Absurditas Malka*
Bijok, usianya baru lima tahun lebih
sehari. Dia bekerja di pertambangan sejak umur empat tahun. Tidak bersama
bapaknya, tidak juga bersama keluarganya, dia sendirian, benar-benar sendirian.
Dia bekerja dari pagi buta sampai petugas keamanan memburunya. Jika selamat dia
akan kembali bekerja sore atau besok harinya. Jika tidak selamat dari kejaran
petugas, dia babak belur, beruntung jika tidak mati ditembak.
Anak kecil, orang tua, lelaki, dan
perempuan, semuanya diperlakukan sama di hadapan para petugas. Diperlakukan
sebagai para pencuri, diburu, dipukuli, dan tak jarang yang ditembak mati.
“Berhentilah menambang, para petugas semakin hari semakin buas. Aku tidak mau kamu ditelan mulut
senapan.” Ucap Emak.
Di dalam honai tak ada siapa-siapa, hanya Bijok dan batu
besar yang disebutnya Emak.
“Tapi Mak, Bijok harus bekerja.” Ucapnya, kepada batu hitam
di dekat tungku api. Batu yang katanya adalah ibunya sendiri.
“Tidak! Emak, tidak mau kehilangan
semua orang di rumah ini.”
Hening, tidak ada kata-kata. Bijok teringat
peristiwa-peristiwa, meskipun samar tapi dia masih mengingatnya. Setahun yang
lalu, kawan-kawannya yang juga terlahir dari bongkahan batu, ditangkap petugas
keamanan dan mereka tidak pernah kembali.
“Kenapa mereka menyebut kita
pencuri?”
Emak terdiam, dia tidak memiliki
kata-kata yang banyak untuk menjawab kebingungan semacam itu. Tidak ada bahasa
yang bisa dipinjam untuk menjelaskan bahwa warga Kwoor bukan pencuri, mereka
hanya mengais harapan dari
limbah tambang yang dibuang ke sisian pemukiman. Itu pun jika hasil, nilainya tak seberapa, tal sebanding dengan risiko kehilangan nyawa. Tak cukup
besar untuk membebaskan mereka dari hantu-hantu gizi buruk yang bergentayang di
setiap perut anak-anak kecil di sana. Tidak sepadan dengan bengisnya jeruji
bui atau dinginnya kematian.
“Mak, apakah para pemilik tambang
itu manusia, sama seperti kita?”
Emak semakin diam, beku, membatu. Kosa kata mana yang bisa menjelaskan perihal
kemanusiaan seseorang.
“Mak, mereka
bukan manusia?” Gumam Bijok, ditatapnya Emak yang tiada lain
hanyalah sebongkah batu besar. Di atas tungku, ketel penyok berisi air yang
akan mendidih setia memeluk lidah api.
Hanya air, tanpa apa pun di dalamnya. Suaranya
meletup-letup.
“Emak, masak air lagi?” Bijok
menelisikisi ketel penyok. “Hanya itukah yang bisa kita miliki?” matanya
menyapu sekeliling honai, tidak ada apa-apa di dalamnya, hanya ruangan yang
remang dan larik-larik cahaya yang menerobos melalu celah jendela dan lobang-lobang atap yang menganga di sana-sini.
“Aku lapar, aku bukan haus.”
Emak terdiam, keduanya dibekap
hening. Dari dalam perut Bijok terdengar suara keroncongan, berderu beradu
keras dengan bisik api yang lahap melumat kayu-kayu kering.
***
Hari masih sangat pagi, kabut masih
tebal di sepanjang jarak pandang ketika Bijok sudah berada di tempat
pertambangan. Emak masih seperti kemarin dan kemarinnya lagi, terdiam beku di
dekat tungku. Hanya diam, selama-lamanya diam.
Di tepian pemukiman, di sungai yang
menjadi pembuangan limbah pertambangan. Bijok dan bocah-bocah Kwoor, berburu
kemungkinan, mencari setitik emas yang terbuang.
“Hoi! Lihat, aku menemukan
sesuatu...”
Majuk berteriak tertahan,
diais-aisnya gundukan batu yang tertimbun lumpur, air limbah membahasi seluruh
tubuh dan rambutnya yang rintik. Bijok ikut memburu pula gundukan batu itu.
Air limbah yang beracun menyepuh
bocah-bocah hitam itu menjadi kotor, sangat kotor. Melepuh. Gatal-gatal.
“Batu
apa ini?” Bijok semakin cepat
mengais-ngais lumpur. Setengah tubuhnya terendam air, karena ia berjongkok
ingin segera melihat batu besar itu.
“Angkat, angkat.” Majuk berteriak kepada Bijok dan kawanan lainnya.
“Bongkahan Ibu!” Bijok terpana, ditatapnya bongkahan batu besar.
Ukurannya lebih besar dari tubuhnya sendiri, warna,
tekstur, dan bentuknya sangat mirip dengan batu legam yang menjadi ibunya.
“Percayalah, ini bukan batu ibu, kuharap di dalamnya ada bongkahan emas.” Majuk
meyakinkan semua bocah.
Darus di tepi sungai mengawasi
keadaan di sekitar,
memastikan tidak ada petugas yang bisa dengan
tiba-tiba menyergap mereka.
“Bagaimana
bisa ada emas di dalam batu?”
“Aku tidak tahu, semoga saja di dalamnya benar-benar ada emas. Kita bisa membeli garam di
kota.” Majuk membersihkan lumpur yang melekat di batu.
“Batu itu
seperti batu ibu, kurasa itu bukan emas.” Ucap Bijok.
“Bukan, ibu kita tidak seperti ini.” Majuk menjawab yakin.
“Pecahkan saja batunya kalau kau
tidak percaya.” Bijok menunjuk
batu.
Krak! Bongkah
batu besar itu retak dengan sendirinya, cahaya gemilang memancar dari
celah-celah retakannya. Semua mata terkesima, menatapi apa yang berselimut
cahaya di dalam bongkah batu.
“Anak kecil...” Gumam Majuk,
tubuhnya terempas, matanya mendelik, jantungnya berdebum-debum. Begitupun
bocah-bocah lainnya, terempas, menjauh dari bongkah batu.
Bocah kecil terbujur layu di dalam bongkah batu, tubuhnya kurus
kering, tulang belulang menonjol di sana-sini. Perutnya membuncit, tubuh bocah
itu hanya tulang berbalut daging belaka.
Sepasang sayap cahaya di
punggung bocah itu, mengepak lembut, membuatnya melayang, terbang ke
awang-awang, terbang ke langit tinggi, hilang di telan awan.
***
Setelah peristiwa itu, bocah-bocah Kwoor tak pernah berani
lagi mencari limbah emas di pertambangan. Mereka takut, mereka bersedih, mereka
menunggu giliran. Rupanya mereka tidak hanya terlahir dari bongkah batu, tapi
juga mati di dalam bongkah batu, seperti bocah yang kemarin mereka temukan di
sungai limbah.
Ya, mereka menunggu waktu, mungkin besok atau lusa, salah
satu dari mereka menjadi isi bongkah batu besar itu. Menghuni dunia batu,
kemudian terbang ke langit bersama sepasang cahaya saat seseorang menemukannya,
entah di mana, entah kapan. Jika pun tak mati di dalam
batu, tetap saja mereka mati. Dibedil petugas yang buas atau diketam sunyi di
dalam jeruji bui.
“Kenapa aku tidak menjadi batu saja?”
Tanya Bijok kepada Emak yang hanya bisa diam. Bukankah di Kwoor setiap
manusianya datang dari batu-batu, mati pun di
dalam batu.
Krak!...
Batu besar yang disebutnya Emak,
retak. Bijok terpana, cahaya kemilau memijar, memulas wajahnya. Dari dalam batu
itu, dia melihat bocah kecil, berkulit hitam, rambutnya rintik, kurus
bertulang-tulang semata, di punggungnya mengepak lembut sayap-sayap cahaya.
Bijok melihat dirinya sendiri.
Bandung, 19 April 2016
Belum ada tanggapan untuk "Kwoor (Cerita Pendek Absurditas Malka - April 2016)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar