PASAL 33
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran siapa?”
Sali dan Sadun, keduanya
memiliki daya ingat di atas rata-rata. Mereka seakan-akan dilahirkan dengan
mesin pemindai yang tertanam di dalam otaknya. Keduanya, mampu menghapal apa
pun, cukup dengan membacanya sekali atau melihatnya sepintas saja. Apa yang
mereka baca dan lihat sudah berpindah kedalam ingatan, bisa ditampilkan ulang
dengan sempurna kapan saja, di mana saja.
Mereka selalu berhasil
merebut gelar juara dalam berbagai perlombaan cerdas-cermat yang digelar
berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta. Bapak Janim sebagai wali kelasnya, menyayangi
mereka melebihi siapa pun. Keduanya seolah mestika yang membuat nama sekolah
menjadi harum tercium ke berbagai pelosok negeri. Sali dan Sadun kerap
bergantian menjadi berita di layar televisi, termasuk beberapa acara yang
sengaja menjadikan keduanya sebagai bintang tamu.
Hari ini bangku Sadun
terlihat kosong, teman-temannya tidak ada yang tahu kemana gerangan Sadun,
termasuk Sali.
“Bu Tri coba hubungi
orangtuanya Sadun?” Bapak Janim terlihat gelisah.
“Sudah sejak lama tidak
aktif, Pak. Nanti saya akan mampir ke rumahnya sepulang sekolah.”
“Kalau sudah dapat informasi segera hubungi saya, Bu.
Semoga Sadun baik-baik saja, lusa dia harus ikutan cerdas cermat tingkat kabupaten.”
Kehilangan Sali dan Sadun walau sekadar satu hari, bagi Bapak Janim terasa
kehilangan banyak hal.
***
Sore belum sempurna,
Bapak Janim semakin tak sabar menunggu kabar dari Ibu Tri. Segeralah
dihubunginya Ibu Tri, agar segera mendapatkan kejelasan perihal Sadun. “Bu Tri,
sudah dapat informasi mengenai Sadun?” tanya Bapak Janim, tanpa basa-basi.
“Maaf Pak, saya lupa memberi
kabar. Saya belum mendapatkan informasi apa pun, ini saya masih di rumah Sadun,
tidak ada siapa-siapa.” Ibu Tri terdengar frustasi.
“Sudah tanya
tetangganya?” Getar suara Bapak Janim terdengar cemas.
“Sudah Pak, semua
tetangganya sudah saya datangi, tidak seorang pun yang tahu.”
“Aneh sekali, kemana
Sadun ya?”
“Saya masih bisa
menunggunya sampai jam enam sore Pak, mudah-mudahan ada informasi yang berguna
atau mungkin Sadun sudah pulang.” Jawab Ibu Tri memberi harapan.
“Kalau tidak keberatan
menunggunya lebih lama, tunggulah sebentar lagi. Semoga Sadun lekas pulang.”
“Sama sekali tidak keberatan
Pak, tenang saja.”
“Jangan lupa ya,
hubungi saya kalau sudah dapat informasi.” Ucap Bapak Janim, penuh harapan.
“Iya Pak.”
Bapak Janim memutuskan
sambungan pembicaraan. Ibu Tri kembali duduk di bangku kayu yang berderak-derak
ketika menopang bobot badannya. Bandul gambok dari tembaga bergelayut di gagang
pintu, di dalam rumah tidak ada siapa-siapa.
***
“Mak, biar aku
saja yang membawa kayu bakarnya. Emak membawa tabung gas saja.” Ucap Sadun,
setelah menimang bobot kayu bakar dan tabung gas, rupanya lebih berat yang
pertama.
“Kayu bakar seuprit,
Emak juga kuat bawanya.” Ucap Emak, tenang.
Sadun tidak menggubris,
diangkatnya gundukan kayu bakar yang sudah diikat. Sekuat tenaga ia memikulnya,
alhasil ia terbungkuk-bungkuk menahan bobot kayu bakar itu, lumayan berat.
“Kalau berat, bilang.
Nanti gantian Emak yang bawa kayu bakarnya.”
Sadun dan emak berjalan beriringan. Emak mengikutinya
dari belakang, di tangannya bergelayut tabung gas hijau, kosong. Sudah banyak
warung yang ditujunya, gas 3 kilo gram yang dicarinya melompong, raib.
“Mak, kayu bakarnya
cukup untuk satu minggu?” tanya Sadun sembari tetap berjalan, suaranya
terdengar sesak, nafasnya seperti tercekik, megap-megap.
“Cuma cukup untuk satu
hari, Dun.”
Tabung gas 3 kilo gram
banyak di warung, hanya saja kosong semua tidak ada yang berisi. Perjalanan
Sadun mencari isi ulang gas itu membawanya ke tempat jauh sampai hari nyaris
petang. Perjalanan menempuh harapan yang berbuah kekosongan.
***
Kecemasan Bapak Janim
sudah memudar pagi ini, dia berkali-kali menengok gerbang sekolah yang terbuat
dari dua tiang bambu dengan hiasan ala kadarnya. Ditunggunya Sadun yang
seharian kemarin, hilang tanpa kabar berita. Menurut kabar dari Ibu Tri, Sadun tidak sakit,
hari ini ia akan kembali sekolah.
“Sali!” Teriak Bapak
Janim, memanggil anak didik jeniusnya. Tidak hanya pagi ini, setiap pagi Sali
memang selalu datang lebih awal dari pada Sadun.
“Kamu sudah hapal UUD
dan pasal-pasalnya?”
“Sudah Pak, gampang.”
“Coba kamu bacakan
sekarang, Bapak ingin mendengar.”
“Baik Pak.”
Sali langsung saja melafalkan
naskah UUD 1945 dari awal sampai akhir, tidak ada redaksi kata yang meleset
apalagi keliru. Begitupun semua pasal-pasal dihapalnya dengan benar, sempurna. “Bagus,
kamu hebat.” Puji Bapak Janim.
Tulilit Tulililit Tulililit…
Hape Bapak Janim
berdering nyaring, setelah menekan tombol berbentuk gagang telepon berwarna
hijau, ia langsung menyapa seseorang di seberang sana.
Setelah usai, Bapak
Janim terlihat layu, hapenya kembali bersarang di dalam saku celana. “Sali…”
Ucap Bapak Janim, “Perlombaannya ditunda, dua minggu lagi.” Lanjutnya, penuh
kecewa.
“Tidak jadi besok,
Pak?”
“Barusan Bapak menerima
telepon dari pusat, lombanya diundur.”
“Tenang saja Pak, dua
minggu atau sebulan lagi, saya tetap hapal kok. Kita pasti juara lagi.” Ucap
Sali yakin.
“Bagus! Bapak yakin
kamu pasti meraih juara lagi.”
Sali dan Bapak Janim
keduanya saling tersenyum, di ujung jalan sana, terlihat Sadun menuju gerbang
sekolah.
“Itu Sadun, Pak!” pekik
Sali, tangannya menuduh-nuduh ke arah gerbang.
“Sadun!” Teriak Bapak
Janim dan wajahnya kini rekah meriah.
Sadun tidak menyahut,
ia segera berlari menuju keduanya. Setelah berhadapan, Sadun menekuk wajahnya,
meminta maaf kepada Bapak Janim karena kemarin telah bolos sekolah. Ia
menjelaskan perihal petualangannya mencari isi ulang tabung gas 3 kilo gram.
Semua warung di desanya tidak ada yang sedia gas yang dicarinya. Gas itu raib,
hilang, atau apalah itu namanya, yang jelas tidak tersedia di warung-warung.
Kadang dalam beberapa minggu menjadi perkara yang mustahil untuk ditemukan.
“Ya sudahlah, tidak
apa-apa tapi karena kamu tidak membawa surat, Bapak akan menulis alfa di
absenmu, ya?”
“Iya Pak, tidak apa-apa
alpa juga.”
“O iya, lomba cerdas-cermatnya
ditunda, tidak jadi besok.”
“Kenapa ditunda Pak?”
“Bapak juga tidak tahu
kenapa. Kamu sudah siap, kan?”
“Sudah Pak, perlu
dites?”
“Perlu dong, siapa tahu
kamu lupa.” Sali tiba-tiba menyambar.
“Benar, sebaiknya kita
mendengarkamu.” Bapak Janim menantang.
Sadun langsung melafalkan
UUD dan pasal-pasalnya, sempurna. “Kalian berdua memang luar biasa.” Bapak Janim
merasa kagum dengan mereka.
***
Sudah dua minggu,
tabung gas warna hijau di dapur Sadun hanya menjadi pajangan, kehilangan
manfaatnya sebagai sumber api. Selama itu pula Sadun bergerilya mencari kayu
bakar.
“Mak, hari ini Sadun
nggak bisa ikut nyari kayu bakar, ada lomba di kabupaten. Doakan Sadun semoga
juara.” Sadun berangkat pagi-pagi sekali, tanpa pernah luput menciumi tangan dan
memohon doa emaknya sebelum pergi.
Setibanya di sekolah,
Bapak Janim langsung memboyong tim cerdas-cermatnya menuju kabupaten, semuanya
berjumlah 5 orang, tiga anak didik, satu orang guru, dan ia sebagai wali kelas
Sadun, Sali, dan Siti.
Perjalanan dari sekolah
menuju kabupaten sangat jauh, memakan waktu 2 jam. Sekolah Sadun berada di
pinggiran, di suatu tempat nun jauh. Di sepanjang perjalan menuju pusat kota,
Sadun tak hentinya menatapi etalase toko-toko dan warung, menatapi
tabung-tabung gas bercat hijau, dan ada beberapa yang menjajakkan tabung
berwarna biru.
Rupanya di kota juga sama saja, gas 3 kilo gram banyak
yang kosong kecuali beberapa biji, sudah tentu dalam hitungan menit akan segera
raib berpindah ke dapur seseorang.
Sadun teringat dapur emaknya, teringat tabung gas di
dapurnya, sudah dua minggu hanya menjadi pajangan yang tak berguna. Tersungkur
di bawah balai bambu, mulai digerumuti jaring laba-laba dan debu.
Lamunan Sadun pecah
berserak ketika suara Bapak Janim terdengar memberitahukan bahwa mereka telah
sampai di tujuan. “Anak-anak, semangat!” ucap Bapak Janim, menggelegar.
Tim cerdas-cermat
asuhan Bapak Janim langsung menyerbu gedung tempat perlombaan. Tanpa menunggu
lama, perlombaan cerdas-cermat tingkat kabupaten pun digelar.
“Alamak! Lawan kita
Sadun, Sali, dan Siti lagi. Pasti kalah lagi kita.” Bisik peserta dari sekolah
lain, kalah sebelum bertanding. Nama Sadun, Sali, dan Siti sudah sangat
terkenal, nama mereka seperti derap ribuan pasukan berkuda yang siap
menghancurkan benteng-benteng musuhnya.
Seperti yang telah
dipersiapkan, juri akhirnya meminta peserta cerdas-cermat untuk membacakan UUD
1945 lengkap dengan pasal-pasalnya.
“Ayo Sadun, tunjukkan
kejeniusanmu.” Gumam Bapak Janim dari deretan kursi penonton, rautnya penuh
harapan, luap oleh keyakinan.
Tanpa rintangan, Sadun
terdengar lantang membacakan UUD 1945 dengan sempurna. Setelah selesai, ia
melanjutkannya dengan membacakan pasal-pasal.
“Pasal 33…” tiba-tiba
Sadun berhenti bicara. Bibirnya menganga, dagunya melorot, mulutnya hanya menguarkan
senyap. Sadun masih menganga ketika Sali dan Siti berbarengan menyikut-nyikut
pinggangnya agar meneruskan hapalannya.
“Sadun, lanjutkan…”
bisik Sali, gemas.
“Sadun, jangan
melamun…” bisik Siti.
Sadun tetap saja
menganga tanpa suara, dagunya semakin melorot di udara. Ia teringat emaknya,
teringat tabung gas hijau di dapurnya. Teringat apa yang tidak dimilikinya
selama dua minggu ke belakang.
Sadun tidak lupa, ia ingat,
hapal benar Pasal 33, hanya saja ia merasakan kekosongan. Kosong sebagaimana
Pasal 33 yang buktinya kerap melompong.
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran siapa?” Bisik Sadun, megap-megap.
Sepasang foto presiden dan wakil presiden, bertengger
di dinding ruangan. Sekilas tampak tersenyum, kadang terlihat menyeringai.
Bandung, 9 Januari 2014
Belum ada tanggapan untuk "Pasal 33 (Inilah Koran, Minggu - 2 Januari 2014)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar