Ditatapnya wajah ibu di dinding kamar, tetap sama, tidak ada yang berubah, selalu penuh semesta ketulusan yang tak berbatas. Sudut-sudut matanya melarikan bulir garam, rasa perih menelusup di setiap urat mata, merajahnya dengan getar.
Di foto itu, ibu mungkin tidak beranjak ke manapun usianya tidak sejingkit pun beringsut. Akan tetapi kemarin hari di lihatnya uban telah berhelai-helai menjadi hiasan rambut ibu. Garis-garis usia telah meninggalkan banyak jejak. Hidup terus beranjak, menjadi petak-petak jarak, menegas batas di waktu kemudian. Bulir garam yang lain jatuh dari sudut-sudut matanya, menumbuk lantai, pecah menjadi bercak, kemudian hilang tanpa gamang.
Hilang adalah kata yang paling menakutkan, adalah neraka yang mengancam, adalah hukuman-hukuman yang setia berdiri atas pikiran-pikiran manusia yang merasa memiliki. Hilang adalah kegetiran yang datang merajam, dirasakan siapa saja yang di dalam dirinya bersarang-sarang sekian banyak kehadiran.
“Assalamualaikum.” Seseorang mengucap salam diikuti suara ketuk di kayu pintu.
“Siapa?” Lelaki itu mengusap sudut mata, punggung lengannya berjejak bercak.
“Bukalah pintunya, Nak.”
Suara di balik pintu seakan pernah didengarnya, getarnya, nadanya, liuk-liuk lidahnya seolah bukan gelombang suara yang asing, itu seharusnya suara ibu. Bukan suara siapapun, akan tetapi kenapa suaranya terdengar asing.
“Ibu?” Diburunya daun pintu, pertanyaan segala macam pertanyaan menarik lengannya untuk membuka pintu.
“Nak, aku tahu kamu tidak bisa pulang. Itu sebabnya ibu datang.”
Lelaki itu tercengang, ibu berdiri tenang di mulut pintu yang menganga.
“Ibu…”
Lelaki itu mengulur tangan, ingin disentuhnya ibu, ingin dirantainya ibu. Hilang, bayang-bayang ibu kembali hilang. Hanya kenangan yang mungkin kembali dihadirkan. Lelaki itu ambruk, dari sudut-sudut matanya garam-garam tidak lagi bulir, melainkan bongkah perih yang menurih.
***
“Sudahlah Nak, jangan bersedih. Kita berdoa saja untuk yang telah tiada.” Perempuan itu mengusap bahu lelaki yang bersedih.
Dikenangnya sosok Anit, perempuan yang meninggal belasan tahun silam. Perempuan yang menitipkan lelaki itu kepadanya untuk dibesarkan.
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Fantasma Mothera"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar