Kedua
bola matanya sudah berbulan-bulan terpejam, tubuhnya tergolek tanpa gerak,
seibarat orang mati, beku membatu. Hanya dadanya yang semakin ringkih masih
terlihat kembung kepis, lambat, sangat lambat. Segala macam panggil, usap, isak
dan doa-doa yang berkeliar di sekujur tubuhnya, seolah-olah tak pernah ada.
Dunia Tole sudah bertahun-tahun seperti itu, ambruk dalam sakit, menyendiri
dalam sepi.
“Sudah
kamu bawa ke mana anakmu?” Tanya Mbah Ugi.
“Saya
sudah membawanya ke mana-mana Mbah, tapi…” Halim tersekat.
“Sudah
habis seluruh harta kekayaan kita, Mbah. Tole tidak kunjung sembuh, kini saya
hanya bisa pasrah semoga Allah memberikan kesembuhan untuk Tole.” Nimah menambahkan kata-kata suaminya.
tertunduk, pipinya membelah, pecah diiris linang. Direjamnya segala sakit, di
dada paling dalam. Ditahannya segala nyeri, di jantung paling pucuk.
“Kalian
membawanya berobat ke dokter, tabib atau dukun?” Mbah Ugi menarik nafas
dalam-dalam, ikut bersedih.
“Dokter
sudah, tabib sudah, dukun sudah. Tidak ada yang bisa mengobati Tole, Mbah.
Mereka tidak tahu Tole sebenarnya sakit apa, To…” Nimah tidak lagi sanggup
berkata-kata, segala apa yang ingin diucapkan dititipkannya kepada air mata yang hangat, yang pedih, yang
mengiris. Halim mengusap-ngusap punggung Nimah, matanya pudar menatap
gelas-gelas di atas meja kaca.
“Dokter
juga tidak tahu Tole sakit apa?” Dahi Mbah Ugi berkerut.
“Diagnosa
mereka berbeda-beda Mbah, kata dokter ini begini, kata dokter itu begitu.
Semuanya tidak ada yang yakin dengan sakitnya Tole. Kita sudah pergi ke semua
dokter, uang sudah habis tapi Tole tidak kunjung sembuh.” Papar Halim, tenang.
Hening,
Mbah Ugi dan kawan-kawannya yang datang menjenguk Tole sejenak terdiam,
kata-kata karam di dalam gelas, tenggelam di kebeningan air, tanpa suara. Tole
di atas tikar pandan, terbaring tenang, tidak pernah bergeliat, tidak sedikit
pun bergerak, seperti orang mati.
“Mbah…”
Nimah menyulut suara, tenggoroknya bersekat, “Tolong carikan orang yang bisa
mengobati Tole, Saya akan jual segala apa yang saya miliki agar Tole bisa
kembali sembuh.” Nimah mengangkat tatap, sorotnya mengisyaratkan sejuta harap.
Mbah Ugi tidak lekas menjawab. Halim tertunduk.
“Hmmm…
Mbah pernah mendengar seseorang yang bisa menyembuhkan apa saja tapi…” Mbah Ugi
menerawang sejenak, “Tapi… Mbah tidak tahu apakah beliau saat ini masih hidup
atau tidak. Cerita tentangnya sudah sangat lama Mbah dengar.” Lanjut Mbah Ugi.
“Maksudnya,
orang itu dukun ya Mbah?” Tanya Halim, wajahnya terlihat kecewa. Kepercayaannya
melarang siapa saja untuk berobat ke dukun. Jika bukan karena rengekan Nimah,
Halim tidak akan pernah mengobati anaknya ke dukun, bertanya tentang dukun pun
tidak akan.
“Siapa
Mbah, di mana orang sakti itu?” Warna mata Nimah yang sudah bertahun kelabu,
seketika memekat berpulas harapan. Diusapnya jejak air mata dengan kain baju.
“Di mana orang itu Mbah, saya akan mencarinya.” Sambung Nimah bersemangat,
ingin segera mendengar perihal orang yang diceritakan Mbah Ugi. Tidak peduli,
orang itu dukun, tabib atau dokter, selama bisa menyembuhkan Tole, Nimah akan
mencarinya.
“Beliau…
disebut-sebut haji … Haji Madi. Dulu… tinggalnya di kota… Cirebon.” Mbah Ugi
terbata merapal ingatan, membongkar memoar. “Ya, beliau tinggal di Cirebon, di
kampung Udang.”
“Nanti
sore saya akan ke sana Mbah, saya akan mencarinya.” Nimah beranjak dari
duduknya, ditatapnya Tole penuh harap. Hatinya buncah dengan harapan yang
bersemi, pikirannya terang seolah kembali disisipi matahari. Berjuta matahari.
“Nimah… Kita sudah…” Halim
menggenggam tangan Nimah, tapi kata-katanya terpotong, “Bang, saya tahu Abang
tidak suka kita berobat ke dukun, karena itu perbuatan musyrik. Asalkan Abang
tahu saja, apapun yang haram menjadi boleh dalam keadaan darurat. Mengertilah Bang.”
Jawab Nimah, tegas. Halim kembali tertunduk.
“Nak
Halim, tenang saja. Sepengetahuan Mbah, Haji Madi itu bukan dukun, metode
pengobatannya juga tidak memakai kemenyan atau jampi-jampi. Beliau mengobati
orang-orang dengan ramuan herbal. Kamu tenang saja, sebaiknya kamu saja yang
pergi mencari beliau. Bagaimana?” Mbah Ugi menengahi keduanya, Halim
mengangguk-ngangguk, membenarkan perkataannya.
“Baiklah
Mbah, kalau begitu saya yang akan berangkat. Mudah-mudah2an beliau mau datang
ke sini untuk mengobati Tole. Tapi Mbah…”
“Mbah
yakin, Haji Madi pasti mau datang ke sini kalau kamu ceritakan segalanya kepada
beliau. Lagian uang bukan segalanya untuk beliau, tenang saja. Kamu
berusahalah, hasilnya kita serahkan saja kepada
Yang Maha Kuasa.” Mbah Ugi tersenyum, Nimah terlihat lebih cerah.
“Bang,
sebaiknya pergi saja sekarang.”
“Iya
Nimah, Abang pergi sekarang.”
***
“Tole,
bangun nak.”
Nimah
mengusap wajah Tole, ditatapnya tubuh ringkih di balik kain sarung, tubuh yang
sudah bertahun-tahun terbaring tanpa gerak, tanpa geliat.
Dibalurkannya
obat-obat herbal ke sekujur tubuh Tole, obat herbal terkahir yang diberikan
Haji Madi satu bulan yang lalu. Haji
Madi sudah didatangkannya ke rumah, tetap saja tidak ada perubahan. Tole tak
kunjung membaik, sakitnya tetap tak tersembuhkan.
“Kalau
Allah mengijinkan, Tole akan membaik sebelum obat ini habis. Pakaikan seperti
yang saya lakukan tadi.” Nimah mengenang petunjuk Haji Madi, ditatapnya kembali
obat herbal yang nyaris membalur sekujur tubuh Tole. Air matanya memisau, mengiris
kedua bola mata, jatuh tak tertahan.
“Bang,
Tole tidak kunjung membaik. Apa lagi yang harus kita lakukan?” Nimah menelusup
ke bahu Halim.
“Sabar
Nimah, mungkin belum waktunya Tole sembuh. Percaya saja, Allah tidak akan
memberikan ujian yang berat kepada makhlukNya.” Jawab Halim, meyakinkan Nimah
untuk tetap tegar. Sementara hatinya sendiri, pecah terburai, berserak, lantak.
“Tole
seharusnya menjadi anak yang sehat, berlarian riang bersama teman sebayanya,
pergi ke sekolah atau mencari ikan di empang. Seharusnya dunia ini tidak pernah
menghadirkan kejahatan-kejahatan semacam itu kepada Tole, apa salah dan
dosanya, Bang? Kenapa harus Tole yang menderita sakit tak tersembuhkan itu? Aku
tidak mengerti, Bang” Nimah merutuk, dadanya terasa sesak.
Pertanyaan-pertanyaan
itu seolah gelora ombak, menggedor-gedor hati Nimah juga Halim. Tidak pernah
ada jawab untuk segala ratap dan sedih yang bersarang di hati mereka. Tuhan
mungkin tinggal cerita, tak henti namaNya disebut, ditasbih, ditakbir dan
ditahmidkan di sepanjang malam, di seluruh siang, hanya sakit berpanjangan yang
menjadi kenyataan. Tak sedikit pun kesembuhan yang datang, Tole tetap tergolek
di atas samak pandan, lemas terkulai, ringkih, menyulut miris.
Begitupun
rutuk dan puruk, tidak menjadi apapun kecuali sesak yang kian berlipat. Hanya
menyerah dan menerima, itu saja yang bisa mereka lakukan, hanya itu. Hidup
mungkin tak pernah salah, nasib tak perlu dipertanyakan, setiap orang hanya
harus berserah menerima kenyataan.
“Tole…”
Nimah
menatapi tubuh Tole yang tertutup kain sarung. Air matanya hari ini, seolah tak
bertuan, tak kuasa dibendungnya, mengalir memarit di wajah. Seperti kuku Iblis
yang tajam mencabik membubuh perih, air matanya terasa garang menurih. Tidak
biasanya, selama bertahun-tahun kesedihan selalu bisa diredakan, ditelannya di
hati paling dalam. Tapi hari ini, air mata sepertinya bersekutu dengan seluruh
semesta, memarit, menelaga, menyamudera. Tumpah di atas lusuh tikar pandan.
Merendamnya dalam keputusasaan.
“Ibu…”
Tole
bergumam, setelah bertahun-tahun mulutnya selalu terkatup, lupa pada kata,
terasing dari suara, hari ini Tole berkata-kata, menyebut ibunya. Nimah dan
Halim terkesiap, tak percaya dengan apa yang didengar dan dilihatnya, Tole yang
bertahun terkulai beku, kali ini berkata, meskipun sekadar gumam.
“Tole,
bangun Nak? Tole?” Nimah ingin mendengar kata-kata lagi dari mulutnya, Tole
membuka mata, tersenyum kemudian semakin tersenyum menatap Nimah dalam tatap
yang tenang.
”Ibu,
kita di mana?” Ucap tole, meskipun parau, Nimah cukup jelas mendengarnya.
“Kita
di sini, Nak. Di rumah kita…” Nimah menjawab racau.
“Aku
harus pulang, Bu.” Tole kembali tersenyum, tatapnya berlari ke wajah Halim.
“Pulang
ke mana, Nak? Ini rumah kita…” Air mata membasuh kata-kata.
Nimah
berserak menjadi serpih, menjadi pecahan, hatinya terburai-burai dalam
kesedihan. Halim yang lelaki pun, tak berdaya ditampar-tampar keharuan.
“Jangan
sedih Bu, Pak, janji ya.” Tole tersenyum, semakin tersenyum.
Nimah
menangis, semakin menangis. Halim memeluk Tole, ingin menjaganya dari renggutan
Maut yang terasa berkelebat. Dingin, semakin dingin sekujur tubuh Tole terasa
dingin.
Tole
kembali terpejam, tenang sangat tenang.
Tubuhnya
tidak bergerak, tidak bergeliat.
Belum ada tanggapan untuk "Tha Dance of Tears"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar