Inilah pertanyaan paling haru, bagiku. Bagaimanapun dan bersikap setegar apa pun, kamu adalah sosok yang bersedih. Sosok yang di bibirnya senyum menjadi mawar paling merah, namun di dalam hatinya air mata menjadi telaga yang teramat dingin. Aku berharap kamu selalu punya energi untuk memindahkan pula mawar itu ke semesta hatimu, menyihir seluruh dirimu menjadi mawar yang paling merah, paling rekah.
Suatu saat... Suatu saat... Kesedihan-kesedihan dan pahit getir yang kamu sesapi, akan memudar dan sirna. Hidup tak selamanya bergulir di sisi malam, pada titiknya yang tersendiri terang akan menjadi gulir yang lain. Begitupun kamu, tak selamanya muram menjadi gugus yang pekat di bola matamu. Tak selamanya.
Akan ada waktunya untuk setiap orang menjadi berbahagia. Ketika waktu itu tiba, tentu aku dari rentang jarak ini, akan menjadi yang berbahagia pula. Menjadi yang paling lega, ketika menyaksi mawar-mawar itu rekah di segenap dirimu. Memendar tawa dan suka cita.
Pepatah bilang,
"Seseorang datang ke dalam hidupmu sebagai berkah, seseorang lainnya datang sebagai pelajaran." Kamu adalah keduanya, sempat menjadi semacam berkah sekaligus menjadi pelajaran.
Tahukah kamu, bahasa-bahasamu adalah pesona yang tersendiri. Pemugar puing yang berserak di kalbuku, pelipur haru yang berantak di benakku. Segala apa yang kamu ucapkan adalah segenggam mimpi yang di leherku menjadi udara, di jantungku menjadi detak, di paruku menjadi segar angin, di kepalaku menjadi harapan. Kata-kata, ya, kata-kata yang pada mulanya (kukira) adalah realita. Hanya kata-katamu yang begitu berkah, begitu penuh pesona. Terima kasih telah menjadi berkah yang serentang singkat, berkah yang membuatku sempat merasakan kembali bentuk-bentuk kebahagiaan yang nyata sekaligus absurd, meskipun sejenak. Sangat sejenak...
Berkah terhangat yang pada akhirnya menjadi kutub paling beku, dingin, dan membuat nadi-nadiku limbung untuk sekadar berdetak. Berkah yang kau tabur-taburkan untuk membuatku buncah dan seketika dihantam layu. Berkah yang menerbangkan semesta diriku ke angkasa paling puncak dan kau debumkan dalam sekali kejatuhan yang paling runtuh.
Selebihnya, kamu adalah pelajaran. Bahwa kata-kata tak pernah bisa digenggam, bahwa segala apa yang terlahir dari mulut manusia, kerap menjadi tiada, tak pernah nyata. Bahwa akan selalu ada bibir di dunia ini, yang menyampaikan sekadar angin, tak perlu digenggam, tak perlu pula disesapi, toh pada akhirnya akan menjadi tiada. Berkelisut pada ruang yang lain, berkesiut pada waktu yang entah.
Tahukah kamu, rentang usia kadang menjadi bermakna karena di dalamnya ada segigit manis kehidupan yang sempat dikecap. Sebagaimana pula ada segigit pahit nasib yang harus ditelan. Kita hanya harus bersyukur, untuk keduanya, untuk yang pahit dan yang manis.
Ada banyak hal yang ingin kuceritakan, tentang keseharian-keseharian, tentang hal-hal kecil yang selama ini kutempuh, tentang perkara-perkara sederhana yang membuat nafasku masih jatuh lembar demi lembar. Begitu juga ada banyak hal yang ingin kudengar dari mulutmu, tentang apa saja, apa saja. Tentang apa pun yang mungkin menyesak dan bertumpuk di balik lengkung rusuk-rusukmu. Apa saja yang ingin kau lapangkan di dalam pengap harimu, apa saja yang ingin kau ringankan di berat waktumu, apa saja yang mungkin membelenggu detak di nadi-nadimu. Apa saja.
Berbahagialah, jangan menangis...
Bagiku,
"menghapus kesedihan itu rumit, tapi berbahagia itu perkara yang sederhana." Hanya saja terlalu banyak kepala di dunia ini, yang berkutat-kutat menghilangkan kesedihan, ingin terlepas dari kemurungan, berkerjat-kerjat ingin bebas dari belenggu muram. Terlalu banyak orang yang seperti itu, dan mereka lupa untuk mencari berbahagia.
Ya, mereka lupa. Menjadi bahagia bukan tentang seberapa banyak nestapa yang menggodam-godam duniamu, bukan tentang itu. Entahlah bagimu, semoga harimu kini dan nanti selalu penuh tawa.
Berbahagialah... Itu saja harap dan doa yang tersisa dari rentang jarak ini, dari lubuk kesunyian ini. Semoga kamu gegas menemu tawa, gegas menjadi mawar yang paling merah... Di semesta hatimu, di sekujur dirimu. Berbahagialah, kamu.
Katumbiri
Ah, aku lupa. Katumbiri tentu bukan kosa yang kamu mengerti. Pelangi, itulah katumbiri, itulah kamu. Sekadar pelangi yang elok di lengkung langit sana, begitu indah, kemudian tiada, tak berjejak. Sekadar pesona yang sejenak, kemudian memudar, dan hilang.
Belum ada tanggapan untuk "Katumbiri (Sekadar Catatan Harian)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar