjol di sana-sini. Perutnya membuncit, tubuh bocah itu hanya tulang berbalut daging belaka. Sepasang sayap cahaya di punggung bocah itu, mengepak lembut, membuatnya melayang, terbang ke awang-awang, terbang ke langit tinggi, hilang di telan awan.
***
Setelah peristiwa itu, bocah-bocah Kwoor tak pernah berani lagi mencari limbah emas di pertambangan. Mereka takut, mereka bersedih, mereka menunggu giliran. Rupanya mereka tidak hanya terlahir dari bongkah batu, tapi juga mati di dalam bongkah batu, seperti bocah yang kemarin mereka temukan di sungai limbah.

kiat menulis cerpen

Ya, mereka menunggu waktu, mungkin besok atau lusa, salah satu dari mereka menjadi isi bongkah batu besar itu. Menghuni dunia batu, kemudian terbang ke langit bersama sepasang cahaya saat seseorang menemukannya, entah di mana, entah kapan. Jika pun tak mati di dalam batu, tetap saja mereka mati. Dibedil petugas yang buas atau diketam sunyi di dalam jeruji bui.
            “Kenapa aku tidak menjadi batu saja?” Tanya Bijok kepada Emak yang hanya bisa diam. Bukankah di Kwoor setiap manusianya datang dari batu-batu, mati pun di dalam batu.           
            Krak!...
            Batu besar yang disebutnya Emak, retak. Bijok terpana, cahaya kemilau memijar, memulas wajahnya. Dari dalam batu itu, dia melihat bocah kecil, berkulit hitam, rambutnya rintik, kurus bertulang-tulang semata, di punggungnya mengepak lembut sayap-sayap cahaya.
Bijok melihat dirinya sendiri.


Bandung, 19 April 2016

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Kwoor (Cerita Pendek Absurditas Malka - April 2016)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar