KOTA BABI
Absurditas Malka*
Ketika.
Langit
di atas sana, masih begitu-begitu saja, kadang putih, kadang biru, kadang
kelabu, dan kadang sangat kelam. Begitupun bendera yang setiap hari Senin
selalu dihormatinya, masih begitu-begitu saja, merah dan putih, dan semakin
kusam dari tahun ke tahun. Tidak ada yang berubah di negara ini, kecuali satu
hal yang diam-diam berjatuhan dari ketinggian langit sana.
“Lihat,
di langit banyak balon babi...” Bisikmu pada seorang teman di depan, matamu
tetap saja menelisik langit sana, menyelidik benda-benda yang berjatuhan dari
langit, sepertinya balon yang berbentuk babi.
“Itu
bukan balon babi, itu babi sungguhan!” Teriak temanmu yang diam-diam juga
memperhatikan langit sana.
“Hujan
babi!” Teriakmu, seketika. Kamu berhambur dari barisan, berkelit menghindari
babi yang nyaris menumbuk tubuhmu.
Langit menurunkan hujan babi, di angkasa sana
terlihat titik-titik besar, terlihat babi-babi yang menukik berjatuhan. Mulanya
hanya terlihat sebesar titik, kian dekat kian besar, sebesar babi. Sebesar apa
lagi?
“Babi!
Ada babi!” teriak teman-teman perempuanmu, kalap. Ada yang seketika itu juga
membeku, seperti patung, hanya bolamatanya saja yang melarikan air mata, sementara
kakinya tak bisa berlari ke mana-mana.
Kamu
semakin gesit melompat dan merunduk, sesekali berkelit, dan kali lainnya kamu
jatuh bangun, menghindari babi. Bendera merah putih di atas sana ketika hujan
babi melanda, kiranya tak akan marah hanya mendapatkan separuh jatah
penghormatan di hari Senin.
“Babi!”
Teriak anak-anak lain semakin kalut.
“Anak-anak!
Masuk ke dalam kelas, hujan babi!” Teriak Bapak Guru, sembari mengamankan anak
didiknya dari hujan babi.
Blung!
Babi pucat berdebum menumbuk tanah di depannya. Pak Guru tertegun, dadanya
berdegup kencang, dia merasa beruntung selamat dari timpaan babi yang berjarak
hanya sedepa darinya.
Blung! Babi
yang pucat menumbuk Aldo, teman sebangkumu. Seketika itu juga, Aldo menjadi
babi! Gila!
“Awas!
Jangan ketimpa babi, nanti kamu jadi babi!” Teriakmu, sembari menubruk Resya
yang nyaris tertimpa babi. Kamu kembali melompat menubruk Aidit yang juga
terancam ketiban babi.
Blung! Blung!
Babi menumbuk tanah. Tapi babi-babi itu tidak mati, jangankan mati, hancur pun
tidak sama. Babi-babi itu berlarian ke sana-ke mari dengan ekor yang
berkibas-kibas tepat di lubang pantatnya. Suaranya berguik-guik, bersahutan, bising,
menderu.
Ichal
tertimpa babi, tubuhnya menjadi babi.
Yudho
tertimbris babi biru, ya menjadi babi.
Susi
juga tertimpa babi, jadi babi. Busyet! Semakin banyak yang menjadi babi,
semakin meramaikan sekolahmu dengan babi-babi yang berlarian tak keruan.
“Awas,
jangan sampai babi-babi itu menimpa kalian!” Teriak Pak Guru yang baru
menyadari kalau babi itu bisa mengubah seseorang menjadi babi juga.
“Awas
Pak!” teriakmu sembari menunjuk babi yang berada di atasnya.
Blung!
Babi
itu menumbuk bapak guru yang tak sempat berkelit. Guik-guik! Bapak guru, berguik-guik, kemudian berlari-lari
kesana-kemari dalam wujud babi. Blung!
Blung! Blung! Hujan babi sepertinya tidak akan segera reda.
***
Setelah.
Kotamu menjadi kota yang
sebagian besar penghuninya adalah babi. Kamu sekarang menjadi pecinta cermin,
nyaris selalu ada banyak waktu untuk menelisik rupamu di dalam cermin, sekadar
memastikan bahwa kamu masih seekor manusia, belum menjadi seorang babi seperti
sebagian besar penduduk di kotamu.
“Dun, kamu mau ke mana? Jangan
pergi ke luar sana, nanti kamu jadi babi!” Bentak Pak RT, sembari mencegahmu
untuk meninggalkan rumah.
Sudah lebih dari tiga hari, Pak
RT dan anaknya yang berumur 18 tahun, mengunci rapat-rapat rumahnya. Dia hanya
mengintip ke luar sana, betap di jalanan depan rumahnya, babi-babi hilir mudik
kian kemari, berguik-guik, berak sembarangan.
“Aku lapar Pak.” Jawabmu,
singkat.
“Iya kita lapar, tapi jangan
sembarangan kamu membuka pintu itu. Bagaimana kalau ada babi masuk, mau kamu
jadi babi?” Pak RT melotot ganas.
Kamu hanya merungkut, dan
usus-usus di perutmu rasanya seperti dipelintir, sakit dan perih. Suara-suara
keroncongan terdengar berkali-kali, begitu juga dari perut Pak RT. Tidak ada
persediaan makanan di dalam rumahnya, di kulkas hanya tersisa 3 siung bawang
merah dan botol-botol air minum dingin.
“Aku juga lapar, pergilah cari
makanan Pak.” Anaknya Pak RT terdengar memelas, tangannya memegangi perut
sembari menampilkan raut kesakitan yang dibuat-buat.
Pak RT tertegun, diam di dalam
rumah tentu akan membuatnya selamat dari ancaman menjadi babi, tapi terancam
mati kelaparan.
“Baiklah, kalian tunggu di sini.
Bapak akan pergi mencari makanan, jaga pintunya baik-baik, kalau Bapak sudah
pulang cepat buka pintunya.” Ucap Pak RT sembari menyerahkan kunci pintu kepada
anaknya.
“Hati-hati Pak, jangan sampai menjadi babi.” Ucapmu.
“Amit-amit.” Gumam Pak RT. Dia menyelinap meninggalkan rumah, menuju toko
makanan di pinggir jalan.
Pintu sudah kembali terkunci, kamu dan anaknya Pak RT hanya saling diam,
tidak ada kata-kata yang bisa ditukarkan. Kamu menatapi ke luar sana, mengintip
babi-babi.
Jam di tembok ruangan, terus berputar, berdetak. Sudah sangat sore, Pak
RT yang ditunggu-tunggu tak juga kembali, kamu gelisah, apalagi anaknya Pak RT.
“Bagaimana kalau bapak menjadi babi?” gumam anaknya Pak RT.
“Ih, amit-amit, jangan dong Kaka.” Jawabmu.
“Lama sekali Bapakku pergi, jangan-jangan...” kecemasan semakin tegas di
wajahnya.
“Ah, sudahlah, kita berdoa saja semoga Bapak RT baik-baik di luar sana
dan segera kembali membawa makanan. Bagaimana kalau kita menunggunya sambil
menonton tivi?” tanyamu.
Anaknya Pak RT tidak menjawab, dia meraih remot di atas meja. Klek... dia memijit remot, tivi menyala.
Busyet! Acara TV masih ramai memberitakan babi. Pembawa beritanya juga seorang
babi. Anaknya Pak RT memindahkan statsiun tivi, semuanya menayangkan babi,
semuanya serba babi.
“Matikan tivinya, semua orang sudah menjadi babi!” Pekikmu, rasa mual
menyeruak dari dalam perut melihat betapa babi-babi itu telah menjadi tayangan
dalam televisi.
“Sebentar, barangkali ada berita penting.”
“Wow, itu presiden kita?” Kamu menunjuk wajah dalam layar tivi.
“Apakah itu presiden kita?” jawab anak Pak RT, matanya melotot tak
percaya.
Kamu terpana, tak bisa membedakan antara wajah presiden dan babi,
keduanya terlihat sama saja. Hujan babi kemarin hari telah mengubah segalanya,
termasuk presiden.
“Apakah aku masih manusia?” Tanyamu, meminta diyakinkan.
“Iya, kamu masih manusia. Bagaimana denganku?” anaknya Pak RT juga ingin
diyakinkan bahwa dirinya masih manusia.
“Bagaimana kalau kita menjadi babi?” gumammu.
***
Pak RT tidak pernah kembali,
kamu selalu melihat seekor babi pucat yang tiduran di depan pintu, di dekatnya
terlihat plastik-plastik berisi banyak makanan. Ah, Pak RT rupanya sudah
menjadi babi juga.
“Kamu, pegrilah keluar, ambil makanan itu.” Ucap anaknya Pak RT.
“Kenapa aku? Kamu saja, aku kan masih anak-anak.” Jawabmu.
“Jangan membantah! Atau kamu ingin ini...” anaknya Pak RT mengancam, dia
mengayun-ayun pentungan dengan tatapan belati yang menghujam.
“Baiklah, buka pintunya.”
Setelah kunci dibuka, pintu
memberi ruang agak lebar, kamu menyelinap, mengendap-endap mendekati plastik berisi
banyak makanan yang tergolek di dekat babi yang sedang tidur.
Sebelum
mengambilnya, kamu menatapi sekitar, di halaman rumah tidak terlihat babi,
selain babi yang sedang tidur di depan pintu. Kamu melihat ke jalan kecil di
depan rumah, ada banyak babi di sana. Ada yang bergunduk bersama
kawan-kawannya, ada yang bermandi air got, ada juga yang berlari-lari
berkejaran dengan kawannya.
“Anak kecil! Masuklah nanti kamu
akan menjadi babi seperti kami!” Teriak seorang babi di luar pagar rumah,
matanya menatapimu.
Kamu tertegun, menjadi patung,
tidak mampu bergerak. Babi-babi lain ikutan menatapimu dari luar pagar, semakin
berkerumun. Babi besar yang kulitnya pucat kembali bicara, “Cepat masuklah!”
“Kalian bisa bicara?” gumammu,
entah kepada siapa.
“Anak kecil... cepat masuk.”
Ucap babi lain.
Kamu semakin tertegun, kamu
ingin bergerak kamu ingin kembali ke dalam rumah, tapi kakimu terasa berat,
seperti patung. Kamu dengan segala payah, meraba-raba wajah sendiri, memastikan
dirimu sendiri belum menjadi babi.
Kamu ingin berteriak, kamu ingin meledak, tapi lehermu terasa cekat,
tidak ada kata-kata yang bisa kamu larikan. Kamu hanya bisa berguik-guik. Babi
yang tertidur di depan pintu, tersenyum menatapmu. Tatap yang lekat, sangat
lekat.
“Guik! Guik!” ucapmu, kalap.
Kamu berlarian di luar rumah,
kian kemari, tak keruan.
Bandung, 18 Juni 2013
Belum ada tanggapan untuk "Kota Babi (Pikiran Rakyat, 15 September 2013)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar