Berkendara di kota Jakarta seringkali membuatnya menjadi Cerberus, galak menyalak, bengis menghardik, saling sikut, saling depak, ingin lebih dulu menggapai lampu jalan. Ingin menjadi pertama dan terdepan menunggui lampu merah. Keselamatan dan kenyamanan berkendara, bukan lagi patokan utama. Menjadi juara pertama di lampu merah adalah segalanya.
Lelaki berambut cepak berbicara dengan seseorang melalui ponsel.
“Kapten, keluargamu dirawat di rumah sakit.”
“Siapa yang dirawat?”
“Nggak tahu siapa, katanya keluarga Anda, Kapten.”
“Siapa namanya?”
“Tidak tahu juga, KTPnya juga tidak ada.”
“Haduh, bego! Ya sudah saya sekarang ke sana.”
“Jangan pake lama Kapten, emergensi nih.”
Kapten menutup ponsel, diburunya mobil dinas yang diparkir di pinggir jalan. Bruuummm… mesin mobil meraung, setir diputar ke kanan, mobil masuk ke ruas jalan, bergelisir di kemacetan. Kapten terlihat geram dalam kendaraan, kakinya ingin memijak pedal gas kuat-kuat agar bisa segera sampai tapi kemacetan menahannya. Ditatapnya jalanan kota Jakarta, kemacetan di mana-mana.
“Setan jalan.” Kapten bergumam, tangannya mencengkram stir. Matanya memerhatikan jalan, depan, kiri, kanan, belakang. Sebuah motor matic berwarna putih terlihat berada di belakang, sesekali berada di kiri, sesekali berada di kanan.
“Pak orang itu melihat kita, kok bisa?”
“Orang yang mana?”
“Itu orang di mobil depan kita.”
“”Iya Nina, orang itu melihat kita. Waduh...”
“Kok bisa sih?”
Kapten memerhatikan keduanya yang saling berbisik. Mereka adalah Sadun dan anaknya Nina. Keduanya bukan lagi warga Jakarta terhitung satu minggu lalu. Keduanya adalah penghuni dunia lain alias hantu, mereka tewas di tempat pada sebuah kecelakaan lalu lintas, ketika motor matic putihnya terlindas bus.
Sadun di atas matic putih berkendara gesit, membonceng Nina. Sadun sesekali membanting stang ke kiri, sesekali ke kanan, mencari celah, mengharap ruas kosong, sesekali berkelit dari senggolan pengendara lain. Tangannya bergantian menjepit rem dan memutar gas, menyalakan lampu sen kiri atau kanan, juga memijit klakson.
“Pak, helmnya boleh dilepas?”
“Sembarangan! Tidak boleh Nak, pakai helmmu.
“Kita kan cuma hantu, harus pakai helm juga ya Pak?” Nina membuka kaca helm, udara bercampur asap menerpa wajahnya.
“Sudah jangan banyak tanya, pakai saja.”
Celah jalanan kota Jakarta semakin hari semakin menyempit, ruas jalan tak lagi menyimpan celah, semua ruas dipadati mesin-mesin dalam jarak yang rapat, bergelisir lambat, seringkali tersendat. Dipadati emosi yang bergelegak di banyak kepala.
“Woy! Sialan!” Sadun menghardik.
Motornya direm mendadak ketika motor lain yang lebih besar menyalipnya dari belakang. Orang yang dihardik tetap tenang, Sadun hanyalah hantu, tidak semua orang melihatnya, tidak juga mendengarnya.
“Cari mati tu orang.”
Sadun kembali memacu matic putihnya, bergerak tersendat, merayap lambat, bersama Nina yang tenang mencari-cari dirinya di kemacetan Jakarta.
“Tenang Pak, jangan emosi.” Nina menepuk punggung Sadun.
Nina mengawasi jalanan dan aneka kendaraan yang tumpah sore itu. Orang-orang tidak melihatnya kecuali Kapten di dalam mobil dinas. Suara-suara mesin terdengar bergemuruh, meraung-raung, mengalir lambat. Tidak lama lagi Nina akan sampai di rumah, setelah melewati dua kali lampu merah. Rumah mereka adalah jembatan sempit yang membuat keduanya terlindas mobil bus pada suatu sore.
“Pak, lampunya hijau.” Nina memekik, tangannya menunjuk ke lampu lalu lintas.
Menemukan lampu hijau di jalanan baginya seperti menemukan kebahagiaan tersendiri. Sudah begitu banyak lampu lalu lintas yang dilewatinya, semuanya seringkali berwarna merah.
Ruas jalan semakin padat, Sadun menyalakan lampu sen kanan, bermaksud menyalip mobil dinas yang dikendarai Kapten, di depannya. Nina menatap mobil Kapten yang sedang dilewati Sadun, plat nomornya tidak berwarna hitam dan putih seperti plat nomor bapaknya. Ada gambar asing dan angka-angka sewarna emas di mobil itu.
Brak!
Stang motor Sadun menyenggol mobil dinas Kapten. Peristiwanya begitu cepat, sebuah motor memaksa menyalip di sebelah kanan Sadun, mobil dinas itu tidak memberi ruas sedikit pun. Alhasil stang motornya mencium mobil itu.
“Bego!” Kapten mengumpat.
Nina menatap Kapten yang mendelik dari dalam mobil.
“Hati-hati Bang!” Kapten di dalam mobil berteriak ke arah Sadun.
“Lu yang hati-hati!” Sadun balas berteriak.
Mobil menepi, Sadun pun ikut menepi. Kapten keluar dari mobil dinas yang diparkinya sembarangan di tengah jalan. Ia berjalan mendekati Sadun yang menepi. Arus jalan yang macet, semakin macet dibuatnya. Orang-orang menatap kesal ke arah Kapten.
“Kamu baik-baik saja Nina?” Sadun turun dari motor.
“Tuh kan Pak, orang itu melihat kita.”
Nina menunju ke arah Kapten dengan sudut mata. Sadun terkesiap, rupanya benar, lelaki itu melihatnya.
“Lu tadi bilang apa?” mata Kapten melotot geram. Ditangannya kanannya terlihat benda entah apa, sepertinya pemukul atau sesuatu yang lain. Di tangan kirinya tergenggam sebuah pistol.
“Abang bisa melihat saya?”
Sadun turun dari motor, hatinya berdebar, ditatapnya tangan kiri lelaki itu, diawasinya benda yang sedang digenggamnya. Nina tetap duduk di atas jok motor, wajahnya pucatnya terlihat tenang.
Arus jalan semakin macet, semakin tersendat, klakson menghardik-hardik. Sekian banyak pasang mata menatapi Kapten yang marah-marah sendirian. Semua sorot mata, menyiratkan rasa kesal.
“Lu kalau bawa motor jangan seenaknya, lu nyenggol mobil gue, bangsat!” Lelaki itu berteriak-teriak kesal. Tangan kirinya menodong-nodongkan pistol ke kepala Sadun yang tertutup helm.
“Ternyata Abang bisa melihat saya.” Sadun keheranan. Baru kali ini ada orang yang bisa melihatnya ketika bergentayang di waktu siang. Sudah berkali-kali Sadun dan Nina gentayangan di jalanan kota Jakarta, selama itu semuanya baik-baik saja. Tidak ada satu pun mata yang bisa melihatnya, baik siang mau pun malam.
“Tidak sengaja, tidak sengaja kepala Lu.” Tangan kanannya memukul helm Sadun dengan benda entah apa. Pletak!
“Saya ini hantu Pak, tenang saja mobil Bapak baik-baik saja.” Sadun menepis pukulan itu.
“Cari mati lu ya?” tangan kiri dan kanannya bergantian memukul helm Sadun. Sesekali menodongkan lagi pistol ke kepala Sadun.
“Saya sudah mati Pak, saya ini hantu.” Sadun menepis pukulan Kapten.
“Goblok! Kalau jalan itu make otak.” Pukulan lain mendarat di helm Sadun.
“Iya deh maaf, hantu juga punya salah.” Sadun mencoba tenang, ditepisnya pukulan-pukulan yang semakin kerap melayang.
“Maaf-maaf mata lu.” Pukulan lain, menghantam helm Sadun.
“Terus saya mesti gimana?” Sadun mundur.
Beberapa orang berdiri di tepi jalan, menonton Kapten yang berteriak-teriak sendirian. Menodong-nodong pistol pada kekosongan. Memukul-mukul pada hantu Sadun yang tidak terlihat orang-orang. Ada yang tertawa, ada yang miris, ada yang kesal melihat ulah Kapten di tengah jalan. Ada juga yang diam-diam mengabadikan aksi Kapten itu.
“Bego! Lu pikir lu jagoan.” Kapten menodongkan pistol ke kepala Sadun.
Klek…
Kapten mengokang pistol, “Lu mau mampus ya!” laras pistol menempel di helm Sadun.
“Ayo Pak, pergi saja.” Nina memanggil Sadun dari atas motor.
Sadun menoleh ke arah Nina, lalu tersenyum ke arah Kapten yang geram di tengah kemacetan.
“Mati lu!” Kapten berteriak kesal, telunjuknya menarik pelatuk pistol.
Peluru timah melesat dari laras pistol, bersama asap tipis yang mengepul, memburu kepala Sadun.
Dor!
Peluru berkelebat menelusuri kemacetan jalan kota Jakarta, terbang melayang di antara emosi yang tumpah dari setiap kepala.
Bandung, 3 Mei 2012
Cerpenisasi Koboi Palmerah
Belum ada tanggapan untuk "Kapten Koboi"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar