Usia kakek sudah sangat senja
ketika tembok-tembok di rumanya berderak, kemudian belah dan runtuh. Sudah 10
tahun, kakek tidak pernah bisa bangun dari tidurnya karena sakit. Hari itu,
pertama kali Nadia melihat kakek berjalan, bahkan berlari, membopongnya ke luar
dari rumah, menuju tanah lapang.
“Nadia, di mana Ibumu?” Teriak
kakek, kakinya melesat-lesat, menghindari runtuhan.
“Ibu masih di atas. Kakek, tolong
Ibu.”
“Lari ke lapang, cepat! Kakek akan
membawa Ibumu.”
Setibanya di beranda, kakek
menurunkan Nadia dari pundaknya. Tubuhnya yang ringkih yang 10 tahun terkulai,
hari itu terlihat sangat gesit. Suara-suara kaca pecah terdengar berdentingan,
kayu yang patah dan batu-batuan dinding yang roboh berderak-derak menyulut
cekam. Kakek kembali melesat, masuk ke dalam rumah.
“Allahu akbar, astagfirullah,
Kakek... Ibu... Astagfirullah...”
Nadia berhenti berlari, bersama
segala getar dan perasaan paling nanar, tubuhnya runtuh di tengah jalan,
menatap puing rumah yang ambruk. Kakek, ibu dan kakak lelakinya, masih berada
di dalam rumah. Tidak hanya rumahnya yang ambruk, nyaris semua rumah di
pemukiman berderak-derak dan roboh. Tanah yang dipijaknya terlihat bergerak-gerak.
“Ibu… Ibu…”
Siti coba berdiri,
memanggil-manggil ibu, ingin kembali ke dalam rumah, ingin mengais dinding
beton yang tumpang-tindih. Sepasang tangan menyabetnya, membawanya berlari ke
tanah lapang.
“Tsunami!”
“Allahu Akbar... Allahu Akbar...”
Orang-orang tunggang langgang, berlari sekencang-kencangnya menuju tempat yang
lebih tinggi.
Nadia mendengar suara bergemuruh,
seperti gelombang air besar menyapu apa saja yang dilewatinya. Orang-orang
berteriak getir, takbir dan tahlil terus berterbangan ke awang-awang. Tangan yang
menyabetnya mendekap sangat erat, samar Nadia melihat dari kejauhan gelombang
pasang berwarna hitam, menyeret atap rumah dan mobil besar. Hatinya bergetar,
lebih menyaksikan kota yang berubah menjadi lautan. Nadia lelah, teramat sangat
lelah, seluruh energinya terhisap rasa cekam lalu hilang kesadaran.
Beberapa pasang mata menatapnya
dengan sorot pudar, ketika Nadia membuka mata setelah nyaris 2 hari tak
sadarkan diri. Wajah-wajah mereka begitu asing, tidak satu pun yang dikenali,
semuanya asing. Kecuali kesedihan yang teramat sangat pedih, tergores tegas di
wajah-wajah mereka. Beberapa pasang mata yang menatapnya semuanya bertelaga,
digenangi duka, selebihnya kekosongan yang bercerita tentang kehilangan.
“Beri dia minum…”
Bisik seorang perempuan, tangannya
berbalut perban dari kain sarung yang disobek, darah masih terlihat membasah di
lukanya. Perempuan itu menyodorkan air mineral kemasan gelas. Nadia menatapi
langit-langit, bukan rumahnya.
“Aku di mana?” Nadia bergumam.
“Kita di mesjid Nak...” Perempuan
dengan wajah bersedih mengusap punggungnya. Nadia mengawasi ke sekeliling,
orang-orang berhamparan, di atas lantai tanpa alas tanpa selembar pun tikar, semua
wajah terlihat muram, mendung, digelayuti awan-awan. Suara-suara tangis
terdengar riuh, bersahutan menyeduh cekam. Ada ratap, ada erang, ada jerit, ada
histeria, segala yang bersuara saat itu hanyalah duka paling nestapa.
“Nazma.... Nazma...” Lelaki tua
meratap-ratap, memanggil seseorang. Tangannya meremas-remas rambut, sesekali
memukul-memukul dinding.
“Sabar Pak, sabar... Istigfar...”
Perempuan di sisinya mengusap-ngusap lelaki itu.
“Allahu akbar, ampuni kami ya
Allah...” lelaki lain di tepi tenda, tidak hentinya berdoa.
“Ibu…”
Nadia teringat ibunya yang tidak
terlihat di antara wajah-wajah suram itu. Sedotan air mineral sudah menempel di
bibirnya, diasongkan seorang perempuan yang terlihat bersedih. Matanya menatap lebam,
seketika belati menurih kelopak-kelopak tatapnya, mengalirlah air mata. Jatuh
di tangan Nadia, hangat terasa. Nadia mencoba untuk duduk, perempuan itu
mengais punggungnya. Nadia menajam tatap, tetap saja wajah itu begitu asing.
“Mana ibu?” Perempuan itu hanya
mengusap rambutnya. Telaga seketika tergenang di kedua bola matanya “Ibuku
mana?” Nadia meronta.
“Mau ke mana Nak?”
Tangannya yang bergetar menahan
bahu Nadia yang mencoba berjalan. Tangan kanan Nadia menunjuk ke pelataran,
perempuan itu tetap menahan. Nadia kembali diam tidak beranjak, tidak sejengkal
pun beranjak. Di luar mesjid, di pelatarannya hanya terlihat deretan mayat
tertutup kertas koran, kota yang terendam lumpur, bongkah runtuhan dan
kesedihan yang berhamparan.
Orang-orang di luar mesjid
terlihat sibuk, membangun tenda pengungsian, memindahkan mayat, memberikan
perawatan, semuanya tenggelam dalam dunia yang sangat kelam. Tandu-tandu yang
membawa korban, semakin kerap berdatangan.
“Ibu…”
Nadia ingin menagis, ingin
menumpahkan segala macam air mata, hanya perih yang bisa keluar dari urat-urat
retina. Di dalam hatinya, perasaan paling asing mengamuk, perasaan paling aneh
yang sampai hari ini hari tidak pernah bisa dimengerti. Rasa kehilangan yang
teramat sangat dalam.
“Nak, Kamu jangan ke mana-mana,
Ibu pergi sebentar, nanti kembali lagi.”
Nadia mengangguk, perempuan dengan
wajah bersedih berjalan gontai, kaki-kakinya seperti melayang di atas tanah,
ditatapnya satu persatu deret mayat di tengah lapang. Dicarinya seseorang,
entah siapa?
“Riana? Ya Allah selamatkan Anakku,
Riana. Ya Allah...” perempuan itu terus bergumam, memanggil anaknya,
mencari-carinya di antara kerumunan orang-orang yang dirundung nestapa, di
antara deret mayat-mayat. Kedua bola matanya, semakin menelaga. Rasa sesak
semakin mendesak.
***
Setelah tsunami tahun 2004 itu,
Ibu, Kakek dan kakak lelaki Nadia tak pernah ditemukan sampai sekarang. Hanya
doa-doa saja yang kerap menjadi pertemuan antara Nadia dan keluarga yang telah
tiada, selebihnya terucap bersama air mata dalam doa dan mimpi.
Perempuan berwajah sedih di tenda
pengungsian itulah yang sampai saat ini menjadi ibu Nadia untuk selamanya.
Tangan lembutnya selalu berhasil membalut segala rasa kalut, mengusap sebentuk
sesak yang masih datang membekap.
“Anak Ibu yang hilang, usianya sebaya
denganmu, namanya Riana. Kita harus bersyukur Nak, Allah masih memberikan
kesempatan untuk hidup... Namamu siapa?”
“Nadia...”
“Kamu tinggal di mana?”
Kedua bola mata Nadia menjadi
telaga, di benaknya berlarian baying-bayang ibu, kakek dan kakak lelakinya.
Mereka semua entah bagaimana? Masih hidupkah atau sudah tenang di alam kekal
sana? Perempuan itu memeluknya, air mata jatuh di celah-celah di rambutnya.
“Jangan takut Nak, Ibu akan
mengurusmu. Allah sedang menguji Kita...” Ucapnya 8 tahun silam.
Hari ini, suara-suara itu kembali
terdengar. Nadia bersama ibu berlari ke tanah lapang, ke tempat yang paling
tinggi, bersama orang-orang yang berhamburan. Mengungsi mencari keselamatan.
“Ibu... Gempa! Keluarlah...” Nadia
menjerit-jerit memanggil ibunya yang masih berada di dalam rumah. Ditatapnya
jalan di luar sana, orang-orang sudah berlarian. Ibu keluar dari rumah,
mulutnya tak henti menyebut nama Tuhan. Ibu menggnggam lengan Nadia, mereka berlari,
mencari tanah kosong. Di luar rumah sudah kalut, orang-orang membawa tas besar,
membawa apa saja yang bisa mereka selamatkan. Ruas jalan penuh dengan
orang-orang dan kendaraan, kemacetan tak terhindarkan.
“Ayo keluar dari mobil, lari saja.
Ayo, cepat.” Teriak seseorang dari dalam mobil.
“Tsunami! Tsunami!” Teriak
orang-orang.
“Allahu Akbar... Allahu Akbar...”
Ibu memegangi tangan Nadia sangat
erat, mereka terus berlari bersama iringan orang-orang, terselip-selip di
antara baris kendaraan, bergerak menuju tempat yang lebih tinggi. Kegetiran 8
tahun silam, kembali bergentayang.
Hati Nadia yang telah pecah kini
semakin pecah. Dua orang lelaki menabraknya dari belakang. Nadia terjatuh, ibunya
terbawa runtuh.
“Kamu baik-baik saja, Nak?”
Nadia melihat darah di kening ibunya
yang tersungkur di atas aspal. Rasa sakit sama sekali tidak terasa, ibu kembali
berdiri, kembali membawanya berlari ke tempat yang lebih tinggi. Suara-suara
takbir dan tahlil semakin terdengar.
Bersama kekalutan, Nadia
menerbangkan doa-doa ke awang-awang. Semoga kelam di waktu silam tak kembali
menerjang lebih jalang.
“Kakek… Kakek...”
Di pinggir jalan, gadis kecil
menangis sendirian, tangannya menunjuk-nunjuk ke dalam rumah, mulutnya
menjerit-jerit mengharap pertolongan.
Belum ada tanggapan untuk "8.7 Skala Richter"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar