Bola api melesat dari langit, menuju kampung Ronopogo. Tuki yang tengah berada di kebun melihat sendiri benda jatuh itu. Tidak ada dentum, tidak ada ledakan, hanya suara bedebum yang cukup keras terdengar olehnya. Benda itu jatuh tepat di tengah kebunnya sendiri.
Tuki mengendap-ngendap mendekati benda yang jatuh dari langit. Langkahnya sangat hati-hati, diatur sedemikian rupa agar tak bersuara.
“Orang jatuh dari langit?” Tuki bertanya-tanya.
Setelah berada di pusat kebun, Tuki melihat seseorang berpakaian seperti pendekar, bersabuk kain hitam yang mengikat pinggang, celana panjang berwarna jingga berpadu pakaian lengan pendek yang juga berwarna sama. Rambut orang itu, terlihat aneh, rancung-rancung, ujungnya lancip-lancip. Bekas-bekas luka terlihat di sana-sini, seperti luka terbakar, ada juga luka sayat dan memar.
“Sepertinya aku pernah melihat orang ini.” Tuki semakin mendekat, matanya menyelidik.
“Air… air, air...” Lelaki yang tersungkur di atas tanah bergumam.
“Orang ini sekarat.” Tuki berlari meninggalkannya, dibawanya air bening di dalam botol plastik,
“Tenang Mas, saya akan menolong situ.”
Tuki mengangkat kepala orang itu, diberikannya minum dari botol plastik. Gluk gluk gluk, orang itu nyaris meminum habis seluruh air di dalam botol. Tuki mencium bau darah. Lelaki itu perlahan membuka mata.
“Tolong saya Mas, tolong.” Lelaki itu bergumam, tatapnya pudar penuh harap. Nyawanya berada di tangan Tuki.
“Tenang Mas, tenang. Saya akan membawa Mas ke rumah sakit.”
“Jangan. Saya harus sembunyi, jangan ke rumah sakit.”
“Bagaimana saya bisa menolong Mas, kalau tidak mau dibawa ke rumah sakit?” Tuki memboyong lelaki itu.
“Jangan bawa saya ke rumah sakit.”
Lelaki itu tidak menyadari apapun ketika Tuki membawanya ke sebuah tempat persembunyian yang tidak diketahui siapapun di kebunnya. Setiap hari Tuki merawat lelaki yang jatuh dari langit itu sampai sembuh. Tuki tidak pernah menceritakan perihal lelaki itu kepada siapapun, termasuk Surti istrinya sendiri.
Hari sudah siang ketika Tuki dan Surti dikagetkan oleh suara-suara orang yang terdengar ribut-ribut.
“Mas, ada apa di sana? Sepertinya mereka sedang ribut-ribut…” Surti menunjuk ke arah orang-orang yang berkerumun di sekitar papan larangan.
“Tunggu di sini Mbok.” Tuki berjalan cepat mendekati kerumunan.
Papan larangan berdiri tegak, menjadi semacam tembok Berlin yang memisah Jerman. Di kampung Ronopogo papan larangan itu memisah dua isi kepala yang berbeda. Menjadi batas antara mereka yang mendukung pembangunan PT. Pasir Pantai dan mereka yang menolaknya.
“Seharusnya kalian mematuhi papan terlarang itu seperti kami mematuhinya.” Teriak salah satu lelaki dari kampung ang menolak PT. Pasir Pantai, tangannya menunjuk papan larangan.
“Papan ini hanya berlaku untuk kalian, tidak untuk kami.” Jawab lelaki lain yang melintasi perbatasan.
Tuki mendengar suara percakapan mereka, cukup keras, tensinya terasa semakin meninggi. Papan larangan tetap tegak berdiri, suara-suara ribut itu tidak sedikit pun memudarkan larangan di wajahnya yang ditulis dengan cat berwarna merah.
“Ada apa ini? Tenang, tenang. Kalian semua tenanglah.” Tuki sudah berada di kerumunan.
“Orang-orang ini, melanggar batas. Mereka seharusnya tidak berada di sini.” Parmin menuduh ke kerumunan orang-orang yang melintasi batas.
“Apa hak kalian melarang kami?!” Lelaki dari kubu PT. Pasir Pantai menimpali, suaranya meledak.
“Semuanya tenang, dinginkan kepala kalian.” Tuki berdiri paling depan.
Bulan April menginjak hari ke-8 ketika papan larangan itu dilanggar oleh orang-orang dari PT. Pasir Pantai. Meskipun Tuki datang belakangan, keributan itu akhirnya mampu didinginkan, tidak terjadi keributan, tidak ada kekerasaan. Hanya saling mengingatkan dan kembali menghormati papan larangan.
Nyaris satu bulan peristiwa itu berlalu, tidak ada apapun yang terjadi, kecuali rutinitas Tuki dan Surti sebagai petani. Hanya itu yang setiap hari terjadi, berulang-ulang dan tentu kepala yang tidak bisa ditidurkan karena akal selalu berpikir di mana saja.
Tuki tetap menolak kehadiran PT. Pasir Pantai demi penduduknya yang harus merdeka, demi lingkungan hidup di desanya yang harus tetap terjaga. Tidak hanya kepala Tuki saja yang berpikir seperti itu, juga kepala banyak orang di Rogopono.
“Mas, ada mobil yang datang, siapa ya?” Surti menatap mobil yang terlihat mendekat ke tempat peristirahatan mereka.
“Kayak yang baru lihat mobil, sudah biarkan saja. Ayo, kita makan.” Tuki meraih rantang berisi nasi dan lauk asin.
“Mas, Mas, mereka sepertinya mau ke sini.” Surti mencuri-curi pandang ke arah lelaki berpakaian preman yang turun dari dalam mobil. Tuki menoleh sejenak, wajah-wajah asing dari kejauhan terlihat mendekati mereka.
“Bapak yang bernama Tuki?” Tanya salah satu lelaki berpakaian preman setelah berada cukup dekat.
“Iya benar, saya Tuki. Ada apa ya Pak?” dilarungnya rasa lapar, tutup rantang yang sudah menganga kembali dirapatkan.
“Kami dari kepolisian, ada yang mau ditanyakan kepada Bapak bisa ikut kami sebentar?”
“Ikut ke mana Pak?”
“Komandan kami menunggu Bapak di dalam mobil, sebaiknya kita ngobrol di sana.” Lelaki itu menunjuk ke arah mobil.
“Baik Pak, mari ke sana.” Tuki meninggalkan rasa lapar di atas pandan tikar, kakinya tak sempat bersandal, ia berangkat menuju seseorang yang disebut-sebut komandan oleh lelaki itu.
Surti menatap cemas, diawasi kaos lusuh, celana pendek dekil Tuki yang tidak sempat berganti. Lelaki berpakaian preman membawa Tuki masuk ke dalam mobil, seorang lelaki berseragam terlihat duduk tenang, menunggunya.
“Bapak Tuki?” Lelaki di dalam mobil menyapanya.
“Iya saya Tuki Pak, ada apa ya Pak?”
“Bapak harus ikut kami sekarang. Ayo, naik.” Komandan memberi isyarat. Semua lelaki berpakaian preman masuk ke dalam mobil, mengepung Tuki.
“Ke kantor polisi? Kenapa tidak di sini saja Pak? Boleh saya membawa sandal Pak?”
“Pak Tuki, sebaiknya Bapak diam saja. Nanti kita bicara di kantor polisi.”
Mesin mobil meraung, pintu tertutup rapat, Tuki tidak mungkin menolak. Dibawanya segala pertanyaan bersama putaran mesin.
“Saya mau dibawa ke kantor polisi mana Pak?” Tanya Tuki cemas
“Diam saja, kita ikuti perintah Komandan.”
“Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi?”
“Pak Tuki, Anda ditangkap.”
“Ditangkap? Kenapa saya tidak ditangkap?”
“Diam Pak Tuki, jangan melawan. Anda ditangkap, mengerti?”
Tuki tercekat.
Setelah penangkapan itu, Tuki dinyatakan bersalah karena melakukan pencemaran nama baik, kejahatan terhadap orang lain berbuat tidak menyenangkan. Pengadilan menjatuhkan vonis hukuman bui selama 3 tahun.
***
“Kamu harus melakukan sesuatu.” Tuki menggenggam tangan Surti, erat.
“Kita harus melakukan apa Mas?” Surti menahan tangis.
“Lakukan apa saja. Buktikan kalau Mas Tuki suamimu ini tidak bersalah.” Amarah memerah di bola matanya.
“Kalau Mas melarikan diri itu salah, jangan lakukan.”
“Siapa yang akan melarikan diri? Mas Tuki suamimu ini tidak akan melarikan diri dari bui karena memang tidak bersalah dan karena memang tidak bisa. Tapi kamu bisa melakukan sesuatu.” Tuki menatap Surti penuh harap.
“Apa yang bisa kita lakukan Mas?” Surti tertunduk.
“Ada seorang lelaki yang Mas selamatkan dari kematian, dulu. Temuilah lelaki itu dan mintai pertolongan kepadanya.” Tuki mengingat lelaki yang jatuh dari langit.
“Siapa orang itu Mas?” Surti berkerut dahi.
“Nanti kamu tahu sendiri, pokoknya temui saja orang itu”
“Orang itu berada di mana?”
Tuki berbisik-bisik, matanya menatap ke kiri dan kanan, dipastikannya tidak seorang pun yang mencuri dengar.
“Sssstt…” Tuki menempelkan telunjuknya ke bibir.
Tidak menunggu besok, sore itu juga Surti pergi ke kebun untuk melakukan apa yang diperintahkan suaminya.
“Son Go Ku…”
Surti berbisik-bisik, suaranya diatur agar tidak berlarian ke tempat jauh tapi cukup untuk didengar oleh siapa saja yang berada di kebun. Surti tertegun, tidak ada siapapun yang menyahut. Matanya mengawasi kebun, dicari-carinya siapa saja yang mungkin menyembul dari rerimbunan menemuinya.
“Ini pasti Mbok Surti istrinya Mas Tuki, iya kan?” Lelaki berambut rancung dengan pakaian berwarna jingga yang dulu diselamatkan Tuki seketika berada di hadapan Surti.
“Loh kok tahu? Kamu pasti Son Go Ku.” Surti mengawasi penampilan Go Ku. Ciri-ciri yang diceritakan suaminya sama persis dengan orang yang dilihatnya saat ini.
“Mas Tuki pernah menceritakan perihal Mbok Surti dulu. Dan benar, saya Son Go Ku. Apa yang bisa saya bantu, Mbok?”
“Tolong selamatkan Mas Tuki, ia dibui.”
“Sekarang?”
“Iya sekarang, masa besok?”
“Gampang, Mbok Surti tunggu di sini saja. Saya akan menolong Mas Tuki.”
“Cepat Go Ku, selamatkan Mas Tuki.” Surti memelas.
“Awan Kinton!”
Go Ku memanggil awan Kinton, kendaraannya yang setia untuk mengantarnya ke mana saja, kapan saja. Surti mengantar kepergian Go Ku dengan tatap dan doa, awan Kinton lenyap dalam sekejap.
“Terimakasih Son Go Ku.” Surti bergumam.
Air mata membening di sudut-sudut matanya, menetaskan rasa bahagia. Suaminya Tuki, tidak lama lagi tentu akan pulang. Terbang berkendara awan.
Bandung, 2 Mei 2012
Cerpenisasi Kisah Tukijo,
petani yang diciduk Polisi dengan cara, tuduhan dan vonis yang tidak adil.
Nah lho, jadi fungsi pendekar jingga itu apa? Kagak fokus ni cerpen. Kenapa pula harus ada pasal perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik? Dari mana asalnya? Konflik tidak selesai. Blur, samar, atau apalah namanya. Yang jelas ini tidak fokus.
ReplyDeleteDia itu kan penyelamat si Tuki... Ga diceritain nyelametin si Tukinya mah, karakternya udah 1300an.
DeletePasal tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, itu KISAH NYATA kepolisian negara kita. Tukijo yang mengalaminya sendiri.
Jadi gini lho. Keberadaan Son Go Ku itu tadinya emang agak aneh sebab cerpen ini terpotong pada adegan ini: “Lakukan apa saja. Buktikan kalau Mas Tuki suamimu ini tidak bersalah.” Amarah memerah di bola matanya.
DeleteOkelah, Son Go Ku bisa diibaratkan sebagai simbol ratu adil yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia dewasa ini. It is okay. Jadi semu-semu surealis. Hehehe... Tapi, Mang. Meski ini diambil dari sebuah kisah nyata, tetap saja ada hukum kausalitas dalam sebuah cerita. Yang saya maksud adalah, kenapa ujug-ujug Tuki dikenai pasal tersebut? What he has done? Cuma karena melerai orang yang berebut pagar? Eh, melerai orang yang sedang bersitegang di pembatas kawasan? KONFLIK, KONFLIK, KONFLIK. Jika tidak mau membuat sense of lost cerpen ini hilang karena mendeskripsikannya dalam narasi, maka buatlah dalam dialog. Seabsurd apapun kenyataan di dunia pengadilan Indonesia, mohon jangan menerjemahkannya mentah-mentah ke dalam cerita. Sekian dan terima kasih. Kalau dimuat di media, jangan lupa jatah germo 50% eaaa... *Kabur
Nah, itu dia.
DeleteEMang gitu cerita si Tukijonya. Alasan pulisi itu ga jelas, kenapa ujug2 nangkap, menjara dan m'Vonis Tukijo. Emang udah absurd dari kisah nyatanya. Hihihi :D
Ya deh, laen kali mah nggak akan diterjemahin mentah2, mau digodok pake air mateng sehari semalem. Wew
gmana critanya son Go Ku bisa kesasar di Ronopogo?
ReplyDeletedan kira2 Son Go Ku doyan Nasi Pecel gak y...hahaha