Black December
Absurditas Malka*
Hujan selalu mengingatkanku
kepadamu, pada jemarimu
yang hangat, pada payung yang tak pernah kukembalikan. Hujan yang sama
bukan?
Hujan yang selamanya
membuatmu tak pernah pulang.
(Skylashtar
Maryam)
Angka-angka di kalender sudah kehilangan warna, bagiku
semuanya kelabu, pucat, seperti langit sehabis hujan, kemurungan adalah
satu-satunya rona yang tersisa.
Maira, perempuan itu yang selalu menjadi bayang-bayang
di celah rinai. Dan aku tidak pernah bisa mengelak untuk merindukannya atas nama
hujan,
di setiap hujan, yang deras maupun gerimis.
Desember, selalu saja menjadi bulan yang paling nanar,
memaksaku menjadi semacam lelaki paling memar. Ada banyak kenang di setiap
harinya, ada banyak hujan yang menjadi saksi, ada sekian banyak pertemuan, ada
yang paling hangat di setiap celah hujannya, Maira.
“Suatu saat aku akan hilang, dan kau seharusnya sudah
menemukan cara untuk menikmati hujan sendirian.” Ucap Maira, pada suatu ketika.
“Entahlah Mai, aku hanya tahu, tidak pernah ada hujan
kecuali hujan yang di celah rinainya, kita saling bergenggam tangan.”
“Danar, kehilanganku itu bukan adu tawar, tapi kepastian,
keharusan. Aku harus
meninggalkanmu Danar, harus.” Maira menyesap capucino cream dari dalam gelas. Matanya
bergelisut, meninggalkan gugus muram di wajahku.
Dago, sore hari, bersama hujan, kota ini seperti perempuan
yang sedang jatuh cinta, begitu penuh pesona. Terlebih di
depanku hadir Maira, perempuan yang entah dengan cara seperti apa, membuat kota
Bandung menjadi lebih bermakna.
Aku menyesap kopi, segala kata-kata kutelan, betapa benar ucapan Maira,
perempuan itu suatu saat, di waktu yang tepat atau
tak tepat, harus pergi,
meninggalkanku. Aku sendiri hanyalah garis singgung, hanya setitik pertemuan
yang di dalamnya cinta begitu nyata, lebih nyata, sangat nyata.
“Maira, sebentar lagi malam. Ayo kita pulang.”
“Jam berapa sekarang?” Maira mendongak ke arahku.
“Jam setengah enam.”
Aku ingin merangkul tangan Maira,
seperti
dalam perjalan lain. Akan tetapi kali ini, dia seperti ingin mengajariku untuk
menggenggam kekosongan.
Lampu-lampu sudah
berpijaran, menerobos hujan, berkilauan di atas genang. Seluruh
kemudian sempurna dipulas malam, kelam, sewarna hatiku yang remuk redam,
temaram.
***
“Non! Kalau
jalan pake mata dong.”
Umpatku kepada perempuan yang mengenakan jaket jeans
berwarna biru langit dan sebuah kaca mata hitam yang besar. Perempuan itu
berbenturan denganku di sebuah kafetaria di salah satu mall di kota Bandung, makanan yang kupesan
tumpah berantakan, menyembur baju dan aku bahkan terjatuh di depan orang
banyak.
“Maaf Pak, saya nggak lihat.” Hanya itu yang diucapkannya, kemudian dia terduduk dengan tenang seolah aku tak pernah ada,
seolah barusan dia tak melakukan kesalahan apa
pun.
“Rese banget lu jadi cewek! Asem!” Aku tidak bisa
berbuat apa-apa, Maira sudah meminta maaf meskipun dengan cara paling dingin.
Aku hanya bisa mengumpat di dalam hati, menahan geram.
Itu pertemuan pertamaku dengan Maira.
Pertemuan kedua, sama saja, lagi-lagi Maira menabrakku,
kali ini di tempat
parkir
dengan pakaian yang sama, kaca mata yang sama mungkin karena di hari yang sama. Seperti peristiwa di kafetaria, dia hanya meminta maaf dengan cara yang sangat dingin.
Pertemuan ketiga, terjadi di jalan raya, Maira tiba-tiba sudah berada di tengah
jalan, di depan mobilku.
Cekiiiiiiit…
Brak!
Aku menabraknya, kali ini Maira tidak sempat meminta
maaf, dia pingsan dengan kepala yang berlumuran darah. Peristiwa
yang sama, di hari yang sama. Aku sempat melihat, kaca mata hitamnya pecah di
tengah jalan, terlindas kendaraan roda dua dari arah yang berbeda. Hidup kadang
seperti drama, seperti aku dan Maira.
“Tuan Danar, perempuan ini mengalami benturan di otaknya, untuk
beberapa waktu mungkin dia
akan lupa ingatan. Dia menderita amnesia.” Ucap dokter, memberi penjelasan.
Setelah peristiwa itu, Maira kutitipkan di rumah ibu
untuk dirawat sampai benar-benar pulih dan bisa mengingat dirinya sendiri, juga
mengingat alamat rumahnya,
agar perempuan yang dingin itu bisa segera kukembalikan ke rumahnya. Tidak ada kartu identitas di tasnya, tidak selembar
pun. Segala
macam cara telah aku lakukan. Sebut saja memasang iklan di surat kabar,
menempel poster-poster di setiap jalan, bertanya dari satu orang ke orang lain.
Pencarianku tidak bertemu dengan satu pun titik terang. Tak seorang pun yang
kemudian datang dan membawa Maira pulang.
Enam bulan, selama itu aku rutin membawa Maira berobat
ke dokter untuk check up perkembangan
kesehatannya. Dokter sendiri tidak bisa memastikan, kapan
ingatannya akan kembali pulih. Amnesia sangat bergantung pada orang-orang di
sekitarnya, sementara aku bukan siapa-siapa, bagaimana aku bisa membantu
mengingat masa lalunya, jati dirinya, yang aku sendiri tak tahu menahu.
***
“Kamu pasti menginginkan aku selamanya lupa ingatan,
iya kan?”
“Nggak juga sih Mai tapi kalau kamu betah
tinggal di rumahku, sama ibuku, aku nggak keberatan. Ibu juga senang kok.” Pintaku penuh harap.
“Aku tahu, ibu kamu memang baik,
kamu juga, Danar. Tapi aku
harus pulang, suatu saat nanti setelah aku mengingat segalanya.”
Rasanya,
aku sangat inging menjadi jeruji besi yang paling kokoh, yang tak akan pernah
membiarkan Maira pergi. Aku ingin dia tinggal bersamaku, menghuni kebahagiaan,
sebagaimana aku merasa teramat sangat bahagia ketika bersamanya. Ya, aku jatuh
cinta kepadanya. Kebersamaanku dengannya memang cukup singkat, tapi cinta
datang begitu saja. Tiba-tiba tumbuh di seluruh bulir darah dalam diriku.
Mencintai Maira adalah yang paling nyata, yang paling
berwarna dari segala macam cinta yang pernah kurasakan. Hanya Maira yang
membuatku benar-benar merasa berbeda. Entahlah, kenapa harus Maira?
“Danar... Sekarang waktunya.” Ucap Maira pada suatu pagi,
getaran suaranya seperti kabut yang dingin di pagi itu.
Membungkus hatiku dengan kebekuan.
“Maksudmu?”
“Aku harus pulang sekarang, aku sudah mengingat
segalanya, aku sudah pulih. Terima kasih untuk semua kebaikanmu dan ibu.”
“Sekarang?”
“Ya, kapan lagi?”
“Benarkah kamu sudah bisa mengingat
segalanya?”
aku sangat berbahagia mendengar itu, teramat sangat berbahagia.
“Aku tidak punya rumah, aku tinggal di sebuah panti.
Tempat berkumpulnya orang-orang tuna netra. Nanti, akan kukenalkan
kamu ke adik-adikku di sana, mereka pasti berbahagia saat aku kembali. Kamu mau
kan mengantarku pulang?”
Maira memelas, penuh harapan.
“Tentu
saja Maira. Kenapa tidak?”
Pagi yang paling murung, hujan deras di luar sana.
Maira, tak bisa ditahan lagi, harapannya untuk lekas pulang seperti awan yang sudah sangat berat, tak
bisa ditunda untuk segera
menjadi hujan.
Setelah
menempuh satu jam kesunyian, akhirnya aku tiba di tempat tinggal Maira, sebuah
panti tuna netra di luar kota Bandung.
“Kita
sudah sampai Maira...” Ucapku, lirih, suaraku cekat.
Wajah
Maira seperti menyimpan ribuan matahari, begitu cerah, begitu berbahagia,
orang-orang yang dirindukannya tidak lama lagi akan kembali ditemukan. Maira
berjalan gesa, tangannya meraba-raba udara, kakinya bahkan tersandung-sandung.
Perih, hatiku pedih menatapnya pulang. Kebahagiaan yang absurd, kesedihan yang
tak aku mengerti. Ada ribuan tikam belati di dalam dada, menyisip haru yang
tidak mampu aku maknai.
Adik-adik
Maira semuanya anak-anak tuna netra, begitupun seorang lelaki yang pagi itu
terlihat seperti digenangi samudera kebahagiaan. Lelaki itu, kemudian aku
ketahui adalah suaminya Maira. Lelaki yang begitu setia dicintainya,
disetianya. Cinta keduanya kembali menemu nafas panjang, dalam dunia yang serba
kelam.
Aku,
siapalah diriku?
Segala
kesempurnaan ini, tak bermakna bagi cinta. Maira, perempuan tuna netra itu,
kurelakan menjadi kekal dalam segala rinai hujan, yang gerimis dan yang deras.
Tak hentinya, berderai dalam ingatan.
Bandung, 22
Januari 2013
*Absurditas
Malka, lahir di Karawang pada 29 Mei 1982, pengrajin buku di SkylArt Publisher
Bandung, penulis buku kumpulan cerpen Ular-ular
Kain Serban dan Sumur Pasir.
Belum ada tanggapan untuk "Black December (Metro Riau - Minggu, 24 Pebruari 2013)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar