SIRKUS
Absurditas Malka*
Memiliki seorang anak yang selalu penasaran
itu melelahkan. Selalu ada saja yang dipertanyakan, selalu ada saja yang
terlontar dari mulutnya. Aku sebagai seorang ayah, kadang harus berpikir keras
untuk bisa menjawabnya.
“Ayah, kenapa anjing sirkus itu
terlihat bersedih?” tanya anakku.
Jawaban seperti apa kiranya yang
harus kuucapkan? Aku bahkan tidak bisa membedakan mana anjing yang sedang
sedih, mana yang sedang senang. Bagiku tak ada bedanya. Ekspresi anjing-anjing
itu terlihat sama saja.
“Anjing yang mana?” Jawabku,
mengulur waktu, agar aku sempat untuk memikirkan jawaban yang tepat.
“Itu yang di ujung sebelah kiri.”
Tangan anakku menunjuk-nunjuk ke
arah seekor anjing sirkus yang berada di panggung sirkus. Aku sebenarnya sudah
tahu anjing yang dimaksud oleh anakku, tapi jawaban yang tepat masih belum
kutemukan.
“Anjing yang itu? Anjing yang
bulunya putih itu ya?” Aku masih mengulur waktu, tanganku menunjuk-nunjuk ke
arah anjing yang berbeda.
“Bukan yang itu, tapi yang itu.
Anjing di ujung kiri.” Anakku sepertinya mulai kesal, nada suaranya agak
mendengking dan telunjuknya seperti tombak yang melesak menunjuk anjing yang
dimaksud.
“O, anjing yang itu. Kenapa anjing
itu?” Aku manggut-manggut, menelisik wajah anjing itu. Tetap saja, aku tidak
bisa mengatakan anjing itu sedang bersedih.
“Iya, anjing yang itu. Kenapa
terlihat sedih, Ayah?” Anakku menatap anjing itu dengan sorot mata yang iba.
Aku coba membandingkannya dengan
anjing yang lain, mungkin ada sesuatu yang bisa memberiku pembeda bahwa anjing
itu benar-benar sedang bersedih seperti yang dikatakan anakku, Sadun.
***
Tempat pertunjukan sirkus ini sangat
berbeda, aku pernah beberapa kali melihat pertunjukan sirkus tapi belum pernah
melihat yang seperti ini. Semuanya yang dipertontonkan adalah anjing, tidak ada
binatang lain seperti singa, gajah, atau monyet. Hanya ada anjing saja.
“Ayah, boleh aku memelihara anjing?”
tiba-tiba pertanyaan lain terlontar lagi dari mulut Sadun.
“Buat apa melihara anjing?”
Sebenarnya aku ingin pura-pura tidak
mendengar ocehan itu, tapi Sadun tak hentinya menatapku.
“Aku mau memelihara anjing.” Sadun
merengek, tangannya menggoyang-goyangkan bahuku.
“Tidak boleh, anjing itu najis.”
Jawabku, dingin. Aku semakin teguh menontot atraksi anjing.
“Tapi bukankah Ayah pernah bilang,
ada anjing yang masuk surga. Kalau tidak salah, anjing Ashabul Kahfi. Iya kan?”
Kalau saja aku tahu Sadun ingin
memelihara anjing, seharusnya aku tidak pernah menceritakan riwayat Ashabul
Kahfi kepadanya tempo hari. Sial!
“Iya ada, tapi kamu tetap tidak
boleh memelihara anjing, kecuali kamu terlahir sebagai Ashabul Kahfi.”
Semoga jawabanku ini cukup cerdas,
seharusnya Sadun mengerti bahwa ia tidak boleh memelihara anjing.
“Aku ingin menjadi Ashabul Kahfi
saja deh. Boleh?”
“Kenapa lagi sekarang tiba-tiba mau
jadi Ashabul Kahfi?” Ah, aku sudah menerka anak ini selalu lebih cerdas dari
yang kuduga.
“Supaya aku bisa memelihara anjing.”
Aku tidak berkata-kata lagi. Aku
pura-pura sibuk menonton atraksi anjing yang sedang mendoro mobil gerobak
kecil. Aku bertepuk tangan, aku bersorak. Sadun terus saja menatapku, menunggu
aku berhenti pura-pura sibuk.
***
Kaing!
Kaing! Kaing!
Malam-malamku kini kerap dikejutkan
suara dengking anjing. Sadun anakku itu, diam-diam memelihara seekor anjing.
Badai nyaris reda ketika tiba-tiba Sadun pulang membawa seekor anak anjing di
dalam tasnya.
“Nak, kamu belum menjadi Ashabul
Kahfi, buang anjing itu.” Aku merebut tas Sadun, kemudian membuang anak anjing
itu ke pinggir jalan.
“Kurasa anak anjing itu akan
kembali.”
Benar rupanya, anak anjing itu tidak
pergi dari rumahku, dia selalu kembali. Sadun selalu rutin memberinya makan
setiap hari, pagi, siang, dan sore. Sepiring nasi dan lauk pauk yang ada di
dapur.
“Kamu boleh memeliharanya tapi
anjing itu tidak boleh masuk ke dalam rumah. Kecuali kamu sudah menjadi Ashabul
Kahfi.”
“Baiklah, terima kasih Ayah.”
Akhirnya, Sadun menjadi majikan
anjing. Kian hari anjing itu kian besar, sehat, dan sangat menurut kepada
majikannya. Tidak hanya itu, anjing itu kini memiliki nama, Sadun memanggilnya
Serban.
“Apa? Kamu memberi nama anjing itu
apa?”
“Serban, itu namanya.”
“Kenapa kamu memberi nama seperti
itu?”
“Dia sangat mencintai serban, coba
ayah lemparkan dua kain yang berbeda, satu serban dan satu lagi apa saja.
Serban tentu akan memilih kain serban, dia pintar, dia tahu mana kain serban
mana bukan.”
Aku tidak percaya, tapi aku
melihatnya sendiri. Sadun melemparkan kain sarung, anjing itu cuek saja.
Kemudian Sadun melemparkan serban, anjing itu melompat-melompat, memburunya,
berguling-guling bermain kain serban. Bahkan, memakainya, ketika ia berdiri
kain serban itu sudah melilit di lehernya. Buset!
“Anjingmu pintar ya, mau kamu apakan
anjing itu?”
“Aku mau melatihnya sirkus.”
“Seharusnya kamu melatih anjing itu
tidur. Anjingnya Ashabul Kahfi jagonya tidur.”
“Nanti saja kalau aku sudah menjadi
Ashabul Kahfi.”
Sadun semakin menggilai anjingnya,
sehabis pulang sekolah dia langsung bermain dengan anjingnya. Melatihnya beratraksi,
membuatnya lebih pintar dari hari ke hari. Serban, anjingnya Sadun itu, kini
sudah bisa mengendari sepeda, bisa membopong ember, bisa salto berkali-kali,
bisa berdiri lama dengan dua kaki belakang, bisa mendribling bola dengan
moncongnya, bisa melakukan banyak hal seperti anjing-anjing sirkus yang tempo
hari kami menontonnya.
***
“Ayah,
bagaimana kalau kita mengadakan pertunjukan sirkus?”
“Ogah.” Aku mulai bosan dengan
pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan Sadun. Hanya jawaban
singkat-singkat saja yang kulontarkan.
“Kita bisa dapat uang, Ayah.” Sadun
semakin antusias membujukku.
“Ayah sibuk.”
“Tapi teman-temanku sudah membayar
tiket pertunjukan sirkus Serban, kalau sampai tidak jadi. Apa kata
teman-temanku?”
Buset! Sadun rupanya sudah menjual
banyak tiket kepada teman-temannya sendiri. Halaman rumahkulah yang
dijadikannya tempat pertunjukan sirkus.
“Uangnya buat kamu saja, tapi ingat
jangan pernah membawa masuk anjing itu ke dalam rumah.”
“Baiklah, terima kasih Ayah.”
Satu per satu tean-teman sekolahnya
Sadun datang ke rumah, mereka terlihat penasaran, ingin segera melihat sirkus.
Aku sendiri bingung, bagaimana caranya Sadun bisa menjual tiket kepada
teman-temannya, lumayan banyak yang datang, tidak kurang dari dua puluh orang.
“Sadun, kapan mulainya?” teriak
teman Sadun.
“Iya nih, sudah jam dua siang, cepat
dong.” Timpal yang lain.
“Tenang semuanya, tidak lama lagi
sirkusnya akan dimulai. Silakan duduk di tempat yang telah disediakan.” Sadun
menunjuk ke arah tikar yang sudah disiapkannya di halaman rumah.
Anak-anak kecil itu serempak
berlarian menuju tikar yang sudah terhampar kemudian duduk bersila dengan rapi.
Setelah semuanya berkumpul, Sadun berdiri di depan teman-temannya.
“Teman-teman, terima kasih telah
datang. Sekarang kita mulai pertunjukan sirkusnya. Tepuk tangan, dong!”
Suara tepuk tangan dan sorak sorai
terdengar bersahutan, acara sirkus pun dimulai. Sadung bersiul memanggil
anjingnya, Serban.
Kaing!
Kaing! Kaing!
Dari arah
belakang teman-temannya, tiba-tiba Serban muncul, dia melompat hamparan tikar
yang berisi 20 orang itu.
“Horeeee...” Teman-teman Sadun
bersorak-sorai melihat atraksi pembuka yang mengejutkan itu. Serban kini sudah
berdiri di depan penonton, lidahnya menjulur-julur, di lehernya terikat kain
serban berwarna merah, ekornya yang serupa ekor tupai berkibar-kibas ritmis ke
kiri dan kanan.
Sadun bersiul lagi. Serban kembali
beratraski, kini anjing itu berjalan dengan dua kaki belakang, sementara kaki
depannya membawa barbel replika. Serban berjalan memutari para penonton.
“Horeee!!! Keren!” teriak para penonton.
Sadun semakin semangat, begitupun
Serban. Keduanya semakin terlihat lincah melakukan berbagai macam atraksi yang
bahkan belum pernah aku lihat sebelumnya.
***
Satu per satu, teman-teman Sadun
pulang. Mereka terlihat kecewa, pertunjukan sirkus telah usai, tidak ada lagi
atraski yang mengundang decak kagum. Wajah mereka terlihat mengantuk, dan
kesal.
“Pertunjukan apa ini? Kenapa kalian
tidur saja?” Ucapku, setelah semua penonton pergi meninggalkan Sadun dan
Serban.
Aku tertegun, terhenyak, teringat
kata-kata terakhir yang diucapkan Sadun kepada teman-temannya tadi. Ya, dia
akan mempertontonkan pertunjukkan Ashabul Kahfi. Tidur panjang berabad-abad.
Sadun dan Serban masih tertidur
ketika hari perlahan beranjak malam. Mereka benar-benar tertidur, aku hanya
tersenyum saja. Bagaimanapun mereka bukanlah Ashabul Kahfi, nanti tengah malam
atau besok pagi kurasa keduanya akan kembali terbangun. Aku pun tertidur,
lelap, sangat lelap.
***
Bersama
segelas kopi yang masih hangat, aku berjalan menuju beranda. Aku tersenyum
geli, teringat anakku yang kemarin mempertontonkan pertunjukan Ashabul Kahfi.
Mungkin mereka masih tidur di halaman rumah atau mungkin sudah pindah karena
tidak kuat menahan dingin.
Perlahan,
aku menarik daun pintu. Di halaman rumah sana, tak ada Sadun, tak ada Serban.
Aku hanya melihat belulang yang berserakan.
Bandung, 25 Juli 2013
*) Absurditas Malka lahir di Karawang, bekerja di
Panglima Ikan Bakar dan aktif menulis cerpen juga carpon.
Belum ada tanggapan untuk "Sirkus (Tribun Jabar, 25 Agustus 2013)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar