KAKAP MERAH
Absurditas Malka*
Aroma garam lautan, mengental di dalam paru-parunya,
kian hari kian menggumpal bersama segala macam memoar. Kapal- kapal nelayan
telah pulang, hanya kekosongan yang melulu datang. Di belakang gelombang, tak
pernah ada siapa-siapa yang akan datang kecuali batuan karang yang selalu
tenang. Angin laut tidak pernah lagi mengembalikan bapaknya. Di antara sekian
banyak yang pulang dalam wujud siluet,
di celah merahnya langit yang terbakar di waktu senja. Tak akan pernah.
“Pulang. Kau tunggu
sampai berakar pun, Bapakmu tidak akan pulang.”
Ucap ibu, seperti
kemarin dan kemarinnya lagi. Tangannya yang tak lagi lembut, merenggut
lengannya, membawanya pulang, menjauh, meninggalkan deru pantai. Ia hanya diam,
kakinya berjingkit malas, ikuti emaknya. Jejak-jejak di belakang mereka melesak
di wajah pasir, kemudian hilang dihapus desir ombak. Senja yang membara,
menyepuh angkasa sewarna baja dalam tanur membara.
“Bapak…”
Ia bergumam,
berkali-kali wajahnya menoleh ke belakang, ingin menembus gulungan gelombang,
ingin menerabas bentang karang, ingin melihat dunia di seberang lautan, mungkin
bapak masih ada di seberang sana. Hanya senja yang semakin karam, itu saja yang
memadat dalam tatapan.
***
“Kakap merah sedang susah, makan saja dengan ikan
lain. Jangan rewel!” Emak menggerutu, betapa tidak, anaknya yang semata wayang
itu hanya mau makan jika ada ikan kakap merah di atas meja makan. Anaknya tak
pernah mau ikan yang lain, tak satu pun. Kerapu, kaci-kaci, ekor kuning,
tongkol, semuanya tak mungkin membuatnya mau makan. Hanya kakap merah kunci
pembuka mulutnya, hanya itu.
Selama 2 tahun, anaknya tak pernah makan besar,
meskipun di meja makan, ada ikan kakap merah yang dibeli emaknya dari nelayan.
Makannya sangat irit, paling sesuap atau tiga suap, bahkan ikan kakap merahnya
pun hanya dicubit-cubit saja.
“Ikan kakap yang aneh, nggak enak.”
Ia bergumam, menatapi ikan kakap di atas piring
beling. Matanya nanar, tatapnya tumpah di atas meja makan, sementara pikirannya
berlari ke masa silam, mencari-cari bapak di celah ingatan.
“Kamu ini, rewel. Kakap merah itu sama saja, mau
tangkapan Bapak atau bukan, sama saja ikan kakap!” Emak menggerutu lagi.
“Beda Mak, ikan kakap merah tangkapan Bapak rasanya
enak.”
“Hoalah, sudahlah. Makan dan habiskan. Kamu makin
kurus saja kelihatannya.”
“Ogah…”
Ia berdiri, menelan sisa remah di mulutnya. Setelah
mereguk segelas bening air, ia berlalu, menuju beranda, menatapi layar-layar
kapal yang samar di garis pantai sana. Pantai yang pasir-pasirnya sudah sekian
ratus kali menjadi kanvas dari rasa rindunya. Ia kerap melukis wajah bapaknya
di atas pasir, menulis nama bapaknya, menuliskan apa saja tentang bapak, dalam
gambar maupun kata. Apalah artinya tulisan di wajah pasir, dalam sekejap atau
lambat akan terhapus juga oleh gelombang.
“Bapak…”
Ia kembali bergumam,
menyebut bapaknya. Tubuhnya layu di atas kursi kayu, mengkerut, merungkut,
murung, mendung. Lengannya yang bersembulan tulang-tulang, melingkari kedua
lututnya erat, sangat erat. Sementara matanya, begitu payah menelisik senja
yang sudah karam, menerabas siluet-siluet kapal nelayan, mencari-cari bapak
yang tak lagi pulang.
***
“Masuklah, tidur. Sudah malam.”
Emak sudah berkali-kali
memanggilnya untuk bergegas masuk ke dalam rumah. Telinganya seperti dibentengi
beton, tak mendengar. Kesadarannya habis dihisap harapan yang tak berdasar.
Tubuhnya lengket, menempel di kursi kayu lapuk. Menempel di sana, sampai ia
tertidur. Setelah lelap, emak akan membopongnya ke dalam kamar. Selalu begitu
setiap malam.
“Ya Tuhan, kenapa anak
ini terus mencari Bapaknya yang sudah mati ditelan gelombang.” Emak bergumam,
telapak tangannya yang kasar mengusap-ngusap rambut anaknya penuh rasa sayang. Ditatapnya
tanda lahir berupa gumpalan hitam di jidat sang anak, tanda yang juga dimiliki
bapaknya. Tanda lahir yang membuat emak, seolah melihat kembali bapak yang
memang telah tiada, telah lebih dahulu mengarungi samudera kekal.
Di sudut-sudut matanya yang kiri dan kanan, ada bulir
bening yang tak tertahan, meleleh mengiris wajahnya. Rekah menjadi sayatan
perih yang memawar di sekujur jiwanya.
Biasanya bapak yang
menggendong anaknya masuk ke dalam kamar. Anaknya selama ini terlalu dekat
dengan bapaknya, sangat dekat. Ke mana bapak pergi, di sana anaknya berada.
Bahkan ke lautan buas sekali pun. Tapi kali itu, ketika air laut pasang, ketika
angin membadai, ketika halilintar menyambar gunungan gelombang, anaknya tak
ikut berlayar. Hari yang getir, hari yang tidak pernah mengembalikan bapak ke
rumah, kecuali sederet memoar yang berlarian terbanting-banting di bibir
pantai, terbentur karang, dicabik-cabik garam dan gelombang.
“Mas Danu tenggelam…”
ucap Juned, sahabat kental bapak malam itu.
Suaranya yang bergetar
didera gigil dan kesedihan, nyaris tak terdengar. Suara yang parau, suara yang
bagi emak terdengar seperti ledakan guntur. Merobohkan detak jantungnya menjadi
lamban, teramat sangat lamban.
“Apa maksudmu, Juned?”
“Mas Danu tenggelam…
Sabar ya…” belum usai Juned bicara, emak sudah menjerit memanggil-manggil nama
suaminya. Emak meronta ingin mencari suaminya ke laut sana, tapi orang-orang
menahannya. Emak jatuh pingsan, ditumbangkan sebentuk rasa kehilangan yang
berjurang-jurang.
“Bapak! Bapak! Bapak!”
Ia pun berjerit-jerit,
meronta lebih hemat dari emak. Ia kelojotan berhisteris sampai suaranya
terdengar seperti nyaris putus, matanya menerjunkan air tangis. Ia akhirnya
layu, lemas seperti lumut di dasar dingin samudera, sangat lemas, basah oleh
kesedihan.
Tak pernah ada kabar
terdengar, tak seorang pun yang kebetulan melihat jasad Danu. Hilang, genap
menghilang ditelan gelombang, tak menyisa jejak, tak meninggalkan badan. Hanya
menyimpan semesta ingatan yang selalu merajam.
***
Senja kembali menyepuh
lautan, sewarna baja terbakar dalam tanur. Ia seperti hari kemarin dan
kemarinnya lagi, diseret pulang, kakinya kadang meninggalkan jejak panjang di
wajah pasir pantai. Kadang melesak sangat dalam karena menolak pulang. Begitu
selalu begitu, di setiap senja.
“Mak, bila Bapak pulang… Aku pasti mau makan lagi.
Tapi Emak tenang saja, aku tidak akan mati karena kurang makan.” Ia menepis
nasi dan kakap merah di atas piring setelah tiga suap kecil ditelannya penuh
kemalasan.
“Bapakmu sudah mati!
Bapakmu tidak akan pulang!”
Ia terdiam, tertunduk.
Tanpa kata-kata, sementara ibu di seberang meja makan terus mengoceh perihal
bapaknya yang sudah meninggal, perihal harapannya yang tidak akan pernah
menjadi kenyataan.
Emak masih mengoceh
ketika ia bangkit dari kursi kayunya, meninggalkan meja makan lapuk, menuju
beranda. Kembali terduduk di kursi kayu yang juga lapuk. Tubuhnya mengkerut
lagi, merungkut, layu. Sementara matanya berpayah-payah menyesapi kegelapan,
mencari-cari yang tidak akan pernah pulang.
“Mak, gimana Sadun.
Sudah mau makan?” Tanya Juned yang kebetulan bertamu bersama istrinya.
“Boro-boro, sudah
bertahun-tahun ia malas makan. Lihat itu tubuhnya, makin ceking, tinggal kulit
dan tulang.”
“Hmmm… Sudah dicoba
memberinya makanan yang lain?”
“Memberi makan apa
lagi? Semuanya sudah dicoba, lidah Sadun hanya mau makan ikan kakap merah
tangkapan bapaknya. Sialnya, Sadun tahu mana ikan kakap merah tangkapan
bapaknya, mana yang bukan. Tidak bisa dikelabui.”
“Begitu ya, susah kalau
begitu. Tapi cobalah bujuk Sadun, saya kira dia akan mau makan juga.” Sambung
Juned.
“Sudah ribuan kali,
percuma saja. Biar sajalah, yang penting Sadun tetap hidup.” Emak menunduk,
menenggelamkan kesedihan di matanya, agar tetap tersembunyi di dalam dadanya.
Juned menatapi Sadun
yang tak acuh di beranda sana. Tubuh ringkih itu terlihat sangat layu,
berkerut, dan lapuk. Dari dalam plastik besar yang berwarna hitam, Juned
mengeluarkan dus putih.
“Apa itu Ned?”
“Ini kue dari kota,
Mak. Tadi ada saudara yang datang membawa oleh-oleh. Barangkali Sadun suka
ini.”
“Wah, kue bolu.” Emak
berdecak menelan air liurnya, ditatapnya kue bolu yang melingkar dalam dus. Di
atas kue itu terlihat mentega aneka warna yang menjadi hiasan.
“Coba sini, saya tawari
Sadun, barangkali ia mau.” Ucap istrinya Juned, Lasmi.
Emak mengangguk,
kemudian mengambil potongan besar, memindahkannya ke dalam piring. Lasmi
membawa potongan kue itu untuk Sadun.
“Dun, bibi punya kue
bolu. Enak loh…” Lasmi membujuk, disodorkannya kue bolu yang menggoda itu, tepat
di depan wajah Sadun.
“Sadun, kue bolunya
enak loh.” Lasmi membujuk lagi.
Sadun tak peduli, ruang
sadarnya terputus dari dunia di sekitarnya, semuanya utuh di larikan ke dalam
ingatan.
Setelah berkali-kali
menggoyang bahu, Sadun tersadar, hanya tersadar untuk menolak, menggelengkan
kepala dan menampik sepotong kue bolu besar yang gagal membujuknya untuk makan.
Sepi, sepi, sepi. Malam
semakin sepi, percakapan Juned, emak, dan sesekali Lasmi, berujung pada getar
sunyi. Apa lagi yang kiranya bisa dibicarakan di tengah lautan kesedihan?
***
“Mak, ikan.” Ucap
Sadun, dingin.
Tangan mungilnya yang
bersembulan belulang menyodorkan sat plastik berisi dua ekor ikan kakap merah.
Emak tidak bertanya perihal ikan-ikan itu, sudah barang tentu pemberian dari
tetangganya.
“Dibakar saja ya, inyak
goreng kita habis.” Emak menatap mata Sadun yang dingin, tidak berkata ya,
tidak pula menolak. Lagian setiap hari juga emak lebih sering langsung membakar
ikan dari pada menggorengnya, jauh lebih hemat.
Emak menjinjing plastik
ikan berisi kakap merah ke dapur, bara
kayu terlihat memerah di tungku. Setelah dibalur bumbu ala kadarnya, emak mulai
membakar ikan-ikan itu.
Sadun kembali terduduk
di beranda, di kursi kayu yang sudah bertahun menjerat dirinya untuk menyesapi
pesona senja. Kursi yang biasanya diduduki bapaknya, dan ia bertengger di
pangkuan bapak sampai tiba waktu untuk tidur malam.
Di ujung sana,
terdengar suara gelombang yang pecah membentur karang. Tercium aroma garam yang
kental. Bayang-bayang lelaki tadi sore kembali berlayar dalam ingatan. Lelaki
itu seperti datang dari dalam lingkaran matahari yang sempurna memerah, semerah
tempa dalam tanur pembakaran baja. Lelaki yang seolah datang hanya untuk
memberikan dua ekor kakap merah kepadanya.
“Kakap merah…” gumam
Sadun ketika ia menerima dua ekor ikan itu dalam plastik. Ia menatap wajah
lelaki itu, asing, sama sekali asing. Wajahnya yang tertutup caping
memperlihatkan lingkaran hitam di jidat, sama seperti yang ada di jidat Sadun.
Tapi itu Sadun yakin itu bukan bapaknya, lelaki tirus itu pincang, lengannya
buntung. Lelaki yang asing, entah siapa.
“Dun, makan!” teriak
emak dari dapur.
Aroma ikan yang
terbakar tercium kental, menguar di semua ruang. Sadun tak beranjak, tak
bergerak. Ia hanya akan pergi ke dapur ketika lengannya diseret jemari ibu yang
kian hari kian terasa kasar.
“Makanlah.” Emak
menyodorkan kakap merah bakar di atas piring beling dan seciduk nasi putih yang tidak begitu putih.
Sadun terlihat
mengendus aroma ikan bakar itu, cuping hidungnya bergerak-gerak, lehernya
terlihat menelan air liur. Satu suap sudah melesak ke dalam mulut, diikuti
suapan lain. Ikan kakap merah di atas
piring, kini tak lagi sekadar dicubit-cubit, semuanya habis, hanya menyisakan tulang. Sadun sangat lahap memakan kakap merah bakar.
“Mas Danu…”
Emak memekik, matanya
berlarian ke sekeliling ruangan. Dicari-carinya seseorang, dicari-carinya yang
selama ini diyakini tak akan pernah pulang. Parit-parit harapan, kembali meluap
di sudut mata emak yang kiri dan kanan.
“Mas Danu, kamu di
mana?” Emak berlari ke beranda.
Di luar sana hanya ada kegelapan, aroma
garam, dan suara debur ombak yang bersahutan.
Bandung, 11 September 2013
Belum ada tanggapan untuk "Kakap Merah (Inilah Koran, 29 September 2013)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar