Ketika Ibu Menangis Batu
Absurditas Malka*
“Janganlah kau durhaka kepada
ibumu!” Teriak Bapak, geram.
Tapak tangannya tertahan di udara,
jemari ibu terlihat bergeletar menahan amarah di setiap ruas jemari Bapak. Hanya
sejengkal lagi jarak dari tapak tangan itu dan wajahmu yang sudah tersayat,
dimakan pisau lipat Bapak.
Bulir yang
bening, menitik dari sudut kiri dan kanan mata ibu. Kau tertunduk, bersama hati
yang sebelah merah dibakar amarah, dan sebelah sisanya hitam diketam kesedihan.
“Kalau saja tidak ada Ibu, habis
nasibmu!” Umpatmu, setelah menikamkan tatapan yang sangat belati ke mata Bapak.
“Nak, mau ke mana kau?” Ibu menahan
bahumu, suaranya bergeletar. Kau ingin membiarkan tangan itu selamanya menahan
bahumu, tapi sesuatu yang lain —yang bahkan tak pernah kau mengerti—, membuat
tanganmu menampiknya.
“Aku benci rumah ini.” Ucapmu, tanpa
menoleh.
Seluruh tubuhmu yang tanpa bekal,
berlayar meninggalkan beranda, mengarungi deru kehidupan kota, terseok-seok
diterpa angin, hujan dan pergulatan nasib yang semakin gila.
“Kalau kembali ke rumah ini, mampus
kau!”
Teriak bapakmu, telunjuknya
mengacung penuh amarah. Dan sebilah pisau lipat yang berlumur darah dari pipimu
yang sobek, terjatuh dari tangannya, berdenting menumbuk lantai.
Kemarahan
adalah milik siapa saja, dan mungkin dilarikan kepada siapa saja. Begitupun kau
yang sore itu, mengamuk, memaki ibu, menyebut-nyebutnya dengan kata yang tak
pernah pantas diucapkan seorang anak.
“Lu, cuma pelacur! Jangan
ngatur-ngatur gue!” Umpatmu dengan segenap Medusa yang tiba-tiba menjadi rupa
wajahmu. Bapak yang mana yang tak kesal mendengar semua itu. Meskipun ia
pemabuk, penjudi dan bangsat payah, tentu ia akan geram mendengar istrinya
sendiri kau maki-maki.
***
Tiga puluh tahun setelah peristiwa
itu, kau sudah menjadi lelaki yang berbeda. Nasibmu yang dulu hanya pemabuk,
pencopet, jambret dan penjudi kecil-kecilan, seperti Bapakmu itu, kini sudah
berubah.
Dalam
kembara selama tiga puluh tahun, kau bertemu seorang mafia. Ketua mafia yang tanpa
rasa ragu, dompetnya kau curi atas nama perut yang lapar.
“Bocah tengil! Balikin dompet gue!”
Begitu makinya, murka.
Mafia itu
mengejarmu bersama segunung amarah, dan kau terdesak di jalan yang buntu.
Akhirnya ia menodongkan sebuah pistol, larasnya tepat mengarah ke jidatmu.
Dinding gedung kota yang dingin, sampah yang berserak di sudut-sudut bangunan,
hanya itu yang menyaksikan ujung hidupmu.
“Serahin atau mampus?” Kata Mafia
itu.
Jika saja kau mengerti, mafia itu
sebenarnya tidak sedang bernegosiasi. Apalagi ingin dibantah, tapi itulah kau,
keras kepala. Sebilah pisau cutter yang kau genggam, dalam gerakan maha
cepat melesat menuju lehernya.
Lelaki itu
merunduk, dan kau menubruk lengannya yang menggenggam pistol, menggigitnya,
sampai terjatuhlah pistol itu. Kamu hanya beruntung, pada kenyataan yang lain,
gerakan pisau begitu sulit untuk melebihi kecepatan peluru.
Pertarungan yang tak imbang, usiamu
baru sebelas, sementara mafia itu mungkin sudah berumur empat atau lima puluh tahun.
Dan seluruh hidupnya sempurna didedikasikan untuk berkelahi dan tentu, untuk membunuh
juga. Apalah artinya dirimu baginya?
“Bangsat!” Pekiknya, kepal tinju
yang bulat dan berdesing, mendarat di pelipismu. Kau jatuh pingsan, tak
sadarkan diri.
Pertemuan dengannyalah yang mengubah
jalan hidupmu. Kemudian kau tahu nama julukan lelaki itu adalah Martir, lelaki
yang menghancurkan apa saja, termasuk polisi dan politisi. Bersamanya kau
belajar bagaimana menjadi petarung, menjadi penjahat, dan membunuh. Menjadi
dewa kegelapan yang kerap dibayar mahal oleh orang-orang yang haus kekuasaan
dan kelicikan. Semua kemewahan yang kau dapatkan hari ini, berangkat dari semua
itu, bukan dari yang lain.
Kau memiliki apa saja, bahkan
seluruh kota akan bergetar ketika mendengar namamu disebutkan, Sadun Si
Penggigit!
Ya, nama
itu seharusnya membuat siapa saja terbahak, betapa nama yang kocak. Tapi
cerita-cerita di balik sederet namamu itu, membuat orang-orang berpikir ulang
untuk tertawa apalagi menertawakanmu. Nama yang langsung diberikan oleh Martil
kepadamu, karena jejak gigitmu yang kekal tertinggal di punggung lengannya.
Bahkan ketika Martil telah tiada, setelah 15 peluru, melubangi kepalanya. Kini,
kau mewarisi seluruh kekuasaan dan kegelapan Martil.
***
Mobil mewahmu, tak bergerak.
Kerumunan orang di depan sana,
tumpah ruah ke jalan. Mengacung-acungkan poster, spanduk dan bendera. Mereka
berteriak-teriak lantang, satu suara, menolak penghilangan kurikulum bahasa
daerah yang tercetus dari salah satu lembaga kementerian negara.
Kau geram,
kau murka, kau mengumpat. Betapa waktu yang bagimu selalu berarti hiburan,
kemabukan dan perempuan, —juga termasuk di dalamnya pembunuhan— kini terbuang
di badan jalan, tertahan beberapa baris demonstran.
Tanganmu
diam-diam merayap, menggenggam gagang pistol di balik jasmu yang terlihat
licin.
“Gue tembak juga tu orang!” Umpatmu,
geram, sangat geram.
Seraut wajah, di antara orang-orang
yang berdemonstrasi itu, ada yang menatapmu, sangat lekat. Menatapi luka
melintang yang tergores di pipi kananmu. Perempuan itu bukan demonstran, hanya
warga kota yang sedang melintas dengan berjalan kaki, dan kebetulan nyaris
bersebelahan dengan mobilmu yang rapat ke trotoar.
“Monyet! Minggir!” Teriakmu pada
kerumunan orang-orang. Kepalamu menyembul dari jendela. Tangan kananmu, nyaris
saja mengacungkan pistol yang masih terselip di balik jas. Tapi mereka tak mengenalmu,
jika saja mengenalmu, tentu mereka akan tunggang langgang.
“Nak, Sadun…?” Perempuan itu
memanggilmu.
Seketika segala suara kota menjadi
senyap, kecuali suara perempuan itu yang berlarian di telingamu, seperti gema.
Kau menoleh, menatap perempuan itu dengan tatap merendahkan, kesal dan sebagian
besar diluapi aroma ingin membunuhnya.
“Sadun?” Ucap perempuan itu,
meskipun tak keras, kau bisa mendengarnya cukup jelas.
Lengan perempuan itu melayang-layang
di udara, seperti ingin mendarat di wajahmu, ingin mengusapi jejak luka itu.
Kau menatapnya penuh kesal, kau tekan tombol penutup jendela.
Perempuan itu berhenti, sejenak
membeku di punggung trotoar. Kau tak peduli, seluruh dirimu semakin terbakar
amarah, klakson berkali-kali kau jeritkan, tetap saja para demonstran tak
terurai. Hanya acuh menatap, lalu kembali hanyut dalam hingar teriakan
demonstran, yang menolak penghilangan kurikulum bahasa daerah tahun depan.
“Sadun, ini Emak, Nak. Sadun…”
perempuan itu sekarang berdiri tepat di
sisi jendelamu. Di kiri mobilmu, tubuhnya terbungkuk, ingin kau menatap
wajahnya, mengingat siapa dirinya. Itu ibumu.
“Bangsat, kenapa juga ni tua
bangka.” Kau belingsatan, jemarimu tak terkendali. Kemudian, setelah tombol itu
ditekan lagi, jendela kembali terbuka. Dengan suara yang menggelegar, kau
lontarkan makian, tepat di depan wajah perempuan yang ingin kau ingat itu.
“Nenek tua! Enyahlah, aku tidak
bersedekah untuk orang yang sebentar lagi akan mati!” Jeritmu, dan ludah
bermuncratan dari mulutmu, hinggap di wajah perempuan itu, sebagian lain jatuh
di atas trotoar, ada juga yang diterbangkan angin ke awang-awang lalu hilang.
“Ini Emak, Nak. Sadun, kau sudah
lupa?” perempuan tua renta bangka itu tersenyum, ada cahaya yang tak kau
mengerti berkilauan di wajahnya. Cahaya yang sepertinya datang dari segala rasa
berbahagia.
“Tuli! Enyahlah kau Nek!” Jeritmu
lagi, kini tangan kananmu sudah menggenggam pistol. Larasnya mengarah tepat ke
jidat perempuan itu. Seperti berpuluh tahun lalu, ketika laras pistol tepat
mengarah ke jidatmu.
“Sadun…” Perempuan itu bergeletar
merapal namamu.
Geletar suaranya, tak asing bagimu.
Kau ingat, kau hapal bahkan bukan Cuma suaranya tapi juga sorot matanya, cahaya
wajahnya, perempuan itu adalah ibumu.
Ya, dialah
ibumu yang bergeletar, menjauh, kakinya bergerak mundur, sementara matanya tak
lepas, membingkai wajahmu yang selama berpuluh tahun telah hilang.
“Nenek dongo!”
Klek,
pistol kembali kau kunci, kau selipkan di balik jas licin itu. Diam-diam,
perempuan itu merapal kata, entah apa. Kau tak mungkin mendengarnya, tak pernah mungkin kau mendengar suara-suara
seorang ibu yang dilanda rasa sakit dan perih yang bukan alang kepalang.
Kau menggenggam gelas anggur yang
tersaji di dalam mobil. Kau ingin meneguknya. Aih, gelas itu bukan lagi
kristal, begitupun anggur di dalamnya, telah berubah. Menjadi batu.
Kau larikan tatapmu ke sekeliling,
mobil mewahmu, gedung kota, orang-orang, dan segala-galanya, telah berubah
mejadi batu.
Kau gosok
matamu, tetap saja segalanya telah menjadi batu. Kau sentuh benda-benda di
dalam mobilmu, sama saja semuanya menjadi batu. Begitupun perempuan itu,
mematung menjadi batu. Dari matanya, berlarian air mata batu.
Kau
ketakutan, menatapi dunia yang seketika menjadi batu-batu.
Kau kini sendirian, apalah artinya
sederet namamu itu; Sadun Si Penggigit. Apalah artinya dirimu, sekarang?
Bandung, 20
Desember 2012
Belum ada tanggapan untuk "Ketika Ibu Menangis Batu (Inilah Koran - Edisi Minggu, 13 Januari 2013)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar