Tidak pernah ada catatan tentang seberapa banyak kepala yang sudah dijejaki gunting-guntingku. Jika dalam sehari ada 5 kepala yang dicukur, dalam satu bulan ada 150 kepala, itu berarti dalam 1 tahun, aku telah mencukur sebanyak 1,800 kepala.
Aneka macam kepala, yang bersih, yang kotor, yang bau, yang wangi, yang penyakitan, yang sehat, semuanya pernah kujelajah kecuali isi di dalam kepala itu, tak satupun yang pernah aku mengerti. Begitupun sorotan mata yang memancar dari kepala-kepala itu, bagiku selalu berarti tanda tanya dan sederet terka.
Pekerjaanku hanyalah tukang cukur, memotong rambut, mengganti model rambut, itu saja yang harus kulakukan. Begitupun makna di belakang model rambut yang mereka inginkan, apalah urusanku? Ideologi atau tuntutan pasar, apalah bedanya bagiku?
“Silakan, Bang” Aku memanggil lelaki muda yang sudah antri di urutan ketiga. Rambutnya tidak terlalu panjang, hanya sisi-sisinya saja yang terlihat tidak rapi.
“Mau dipotong bagaimana, Bang?” aku menyiapkan peralatan cukur.
“Digundul saja, Mas.” Lelaki itu menatap wajahnya di cermin.
“Plontos?” Aku memasang handuk kecil di pundaknya, lalu menutup tubuhnya dengan kain katun putih.
“Iya, plontos.” Matanya menatapku melalu cermin di depannya.
Bekas luka melintang di pipi kanannya, dari sudut mata dekat telinga turun nyaris ke bibir. Sebuah tahi lalat, nangkring di pipi kiri, tepat di bawah kelopak mata. Tidak hanya lelaki itu yang wajahnya menyimpan bekas luka, aku pernah melihat bekas luka yang lain, jejak yang lebih getir, lebih panjang, lebih dalam. Namun apalah urusanku dengan jejak-jejak luka itu?
Model rambut bukan sekadar perkara estetis, untuk sebagian orang cara menata rambut adalah ideologi yang menjadi citra dari isi kepala dan jalan hidupnya. Air bersih di dalam semprotan menghujani rambutnya, gunting mesin mulai bekerja, memotong rambut di kepalanya. Sesekali aku melihat kepalanya di dalam cermin. Selebihnya aku hanya melihat kepala aslinya yang digerayangi sisir dan gunting.
Sebenarnya aku tidak begitu membutuhkan cermin, menjadi tukang cukur tidak harus melihat cermin, wajah di dalam cermin hanyalah bayangan bukan wajah sebenarnya. Aku hanya perlu memotong rambut aslinya, bukan rambut di dalam cermin. Merapikan penampilannya, bukan penampilan di dalam cermin.
Cermin tidak akan pernah berbohong, hanya saja seringkali cermin menipu, itu sebabnya aku lebih percaya pada apa yang nyata dari pada bayangan di dalam cermin. Mesikpun cermin memang tidak akan mengurangi tidak juga akan melebih-lebihkan dan bayang-bayang di dalam cermin akan seperti apa adanya, tetap saja hanya bayangan, tipuan. Aku memasang cermin agar tamu-tamuku bisa menelisik dirinya sendiri, sebagaimana tamu-tamu di tempat cukur yang lain, selalu menelisik wajahnya sendiri di dalam cermin.
“Sebentar Mas, saya ngangkat telpon dulu.” Lelaki muda itu mengeluarkan tangan yang sudah menggenggam ponsel dari kain penutup, ditempelkannya ponsel ke telinga kanan. “Nanti aku telpon lagi, lagi potong rambut dulu.” Katanya kepada seseorang di dalam ponsel.
“Silakan.” Lelaki itu kembali menyerahkan kepalanya.
Seluruh rambutnya sudah habis, kepalanya sudah plontos. Aku memulaskan pasta di tepian jejak-jejak rambutnya, kemudian mengeroknya dengan pisau cukur lipat untuk membersihkan rambut-rambut kecil yang tidak tergunting.
“Sudah, Bang.” Aku menatapnya melalui cermin.
Lelaki muda itu menyelidik wajahnya, sekali menengok ke kanan, sekali menengok ke kiri. Aku menyimpan handuk yang sudah dibersihkan dari potongan rambut, ia masih terduduk di kursi cukur menatapi penampilan barunya atau mencari-cari yang hilang dari kepalanya.
Memberikan perubahan, itu yang kulakukan pada setiap kepala di ruangan ini. Sebenarnya tidak ada yang berubah di wajah mereka, sebelum atau sesudah dicukur tidak ada yang berubah kecuali gaya rambut, itu saja.
“Silakan, Pak.” Lelaki berikutnya terlihat sudah lelah menunggu, koran yang kusediakan di dekat kursi tunggu sudah habis dibolak-baliknya, dibacanya, dilihatnya, dilipatnya, dibukanya kembali. Lelaki dengan wajah yang menyimpan luka sayat menyodorkan uang delapan ribu rupiah lalu pergi.
“Dirapikan saja sisinya, sedikit.” Tamu keempatku langsung menceritakan potongan rambut yang diinginkannya. “Tadi malam nonton bola tidak?” sambungnya.
“Tidak Pak, ketiduran.” Tidak semua tamuku diam ketika rambutnya dirobohkan, ada beberapa yang mengajak ngobrol, bertanya tentang ini dan itu, bercerita tentang itu dan ini. Seperti orang ini, kata-kata seolah tidak pernah habis dari mulutnya. Menghadapi tamu seperti ini, membutuhkan energi, aku harus membagi konsentrasi menjadi dua arah, kepada suaranya dan kepada rambutnya. Aku harus bisa melayani mulutnya sekaligus merapikan rambutnya.
“Sudah lama jadi tukang cukur?”
“Sudah empat tahun, Pak.”
“Lama juga ya. Memangnya kamu asli sini?”
“Saya aslinya dari Majalengka, Pak.”
“Sudah lama tinggal di sini?”
Lelaki ini tidak peduli pada cermin, rambutnya atau kepalanya, jarang sekali aku menangkapnya tengah menelisik atau sekadar mencuri-curi pandang ke arah wajahnya di dalam cermin. Mulutnya terus saja bercerita dan bertanya, tentang apa saja, bahkan tentang biawak. “Kamu pernah makan daging biawak?” ucapnya, matanya menatapku melalui cermin.
“Belum pernah Pak, enak ya?”
“Baunya amis Mas, saya juga kapok.”
Lelaki itu terkekeh, kemudian kembali bercerita dan bertanya. Aku melihat bayanga rambutnya di cermin, menelisik keseimbangan, percakapannya membuatku ragu apakah potongan rambut kiri dan kanannya terlihat sejajar atau tidak. Ya, bagiku cermin hanya berguna di saat seperti itu. Selebihnya lebih berguna untuk tamu-tamuku.
Cermin bagi sebagian besar orang mungkin ditatap untuk menelisik dirinya sendiri, bagiku sendiri, cermin ditatap untuk menelisik orang lain. Setiap hari aku melihat cermin, akan tetapi wajah-wajah asinglah yang kuamati, kulihat, tidak pernah wajahku sendiri, kecuali sekilas.
***
Potongan-potongan rambut telah disapu dari ruangan, disimpan dalam plastik untuk dibuang. Sudah jam 9 malam, waktunya untuk pulang. Peralatan cukur sudah dibersihkan, tersimpan rapi di tempatnya, tidak sehelai pun rambut terlihat berserak di lantai.
Cermin di depan kursi cukur selalu setuai menangkapi tubuhku, menjerat wajahku kapan saja. Tapi aku tidak pernah percaya kepada bayangan walaupun cermin tidak pernah berbohong, bayangan tetaplah bayangan, semu. Lampu kumatikan.
“Hah?” Lampu kembali kunyalakan.
Aku menatap wajahku di dalam cermin, bekas luka melintang di pipi kananku, dari sudut mata dekat telinga turun nyaris ke bibir. Sebuah tahi lalat, nangkring di pipi kiri, tepat di bawah kelopak mata
“Wajah siapa itu?”
Aku terhenyak.
Bandung April 2012
Belum ada tanggapan untuk "Akar-Akar Akal"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar