Celaka. Aku kian dekat pada celaka.
Tanpamu duhai helai-helai daun, apa jadinya hatiku? Hanya sebatang kering pohon Jati yang ranggas di sepanjang musim, melapuk, mengeja waktu yang berdekat menuju busuk. Suara-suara hati yang patah, gema tragika fotosintesa yang keracunan timbal dan wajahmu yang semakin kelam karena melulu bersolek asap kota, semua itu menjadi labirin sangsi dalam bahasa-bahasaku. Begitupun ketegaran yang sempat tegak di tepi perempatan, kini hanya mampu menerka warna lampu yang menyala bergantian di tiang rambu-rambu.
Kita mungkin menghirup udara pengap yang sama, berteduh di bawah sengat UV yang sama galak, tapi kota ini tidak pernah mengijinkan siapapun untuk menabur benih di atas bentang-bentang jalan aspal, trotoar dan etalase pertokoan. Musuh kita hanya satu, angka pertumbuhan mesin yang hilang kendali dan kontrol gedung negara yang tak bermakna. Celakanya, tak pernah ada genderang perang dikabarkan, kecuali jerit-jerit pemberontakan yang samar dan kesal yang diisyaratkan hujan.
Maria...Aku tidak pernah memahami bagaimana kelak setiap jengkal kemegahan di kota ini akan menjadi bongkah, tidak ada lagi ruang kosong, tidak ada lagi kesiap angin segar di celah rambutmu. Begitupun romantisme taman-taman kota dan memoar bunga trotoar, mungkin hanya akan menjadi kering kenyataan, berantakan diterjang besi, batu dan baja. Celaka, kita kian dekat pada celaka.
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Taman Kota-kota"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar