Tempat
yang paling Radan rindukan saat ini adalah lorong. Bukan sembarang lorong,
hanya lorong panjang di antara kamar-kamar kontrakan yang sudah lebih dari dua
tahun ditinggalkan, beserta isinya; anak dan istri.
“Bang,
kalau sudah dapat uang cepat pulang.” Ucap Lia malam itu, sebelum Radan pergi
ke Bandung. Kata-kata itu hanya sekali diucapkan, hanyut bersama air mata,
mengalir ke celah hati Radan yang sebenarnya kalap. Kata-kata Lia terus
berdengung, bergema di kedalaman ruang sadar dan sampai hari ini masih
terdengar. Bahkan semakin kerap terdengar.
Suara
Lia seperti menjelma dinding-dinding ruang, di mana pun Radar berasarng, di
sana suara itu kembali terdengar, bergema, memantul-memantul di dalam ingatan.
“Lia,
Abang tidak akan lama. Setelah punya uang, pasti Abang cepat pulang,” jawab
Radan, tenang. Senyum paling karang, diurainya malam itu, senyum besar yang
menyapu segala kesedihan “Doakan Abang.” Bersama sebuah ciuman yang melesak di
kening, Radan mengayuh harapan, tujuan; Bandung.
Meninggalkan
lorong itu seperti meninggalkan segala apa yang dimilikinya dalam hidup. Tidak
ada pilihan lain, malam itu Radan harus pergi ke Bandung untuk bekerja, mencari
uang, menafkahi anak dan istrinya, menjadi kuli bangunan.
Radan
memiliki sahabat kental yang bisa diandalkan di kota Kembang, Deni. Katanya dia
butuh banyak orang di proyeknya untuk mengerjakan pembangunan gedung. Sahabat
kental seperti Deni, bukan sekali dua kali menyelamatkan hidupnya, sudah sangat
sering Deni menjadi juru selamat ketika Radan benar-benar terpojok, terjepit
kesulitan hidup yang tak pernah bosan datang berkalang.
Radan
sudah menganggur selama enam bulan. Sementara kebutuhan hidup tidak bisa
ditangguhkan, rasa lapar tidak bisa sejenak pun diasingkan. Celengan gerabah
berbentuk ayam sudah dua bulan lalu dipecahkan, isinya hanya ratusan rupiah, semuanya recehan, paling besar hanya
sepuluh ribuan. Pinjaman uang sudah
berderet semakin panjang. Mencari kerja bukan perkara mudah semisal membalik
telapak tangan. Usianya tidak lagi muda, sudah nyaris 40 di awal bulan depan.
Satu
bulan lalu, Radan pernah mencoba berjualan, menjadi pedagang gorengan berbekal
roda pinjaman dan modal yang juga pinjaman sebesar 500 ribu rupiah. Tapi
usahanya kandas di tengah jalan. Uang hasil dagang terkuras untuk mengobati
Ani, anak semata wayang yang akhir-akhir ini sering sakit-sakitan.
“Den,
jemput aku.” Gumam Radan, tangannya merogoh saku baju dan celana, mencari
recehan yang tersisa. Tidak selembar pun, hanya ada recehan, semuanya tandas
untuk membayar ongkos bus. Radan termangu, menunggu Deni yang katanya akan
menjemput di terminal Leuwi Panjang tepat jam 11 malam.
“Pak,
sekarang jam berapa ya?” tanya Radan pada seorang lelaki di sebelahya.
“Jam
sepuluh pas.” Lelaki itu menyodorkan lengan kanan yang berbelit jam.
“Terima
kasih, Pak,” Radan tersenyum.
Radan
kembali terduduk, tenang, sangat tenang, menunggu Deni yang satu jam lagi pasti
datang menjemput. Radan kembali mengingat percakapannya bersama Deni, melalui
HP tetangga kontrakannya tadi sore.
“Kamu
jadi ke Bandung?” Tanya Deni.
“Jadi
Bang, saya berangkat jam tujuh dari rumah.”
“Kamu
tunggu di terminal ya, jangan ke mana-mana. Aku akan menjemputmu jam sebelas
malam.” Suara Deni terdengar nyaring.
“Bang,
saya enggak punya HP, bagaimana saya menghubungi Abang nanti?”
“Sudah
tenang saja, pokoknya setelah kamu sampai di terminal Leuwi Panjang, duduk saja
di kursi tunggu. Aku akan mencarimu, tapi jangan sampai lewat dari jam sebelas
malam.”
“Baik,
Bang. Kalau begitu aku siap-siap dulu ya.”
“Ya
udah sana, awas jangan sampai telat. Ingat.”
“Iya
Bang. Tapi Abang pasti jemput, kan?” Radan masih ragu.
“Pasti.”
Deni menjawab enteng.
Radan
sudah mengenal Deni sejak lama, sahabat kental yang bisa dipercaya. Seperti
dalam keadaan sulit yang sudah-sudah, kali ini Deni kembali hadir untuk
membubuh secercah harap. Radan tersenyum, ditatapnya bus-bus yang berdesak di
terminal. Tangannya bersedekap, erat. Matanya terus berputar-putar menatapi
terminal, mencari-cari Deni. Siapa tahu sahabatnya itu sudah berada di terminal.
Tidak
ada Deni, tidak ada wajah yang dikenal, hanya ratusan wajah asing di antara
terang lampu merkuri dan remang pojokan terminal. Benaknya kembali melayang,
mengingat Lia dan Ani, mengingat kontrakannya yang sudah 2 bulan belum dibayar.
Ditatapnya lorong di antara mobil bus, hanya ada kegelapan dan aroma solar.
Tidak ada deret sandal dan lagu-lagu dangdut yang hingar seperti suasana lorong
di kontrakan.
Disapunya
kembali terminal dengan tatapan, Deni masih tidak terlihat, tidak ditemukan. Radan
kembali terduduk, menunggu tenang. Sesekali berdiri celingukan, menatapi
sekitar, menyapu siapa saja dengan tatapan. Hari semakin malam. Radan mulai
merasa gentar.
“Pak,
sekarang jam berapa?” Tanya Radan kepada seseorang.
“Jam
dua pas.” Jawab orang itu, mulutnya kemudian menguap.
Radan
bergetar, menahan kesal, gentar dan nanar.
Lia
di kamar kontrakan, masih terjaga, khusyu menerbang doa-doa yang sangat
sederhana, sekadar harap agar suaminya tiba dan kelak kembali dalam selamat.
Doa sederhana yang tidak hanya malam itu diharapkan, tapi juga di malam lain
ketika Radan harus berangkat untuk bekerja. Setelah doa usai dilangitkan, Lia
tertegun, ditatapnya Ani yang sesekali menabuh dengkur. Malam semakin malam,
Lia kantuk seharusnya datang merajam tapi malam ini, Lia seperti kehilangan
bola matanya, tidak bisa tidur, pikirannya terus melayang-layang, mengingat
suaminya, Radan.
“Abang?
Semoga Abang baik-baik saja.” Lia menepis segala wasangka, Firasat-firasat
buruk yang berkelebat-kelebat di kelam malam, dilemparkannya bersama hembusan
nafas yang dalam.
“Bapaaak!”
Ani menjerit, matanya terbelalak seketika.
“Ani,
kamu kenapa Nak? Kamu bermimpi Nak?” Lia mengusap-ngusap keringat di dahi Ani
yang pucat pasi, nafasnya berdengus cepat, jantungnya berdebum-debum kencang,
seolah hantu paling jahat mengerjarnya di alam mimpi.
“Emak…”
Ani memeluk Lia, matanya memaritkan air mata, nafasnya masih terdengar cepat,
rasa takut terasa hangat di sekujur tubuhnya yang dibasahi keringat.
“Kamu
mimpi Nak? Jangan takut, Emak di sini, kamu pasti cuma mimpi.”
“Takut
Mak, Ani takut.” Pelukannya semakin erat.
“Kamu
ini, sudah gede kok masih takut sama mimpi. Pasti mimpi hantu ya?” Lia mengusap
kepala-kepala Ani, menenangkannya.
“Bukan…”
Suara Ani bergetar.
“Bukan?
Terus kamu mimpi apa dong? Nggak biasanya kamu begini.” Ani selalu berhasil
menyisihkan rasa takut, mimpi-mimpi paling buruk yang pernah dilewatinya tidak
pernah membuatnya setakut malam ini. Biasanya Ani akan membaca istigfar ketika
terbangun dari mimpi buruk, kemudian tertidur kembali dengan mudah. Tapi malam
ini Ani merengek-rengek, seolah rasa takut paling gunung menimpa
pundak-pundaknya.
“Kamu
mau minum?” Lia menyodorkan air bening yang dirogohnya dari atas meja. Ani
melonggarkan pelukan, kemudian menatap Lia, matanya berkaca-kaca, pudar, layu.
“Mak,
aku mimpiin Bapak…” Ani terhenti bercerita, diingatnya kembali cerita di alam
mimpi “Aku dan Bapak, pergi ke kota. Di sana…” Ani berhenti lagi, dahinya
berkerut, kembali mengingat.
“Di
sana, kita melihat cahaya hitam, datang dari lubang jalan. Bapak masuk ke dalam
lubang cahaya itu dan tidak pernah kembali. Aku melihatnya di tepian lubang,
melihat Bapak kesakitan.” Ani menangis, terisak.
“Aneh
sekali mimpimu, semoga itu hanya mimpi. Sudah jangan kamu pikirkan, itu hanya
mimpi.” :Lia menutupkan kain sarung ke tubuh Ani, keduanya dikerubuti sekian
banyak pertanyaan.
Malam
semakin malam, Ani dan Lia sudah lelah mengeja malam, energi mereka habis
ditikam kecemasan.
“Astagfirullah!”
Lia tersentak, matanya terbelalak, mimpi buruk menghancurkan lelapnya yang baru
sejenak. Mimpi yang sama seperti apa yang diceritakan Ani.
“Mimpi
ini benar-benar aneh. Abang, semoga kamu baik-baik saja. Ya Tuhan, lindungi
suamiku dari segala macam kesusahan, mudahkanlah segala urusan. Amin” Lia terus
terjaga, bertahan tanpa pejam, menyambut cahaya yang tak lama lagi berserak di
beranda.
***
Radan
tidak beranjak ke manapun selama tiga malam berikutnya, masih berharap Deni
datang menjemput. Bersama rasa lapar, dingin, cemas, kesal dan harapan yang
pudar Radan tatap menunggu.
Di
malam terakhir penantian Radan berdiri nanar, ditatapnya bus jurusan
Bandung-Bekasi. Diingatnya kembali kata-kata Deni. Nafasnya mendengus,
tangannya bergetar, terkepal bundar.
“Bangsat!”
Radan
mengumpat, memecah kesal. Ditinggalkannya bangku terminal, digusurnya tubuh
yang bergetar. Dirogohnya lagi saku celana dan saku baju. Hanya ada dua koin,
seratus rupiah dan dua ratus rupiah.
“Ani…”
Di hatinya yang paling
lubuk, Radan melolong.
Belum ada tanggapan untuk "Lelaki yang Tak Pernah Kembali"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar