Dari balik jendela kaca, Josep mengintip Emran, sahabatnya yang baru saja pulang dari mesjid, menunaikan shalat Jumat. Emran terlihat riang, tenang di sepanjang perjalanan pulang.
“Tuhan tidak adil.”
Josep menggenggam kayu salib yang tergantung di lehernya. Kalung yang hanya bisa dikenakannya sepulang sekolah, itu pun hanya sebatas di rumah. Ibu selalu melarangnya untuk memakai salib saat berada di luar rumah. Tuhannya tidak pernah bebas di keramaian sana. Harus selalu disembunyikan, merahasia.
Jalan besar di depan rumah sudah kembali sepi, tidak ada Emran tidak ada lelaki-lelaki yang berpeci, hanya kekosongan. Menemui Tuhan baginya tidak pernah setenang Emran, tidak juga seriang lelaki-lelakai yang selalu diintipnya di setiap Jumat siang.
“Mereka terlihat baik.” Gumam Josep.
Lelaki-lelaki berpeci yang mengenakan pakaian serba putih itu tidak terlihat garang seperti yang pernah dilihatnya di televisi. Rumahnya yang bersebelahan dengan mesjid tidak pernah sekali pun dilempari dengan batu atau kayu. Tidak ada tatapan mata yang penuh kutukan ketika Josep bertemu tatap dengan para pengunjung mesjid di seberang rumahnya.
“Bunda, besok lusa kita gereja mana?” Josep berlari menuju bundanya.
Bunda tidak lekas berkata-kata, rumah Tuhan bagi mereka bukanlah perkara sederhana. Gereja tidak seperti masjid, tidak berserakan di setiap tikungan. Gereja seringkali berada di tempat-tempat jauh, kadang tersembunyi.
“Kita tidak punya gereja Nak.”
“Kenapa kita tidak punya gereja Bunda?”
Peribadatannya yang dilakukan gereja sudah berlangsung sangat lama, tiga tahun silam. Josep sendiri lupa-lupa ingat, hanya denting lonceng saja yang masih meresap di benaknya. Gereja mereka ditutup oleh pemerintah entah karena apa. Josep tidak lagi beribadat di gereja, begitupun orang lain yang biasa datang ke gereja mereka.
“Tidak ada gereja Nak, di kota ini tidak ada gereja.” Bunda menjawab nanar.
“Kenapa Bunda? Kalau tidak ada gereja, lalu Tuhan tinggal di mana?”
“Tuhan tidak butuh gereja Nak, Tuhan ada di sini.” Bunda mengusap dada Josep.
“Di dalam hati kita?” Tanya Josep.
“Di hati semua orang.”
“Tapi Bunda, apakah gereja itu dosa?”
“Gereja itu rumah Tuhan Nak, sebagaimana mesjid. Tidak ada dosa di antara keduanya.” Bunda tersenyum.
“Kenapa kita dilarang membangun gereja?”
Bunda terdiam, tidak ada satu pun alasan yang dimiliki anak manusia di muka bumi ini untuk melarang pembangunan gereja. Tidak pernah ada alasan untuk itu, seharusnya seperti itu.
Kota hujan nyaris malam, awan dan kabut berlarian dari gunung turun ke kota-kota. Langit berhujan, mengantar matahari yang pulang. Josep sendirian memikirkan rumah Tuhan.
“Tuhan, aku ingin rumahmu dikembalikan.”
Kepada hujan Josep menitipkan doa-doa. Harapan hanyut di dinginnya kekosongan, dilarikan angin ke segala rintik hujan.
***
Teeeeng…
Teeeeng…
Sayup-sayup terdengar suara lonceng tepat di jam 12 malam. Josep terjaga, diburunya sisa suara lonceng di antara siur suara hujan yang jatuh menikam-nikam malam.
“Lonceng gereja…” Josep menerka-nerka.
Teeeeng…
“Iya, suara itu benar-benar suara lonceng gereja. Tapi kota hujan tidak lagi memunyai gereja, seperti kata Bunda. Dari mana datangnya suara lonceng itu?” Telinganya dipasang semakin tajam. Didengar-dengarkannya suara sayup lonceng gereja. Disisihkan suara air, dipusatkannya kedua telinga pada suara lain, suara lonceng yang baru saja didengarnya.
Teeeeeeng…
Lonceng kembali terdengar, sayup, samar, datang entah dari arah mana. Merambat dari satu rintik hujan ke rintik hujan yang lain.
Suara lonceng seperti menuntunnya untuk pergi menemui Tuhan. Tangan-tangan malam memapahnya berjalan keluar, pergi menyelinap di kegelapan menembus dingin penghujan mencari rumah Tuhan. Hari sudah sangat malam, sepanjang jalan genang air berhamparan, deras di atas aspal.
“Tuhan, aku datang.” Josep berbisik-bisik kepada dingin malam, kepada tikam hujan. Diselusurnya getaran-getaran suara lonceng yang terus terdengar. Kaki-kaki mungilnya tersaruk-saruk meretas kelam.
Malam sudah membawanya ke ujung harapan, di ujung barisan hujan, di bawah jatuhan rinai dan rasa dingin yang paling gigil, cahaya aneka cahaya terlihat berkilauan, benderang, terang, berkerdipan.
“Cahaya itu sepertinya datang dari sebuah gedung. Apakah itu rumah Tuhan?” Josep menerka-nerka.
Sebuah gereja berdiri megah, berselimut hujan yang belum memudar. Di sebelah gereja itu sebuah menara terlihat menjulang, menopang lonceng besar yang menggantung di awang-awang.
“Rumah Tuhan…”
Josep berlari memburu gedung yang menjadi sumber cahaya, diterobosnya deras hujan.
***
“Emran! Mana sahabat kafirmu itu?” Sadun berteriak dari kejauhan.
“Siapa maksudmu?”
“Siapa lagi kalau bukan Josep?”
Emran hanya tersenyum menanggapi kebencian besar di mulut Sadun. Ia tidak ambil pusing, hanya senyum selalu menjadi jawaban atas sebutan-sebutan Sadun kepada sahabatnya Josep.
Ditempuhnya jalan aspal yang lengang, sendirian. Kabut-kabut tebal masih belum terurai, menyebar gigil di sepanjang jalan. Jejak hujan tadi malam masih menyimpan genang.
Emran membeku di depan sebuah genangan air di atas aspal. Di tatapnya kayu salib yang terpuruk kedinginan. Tidak asing lagi, kayu salib itu milik sahabatnya, Josep.
Teeeeeng
Samar-samar terdengar suara lonceng. Berdentang panjang lalu hilang. Emran terkesiap, diraihnya kayu salib dengan kedua tangan.
“Josep...” Emran bergumam, menelisik jejak hujan.
Bandung, 17 Mei 2012
Belum ada tanggapan untuk "Kayu Salib Kota Hujan"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar