ULAR-ULAR KAIN SERBAN
Ada ribuan ular di kepalaku, berdesis-desis, menjilat-jilat, menggigit-gigit. Ular-ular itu diwariskan secara turun-temurun dari leluhurku. Sebenarnya aku tidak pernah tahu siapa leluhur kami yang sebenarnya. Hanya kabar angin saja yang kudengar, kami dilahirkan dari rahim-rahim tiran. Dipelihara untuk melanggengkan kekuasaan. Dibesarkan dengan aneka bayaran.
Di balik Selembar kain serban, kami biasa menyembunyikan ular-ular itu, supaya orang-orang tidak mengetahui, melihat atau mengabadikannya dengan lensa kamera. Siapa saja boleh memampang aksi kami tapi tidak seorang pun yang bisa memampang ular-ular di kepala kami.
“Kenapa kita harus menutupi ular-ular itu Ibu?”
“Seharusnya kamu tahu, orang-orang di luar sana lebih terbiasa melihat kain serban. Mereka tidak akan pernah siap untuk melihat manusia seperti kita, di balik serban dan gamis itulah kita bisa melakoni hidup di kota ini.” Ibu merapihkan kain serban, menutupi ular-ular di kepalaku.
Kami semua menyembunyikan desis dari ular-ular itu, seperti yang ibu bilang, "Lantunkan ayat-ayat suci ketika desis terdengar bergemuruh. Orang-orang tidak akan pernah mendengar desis, hanya doa dan lantun ayat yang akan mereka dengar.”
Aku telah mengelabui telinga banyak orang dengan bacaan-bacaan dari kitab-kitab, suara desis itu tersamarkan dengan lantunan doa-doa. Aku menyembunyikan ribuan ular di kepalaku dengan sangat sempurna. Seperti ibu dan golongan kami lainnya yang begitu sempurna menyembunyikan ular-ular itu.
“Ibu, bagaimana bila aku memotong ular-ular ini?”
“Tidak mungkin Nak, ular-ular itu bagian dari tubuhmu.” Ibu mendekat, mengurai serban di kepala, beberapa ular terlihat menyembul dari kain serban. Ibu mengusap kepala-kepala ular itu. Menciumnya.
“Sampai kapan kita harus mengelabui orang-orang?”
“Tenang saja Nak, kamu tidak lantas menjadi berdosa hanya karena menyembunyikan ular-ular itu, hiduplah sewajarnya. Sampai saat ini, kita hanya harus terus berdusta, menjadi manusia yang sempurna meskipun sebenarnya kita tidak lebih dari sekadar ular-ular yang lapar.” Ibu tersenyum ke arah ular-ular itu, ditutupkannya kembali kain serban di kepalaku.
Suara ketuk dari tulang-tulang lengan yang menumbuk pintu kayu depan rumah, melerai percakapan kami. Dari suaranya, kurasa orang yang berada di luar pintu adalah Paman Abdul. Serban hijau membungkus kepalanya, kain gamis putih yang panjang menutup sekujur tubuhnya. Aku tidak mendengar desis, tidak melihat seekor ular pun di kepalanya. Aku hanya yakin di balik serban itu, juga ada ribuan ular sebagaimana aku menyembunyikannya.
“Salam…” Paman Abdul melirik-lirik ke luar. Kemudian masuk ke dalam rumah dan tergesa menutup pintu, seolah tidak mau seorang pun mengetahui dirinya tengah berada di rumah ibu. Serbannya sempurna menutup kepalanya. Gamis panjangnya bergelantung sebatas betis.
“Salam... Paman Abdul, kami sudah menunggumu sedari lama. Ayo, masuklah…”
“Aku ada beberapa urusan, jadi aku datang ke sini terlambat. Bagaimana persiapan kalian?” Paman Abdul menatap kami bergantian, tangannya mengusap-usap lembaran jenggot panjang yang bergelantung di dagunya.
“Siapa laagi yang akan kita serang?”
“Kalian tidak perlu tahu siapa-siapanya. Ikuti saja perintah, kita semua akan bergerak besok pagi.”
Paman Abdul berbisik-bisik ke telinga ibu, aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Setelah itu Paman Abdul kembali meninggalkan rumah. Ibu mengantarnya sampai mulut pintu lalu menerbangkan kepergiannya dengan ucapan salam. Aku melihat seekor ular berkepala tiga menyembul dari balik serban Paman Abdul. Hanya sekilat, ular itu kemudian kembali menyelinap, menyembunyikan diri dari tatapan.
“Pergilah ke rumah Paman Hasim. Sampaikan pesan dari Paman Abdul ini.” Ibu menyodorkan sebuah kertas kecil.
Bersama ribuan ular di kepala yang kusembunyikan di balik kain serban, aku mengantarkan secarik kertas yang terlipat ke rumah Paman Hasim di ujung pemukiman, tidak terlalu jauh dari rumah ibu.
Orang-orang di luar rumah menatapku dengan sorot asing. Mereka menyelidik ke arah serban dan gamis panjang yang aku kenakan. Seberapa tajam pun tatapan mereka, tetap saja mereka tidak akan mampu melihat ular-ular di balik serban. Tidak akan pernah.
“Mana pesan dari Ibumu?” Paman Hasim rupanya sudah menunggu, aku langsung ditarikanya ke dalam rumah.
“Ini...” Aku menyodorkan secarik kertas yang terlipat.
Setelah usai membacanya, kertas secarik itu dibakarnya hingga menjadi abu. Paman Hasim menarik lengan kananku, menuliskan sesuatu di telapak tangan, aku menutup mata tak pernah sekali pun berani melihat atau mengintip apa yang dituliskannya di sana. Setelah usai, ia berkata “Kepalkan tanganmu, jangan berkeringat dan pastikan ibumu membaca pesan ini. Pulanglah Nak, Tuhan bersama kita.”
“Baiklah Paman, aku pulang.”
Tangan kananku terus terkepal, tidak pernah sejenak pun terbuka. Aku sangat ingin membacanya, mengintip apa yang dituliskannya di telapak tangan itu. Akan tetapi sesuatu yang lain melarangku.
“Aku sudah membacanya, tanganmu harus kembali dibersihkan.”
Ibu menggosok telapak tanganku, melumerkan tulisan-tulisan itu dengan jemarinya.
***
Selongsong kamera berjajar di depan kami, membidik wajah, memotret teriakan, mengabadikan gerakan, mendokumentasikan apa saja yang kami lakukan. Orang-orang bersenjata lensa kaca selalu saja memburu kami, terus mengikuti iring-iringan, menempel dan tidak sedetik pun melepaskan mata mereka dari belakang lensa.
“Maha besar Tuhan!”
“Maha besar Tuhan!”
Iring-iringan kami berhenti di depan sebuah gedung. Aku telah mendatangi banyak gedung di kota ini, kemudian menghancurkannya dengan kayu dan batu, dengan serban dan kepal tangan. Tempat para pemabuk, istana penguasa, kantor aparat, persembunyian para penjudi, kartel bandar narkoba, hotel artis pemuja kebebasan, segala macam tempat yang didiami orang-orang yang kami sebut iblis pernah didatangi dan tentu dihancurkan dengan kepal tangan dan nama Tuhan. Akan tetapi kali ini, gedung yang berada di depan mataku, sama sekali berbeda. Gedung yang sepi, tak berhuni. Tembok-tembok yang kuyu, ruang kosong yang sayu. Gedung yang di dalamnya bersarang orang-orang yang menyembah nabi palsu.
“Maha besar Tuhan! Telah dihalalkan untuk kalian musuh-musuhNya dan setiap darah yang menetes dari iblis itu adalah sepetak tanah sorga yang akan kalian tuai di alam kekal! Maha besar Tuhan! Maha besar Tuhan!”
Pamah Abdul, berteriak membakar kami dengan api perang. Aku mengacung lengan, ribuan ular di kepalaku berdesis, bergerak-gerak liar di dalam kain serban.
“Maha besar Tuhan!” Aku mendengar ular-ular itu berjerit-jerit, berkata-kata. Suaranya semakin kencang, bergemuruh menyebut nama Tuhan.
Paman Abdul berteriak memberi komando, batu sebesar kepal tangan, dilemparkannya ke kaca gedung yang sepi. Lampu blitz mengabadikan wajah Paman Abdul dan batu yang melayang, memotret pecahan kaca dan gedung dengan kubah yang tak lama lagi runtuh.
Aku, ibu dan lelaki lain yang menyembunyikan ular-ular di balik serban seketika memburu gedung itu, menghancurkannya atas nama Tuhan. Ular-ular di kepalaku meronta-ronta, mendesis bengis, berteriak, semakin menyebut nama Tuhan. Menyihir tangan-tangan dan kakiku untuk semakin beringas menggempur gedung sepi.
“Maha besar Tuhan!”
Aku berteriak kencang, sebuah batu besar melayang membidik kubah yang mengusung sepasang bintang dan sepotong rembulan. Lensa-lensa kamera semakin jalang mengekalkan batu-batu terbang dan kutukan.
Ular-ular di kepalaku menjebol kain serban. Menari-nari di udara, memburu siapa saja, memburu kamera, menggigit para penguntit bersenjata lensa, menyerang barisan aparat yang datang terlambat, menerjang orang-orang tak berdosa. Ular-ular itu semakin memanjang, menjulur, tidak hanya datang dari kepalaku, juga keluar dari kepala ibu, Paman Hasim, Paman Abdul dan menyeruak dari semua orang di golongan kami.
“Maha besar Tuhan!”
"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"
Ular-ular liar di ubun-ubun terus menyebut kematian.
Bandung, 23 Mei 2012
Belum ada tanggapan untuk "Ular-ular Kain Serban (Radar Surabaya - Minggu, 10 Juni 2012)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar