Akhir-akhir ini, layar televisi diramaikan dengan banyak iklan dari partai politik yang isinya berupa kampanye partai. Mereka berusaha mengemas partainya dengan pencitraan yang baik, berebut tempat untuk bisa dibenarkan oleh masyarakat. Mereka berlomba-lomba untuk tampil sebagai pahlawan yang mengayomi hajat hidup orang banyak.
Dana milyaran rupiah telah digelontorkan oleh partai untuk membangun imagologi yang mereka inginkan dalam sebuah iklan. Membuat iklan, terlebih di layar kaca, butuh dana super besar dan dana tersebut dianggap sesuai dengan feedback yang mereka dapatkan. Benarkah demikian?
Ada fakta yang tidak bisa dipungkiri dalam dunia iklan, yaitu berlakunya ‘magisme kebenaran’ atau bentuk penerimaan kebenaran begitu saja (baca: pembiaran). Tidak pernah kita mempertanyakan tentang seberapa benar gambaran, tag line atau pesan-pesan yang disampaikan oleh sebuah iklan. Misalnya 7 dari 10 wanita memakai produk X, kita tidak pernah mempertanyakan tentang akurasi data statistik itu lebih jauh. Cukup berkata “Oooh..” atau yang lainnya. Atau misalnya “Waktunya untuk perubahan” yang ditayangkan dalam video yang menampilkan raut seorang kepala keluarga yang bersedih karena telah berbuat kesalahan dengan tidak berpuasa di siang hari. Kita tidak pernah bertanya, apakah lelaki itu besok harinya benar-benar berpuasa atau kembali menyelinap ke rumah makan di waktu puasa. Apakah lelaki itu benar-benar berubah?
Dunia iklan tidak pernah utuh, dunia iklan merupakan dunia terpenggal yang di dalamnya dijejali virus akal budi (Richard Brodie). Ketika pesannya itu telah menginfeksi pikiran, tugas media selesai di sana. Kemudian virus yang berjejal di dalam media itulah yang akan bekerja dengan sendirinya secara otomatis dalam pikiran setiap orang. Bukan medianya yang bekerja, melainkan virus yang dibawanya, terlepas dari iklan itu masih tayang atau tidak virus pikiran itu akan terus bekerja. Itulah hebatnya iklan! Sebanding dengan dana besar yang harus dikeluarkan.
Pembiaran terhadap kebenaran iklan, semakin hari semakin terakumulasi dan kemudian menjadi semacam kebenaran (pembenaran) atas apa saja yang ditayangkan di dalam iklan. Itu sebabnya dana ratusan juta menjadi sepadan dengan hasil balik yang diraih melalu iklan, karena masyarakat akan begitu saja membenarkan (membiarkan) kebenarannya, diterima sebagai realitas.
Sumur pasir di layar kaca
Ada satu fakta untuk semua iklan baik itu politik maupun non politik, yaitu sebuah iklan akan memakan dana besar untuk bisa sampai kepada masyarakat luas. Dari fakta itu, terlihat ironi yang sarkastik. Betapa tidak, hari ini kekeringan tengah melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih, baik itu untuk kebutuhan primer seperti masak dan minum maupun kebutuhan sekunder lainnya. Air menjadi harta paling berharga, menjadi barang yang bahkan bila perlu dipertaruhkan dengan nyawa. Tragika nasional dalam bentuk kekeringan ini, bukan semata-mata masalah takdir! Atau masalah historis yang memang akan terjadi setiap tahunnya dan boleh dibiarkan. Tidak seperti itu masalahnya, musim kemarau boleh saja melanda akan tetapi kekeringan dan kesulitan air bersih tidak harus terjadi.
Kasus kekeringan ini butuh kepedulian dan aksi nyata dari berbagai pihak, terutama mereka yang menyandang dana besar untuk bisa membantu masyarakat dari bencana kekeringan. Salah satunya adalah partai politik yang gemar menghabis-habiskan uang di layar kaca. Dana sekian milyar yang dialokasikan untuk iklan di saat masyarakat sedang berada di dalam kekalutan, hanya akan menjadi boomerang yang melukai dirinya sendiri.
Masyarakat hari ini tidak butuh iklan, tidak ingin melihat kampanye, mereka hanya menginginkan tindakan nyata, yaitu mengalirnya air bersih dari sumur-sumur mereka yang telah lama hanya berisi pasir. Mudahnya akses air untuk kehidupan orang banyak terutama di tempat-tempat yang dilanda kekeringan yang parah, itu kebutuhan masyarakat yang paling nyata.
Kekeringan bukan semata masalah waktu, masalah musim atau takdir akan tetapi masalah pembangunan dan ketersediaan instalasi sumber-sumber air dengan memakai teknologi modern. Hak atas air merupakan hak setiap orang yang seharusnya dijamin oleh negara. Kampanye seperti itu akan lebih baik, dibandingkan privatisasi hak atas air oleh perusahaan swasta seperti yang telah terjadi di Jakarta.
Bagaimana kekeringan bisa diatasi apabila tidak pernah ada pihak-pihak yang mengantisipasinya, tidak begitu peduli dan tidak berbuat nyata untuk mengatasinya. Bagaimana bisa meraih hati orang banyak bila tetap mengemas diri dengan simulasi?
Batu-batu Realitas
Segala macam kebenaran yang hadir dalam iklan, meskipun demikian saja menjadi benar karena proses pembiaran yang berulang-ulang, pada akhirnya akan dibatasi oleh kenyataan. Rasa manis di dunia iklan tidak menjadi benar-benar manis di keseharian nyata selama iklan itu hanya sebatas tagline tanpa aksi nyata. Segala sihir di dunia iklan meskipun telah bersarang di dalam pikiran masyarakat secara massal, akan mengalami pemudaran terutama ketika kehidupan mendorong masyarakat pada titik hidup yang paling krisis. Karena dalam titik rawan, manusia tidak berpikir tentang banyak hal, mereka hanya berpikir tentang bagaimana tetap melakoni hidup secara nyata.
Alhasil, dana milyaran rupiah itu, akankah selalu menguap begitu saja di layar kaca? Atau tidak sebaiknya digelontorkan untuk proyek pencitraan yang lebih nyata, semisal pembangunan instalasi air di daerah-daerah rawan kekeringan.
Menyelematkan kebutuhan ratusan orang secara nyata, itu jauh lebih berdampak dari pada menyihir jutaan kepala dengan kebenaran layar kaca.
Bandung, 11 September 2012
Belum ada tanggapan untuk "Kampanye di Sumur Pasir"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar