NUH METROPOLUTAN
Absurditas Malka*
“Hoi! Kalian
dengarkanlah! Kota ini akan dilanda banjir, barang siapa yang ingin mencari
keselamatan, maka tinggalkanlah kejahatan dan ikutilah kebenaran.” Begitulah
teriak Nuh, pada orang-orang di pasar Senin.
Hanya mata yang
melecehkan, mulut mencibir dan keraguan yang menjawab seruan Nuh. Orang-orang
kembali kepada rutinitias mereka, bekerja dan tidak peduli pada apa yang
namanya kejahatan dan kebenaran. Di kota besar semacam Jakarta, kota
metropolutan, kesadaran habis digasak oleh rutinitas yang berulang-ulang.
Nuh kembali ke bengkelnya, membuat perahu besar,
perahu yang akan menyelamatkan dari bencana banjir, berhijrah meninggalkan
kejahatan.
“Tu orang gila kali ya.
Ini Jakarta, Bung! Pasti banjir!”
“Iya gila kali,
lagaknya, kayak nabi Nuh. Dasar sinting!”
Begitulah orang-orang
mengumpat Nuh, tidak satu pun yang percaya kepadanya, tidak satu pun. Siapa
juga orangnya yang mau percaya pada kegilaan yang diteriakannya di pasar-pasar itu?
Kenapa juga harus takut dengan banjir, bukankah
Jakarta sudah menjadi langganan banjir entah sejak kapan. Jakarta dan banjir
adalah sepasang kekasih yang selalu saling merindukan.
“Ada yang mau ikut
lagi, Bang?” Tanya Sadun, pengikut setia Nuh.
“Tidak ada, tidak
banyak orang yang percaya pada kebenaran. Biarkan saja mereka mencibir, pada
waktunya kita akan melihat siapa yang terbukti benar dan siapa juga yang
menutup telinga pada apa yang benar.” Ucap Nuh, lalu ia kembali membangun
perahunya. Perahu maha besar.
“Bagaimana dengan
Jokowi dan Ahok? Apakah mereka akan ikut kita?”
“Buset! Jokowi? Saya ga
tahu, belum sempat datang ke rumah dinasnya. Nanti saja setelah perahu kita
nyaris beres, saya akan menemuinya.”
Keduanya kembali
bekerja, membangun perahu maha besar. Pengikut Nuh hanyalah segelintir orang
dari sekian juta orang yang murung di kota metropolutan.
Langit berawan, angin
mengirisnya menjadi hujan. Jakarta ditikam-tikam hujan, seharian, semalaman.
Kota itu sekarat, lumpuh dan membuat para penghuninya menjadi manusia-manusia
yang murung, kesal dan penuh amarah, kecuali Nuh dan segelintir pengikutnya.
“Bang, kita seharusnya
blusukan, menyampaikan kebenaran ini. Orang-orang Jakarta sedang jatuh cinta
dengan blusukan.”
“Wow, ide bagus. Tapi
kalau saya blusukan, siapa yang akan mengerjakan perahu ini. Tidak lama lagi
hujan besar akan datang, waktu kita tak banyak.”
“Kalau hujan besar itu
datang, Bang. Apakah Jakarta akan karam?”
“Ya, kota ini akan
tenggelam.”
“Hiii, ngeri aku
membayangkannya. Apakah perahu ini akan menyelamatkan kita, Bang?”
“Seharusnya sih begitu,
tidak hanya menyelamatkan kita tapi juga menyelamatkan Jakarta.”
“Setidaknya kita
selamat, Bang. Mereka yang tidak selamat, biarkan saja, toh mereka sudah kita
ingatkan.”
Nuh tidak berkata-kata,
ia hanya tersenyum, kemudian kembali bekerja. Di kepala Sadun, masih ada sekian
banyak pertanyaan, tapi ditelannya sendirian, jauh, sangat jauh di dalam
hatinya yang juga penuh pertanyaan.
***
Jakarta semakin
berhujan, deras teramat sangat deras, tak tertahan, air bercurah bagai tak
mengenal bosan. Jatuh dari langit dan bergentayang di jalanan kota, merendam
pemukiman, merendam pasar-pasar, merendam apa saja.
Perahu Nuh sudah
selesai dikerjakan, perahu kayu maha besar di atas perahu itu hanya ada
beberapa gelintir orang, yang siap-siap untuk berlayar. Tapi mereka tertahan,
menunggu Nuh yang katanya sedang menemui Jokowi di rumah dinasnya.
“Pak Jokowi, saya Nuh penyelemat
kota ini, penyelamat Jakarta, penyelamat kaum yang dilanda bencana banjir. Saya
berharap Bapak mau ikut bersama kami.” Ucap Nuh, ketika ia berhadapan dengan
gubernur DKI yang fenomenal itu.
“Ciyus, sampeyan ini Nuh?”
“Ciyus, Pak. Enelan…”
“Kebetulan! Kalau
begitu saya pinjam perahunya. Kota ini benar-benar butuh kamu, Nuh. Butuh
perahumu juga.”
“Ciyus?”
“Ciyus. Enelan…”
Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitulah pepatah bilang.
Mimpi Nuh untuk mengajak Jokowi berlayar, menemu kenyataan.
Nuh, Jokowi dan Sadun, ketiganya meninggalkan rumah
dinas, berkecipak menembus jalanan yang terendam air, bergelisir seperti ikan,
bahkan menyelam di air pelimbahan, menuju perahu maha besar.
“Itu perahumu? Kosong?”
Jokowi menunjuk perahu maha besar yang ukurannya lebih besar dari stadion Senayan.
“Iya, itu perahu saya,
perahu Nuh yang legendaris.”
“Perahu yang tepat!”
Jokowi semringah melihat perahu itu.
“Ayo, naiklah Pak.
Ikutlah bersama kami, kota ini tidak lama lagi akan habis, mati terendam banjir.”
“Sembarangan, kata
siapa kota ini akan mati. Mengatasi banjir itu bukan dengan meninggalkannya. Kita
harus menghadapinya, hadir di dalamnya, mengetahui akar masalahnya, mengerti
pemecahannya. Kalau saya berlayar dan ikut sampeyan, banjir tidak akan pernah selesai.
Itu bukan jalan keluar.”
Jokowi sudah berada di geladak kapal, di atas kapal
maha besar itu, dia bisa melihat landscape
Jakarta. Segala-galanya terendam air, hanya atap-atap yang terlihat
bersembulan, orang-orang yang berkerumun di atas atap itu, juga sampah-sampah yang mengambang,
berenang-renang penuh kebebasan. Orang-orang di bawah sana, melambai-lambai,
berteriak-teriak meminta diselamatkan. Beradu keras suara ingin didengar,
padahal mereka sudah berkali-kali diingatkan.
“Nuh, saya mengajak
Anda sebagai warga Jakarta, untuk menyelamatkan kota ini.” Ucap Jokowi di
belakang kemudi perahu.
“Caranya?”
“Kita akan berlayar di
kota ini, memakai perahumu.”
“Terus?”
“Kita keruk
sampah-sampah di Jakarta ini, kita benahi kota ini, Anda mau?”
Nuh mengangguk,
begitupun Sadun.
Nuh dan Jokowi, berlayar di atas perahu maha besar. Segelintir
orang di atas perahu maha besar itu, kemudian terlihat sibuk, maha sibuk.
Mereka mengeruk-ngeruk sampah yang berseliweran di genangan banjir kota
Jakarta, mengeruk DAS yang menyempiit, membuat area resapan air, membuat sumur
resapan, memberi ruang yang lebih besar kepada air agar bisa segera melarikan
diri ke muara tidak melulu bergentayang di perkotaan.
“Airnya menyurut Pak…”
Nuh melonjak-lonjak kegirangan. Ditunjuknya atap-atap pemukiman yang
bersembulan dari dalam genangan.
“Kamu tengok, kalender
deh… Hari apa sekarang?”
“Buset! Sudah satu
bulan Pak. Kok lama ya?”
“Itu dia, membereskan
banjir itu bukan sim salabim, tidak bisa tinggal menjentikkan jari kemudian
teratasi. Butuh waktu, butuh sosialisasi, butuh itikad dan kerja nyata. Butuh
keterlibatan semua pihak. Bayangkan kalau semua orang di kota ini seperti kamu,
Nuh. Jakarta sepertinya akan malu sendiri untuk merindukan banjir.” Jokowi
terlihat babak belur, nafasnya berdengusan, kelelahan bekerja gila-gilaan di
atas perahu maha besar.
Nuh manggut-manggut, ia
menatapi kota Jakarta di bawah sana. Rumah-rumah masih terendam banjir,
orang-orang masih berkerumun di atap-atap sana. Betapa getir pemandangan
Jakarta, ibu kota yang haru, ibu kota yang di dadanya bersemayam segala macam
angkara. Ibu kota yang butuh seribu Nuh.
Perahu maha besar
bergelisir di tengah genang banjir, air hujan terlihat kental, bercampur limbah
dan sampah, menampar-nampar tak bosan. Hujan semakin deras berderaian,
mengguyur Jakarta dengan petaka.
Sadun tengadah,
menikmati hujan. Rasanya sama saja, dingin dan basah.
***
Byuuuuuuuuuuuuuurrr…
Seember air, menyiram
wajah Sadun. Badannya kuyup, bersimbah air comberan. Di muka pintu, Emak yang berdiri
angker, menjingjing ember, menatapnya geram.
“Sadun! Bangun lu,
banjir lagi ni!” Emak berteriak, suaranya menggelegar.
Sadun menyeka muka,
matanya terbuka, air sudah merendam kamar, setinggi betis Emak. Di atas genang
itu, sendal jepit entah milik siapa terapung-apung, bergandengan dengan kantong
plastik berwarna hitam.
“Nabi Nuh…”
Sadun bergumam, tapi
banjir sudah menyergap rumahnya, merendam pemukiman, merendam Jakarta tempat
tinggalnya, tak ada waktu untuk mengingat mimpinya.
Bandung, 17 Januari 2013
Belum ada tanggapan untuk "Nuh Metropolutan (Tribun Jabar - Minggu, 20 Januari 2013)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar