SEMILIAR IKAN MEMAKAN ANJING-ANJING
Absurditas Malka*
Dapur kita, rutin mengirimkan aneka
limbah ke got-got, sungai-sungai, dan samudera. Sebagian kecil resap ke dalam
perut bumi, mengendap. Sebagian lain, terurai dalam jutaan kali putaran jarum
jam. Sebagian lagi, menjadi racun yang tumbuh sebagaimana kanker. Sebagian
besar, menjadi boomerang yang pada waktunya akan berbalik menghajar. Menyerang!
Jauh di kedalaman laut
yang warna birunya semakin terdegradasi menjadi hitam. Kemurungan menjadi batu
karang, tidak mudah dipecahkan, keras, dan berduri-duri tajam. Kemurungan yang
nyaris hadir di setiap pantai dan lautan di negeri ini. Sebut saja Teluk Buyat,
Teluk Kao, Laut Buru, Tanjung Benoa, Laut Timor, dan masih banyak lagi.
“Kita harus membaca
buku lebih banyak. Kita butuh profesor yang lebih jenius dari Einstein! Kehancuran ini semakin tidak terkendali dan kita
semakin merana, harus ada yang menghentikan semua kegilaan ini!” Pekik Kamer,
ikan kakap merah dengan tubuh bercorak hitam tua dan muda. Corak belang yang membuatnya terlihat lebih sangar.
“Ya, kita butuh ikan-ikan jenius, ilmuwan yang bisa mengatasi kehancuran.”
Timpal Bara, ikan barakuda berwajah kejam. Rasa geram membuatnya terlihat semakin kejam.
“Bagaimana kita
menciptakan ikan jenius? Waktu kita habis untuk berlari dan bersembunyi dari
racun-racun limbah, kita tidak memiliki waktu untuk duduk di bangku sekolah.
Gagasan itu kurasa terlalu besar, kawan.” Balu, ikan bawal laut berkulit pucat
terdengar skeptis.
“Membaca!” pekik Kamer,
antusias. “Membaca adalah satu-satunya kunci untuk menjadi jenius. Bukankah
pepatah selalu bilang, ada kemauan ada jalan!” Lanjutnya.
“Membaca?” Bara tak
mengerti gagasan itu, begitupun ikan-ikan yang lain, mereka hanya saling pandang,
bingung. Balu terkekeh sendirian, semakin ragu dengan gagasan membara itu.
“Kenapa hukum tidak
pernah bekerja? Apakah keadilan sudah tersapu gelombang, hilang?” Rapa ikan
kerapu tambun dan tua renta, ikut bicara.
“Hahaha… Keadilan hanya
ada di negeri dongeng, Kek. Lupakan itu, lupakanlah. Hahaha…” Bara terbahak
geli, begitupun kawanan ikan lainnya.
Garis-garis cahaya
matahari memanjang ke dalam laut, begitu payah untuk bisa tenggelam lebih
dalam. Terhalang miliaran ganggang yang tak terkendali, sampah yang selalu
menggandakan diri, dan limbah yang membawa serta tragedi.
“Kita akan pergi ke
daratan, mengunjungi perpustakaan, dan maaf… Kita akan mencuri buku-buku itu!”
Pekik Kamer, membahana.
“Ide gila!” ucap Bara,
tak yakin, “Anjing-anjing di daratan
sana akan memangsa kita.”
“Segalanya tidak mudah,
kematian adalah harga yang pantas untuk semua mimpi.” Kamer menatapi kerumunan
aneka macam ikan.
Hening, tidak ada ikan
yang bicara. Hanya terdengar suara gelembung udara yang pecah, gema ombak dari
atas sana, suara denting kaleng yang beradu dengan kaleng lain, dan deru mesin
dari ponton di permukaan pantai yang sepanjang siang dan malam, menyedot pasir
besi dari perut laut.
“Mimpi yang sangat
mahal,” ucap Balu, matanya menerawang, “Akankah kita meraih mimpi semacam itu?”
keraguannya semakin membelukar.
“Aku setuju!” teriak
Holi, ikan hiu mungil yang kepalanya berbentuk palu, ia sangat antusias
mendukung gagasan Kamer.
“Kawan-kawan, dengan menciptakan ikan jenius, kita
bisa mendapatkan tiga keuntungan. Pertama, memperlambat kehancuran. Kedua,
memugar kehancuran agar kembali penuh pesona. Ketiga, memanfaatkan kemegahan
teknologi untuk merekayasa diri kita menjadi lebih tahan polusi, lebih cerdas,
lebih kuat!” Papar Kamer seperti sedang menguraikan filsafat transhumanisme.
***
Aneka
sampah di permukaan laut, berlayar-layar arungi gelombang, tak punya tujuan.
Gemuruh mesin ponton, berhardik-hardik dengan deru ombak. Selongsong pipa besar
menjulang ke langit, menyemprotkan limbah. Sementara pipa-pipa yang menjulur ke
dasar laut, mengisap apa saja. Mesin tidak bisa memilih, ia menghancurkan apa
saja, tidak sekadar pasir, segala apa yang berada di bawah sana. Dan di kelamnya air pantai, ada banyak pipa-pipa
tersembunyi, datang dari korporasi-korporasi besar yang membuang limbah
industri dalam tingkat kegilaan di luar nalar.
Ribuan ikan, berenang
menuju pesisir. Berkelit menghindari hantaman kaleng minuman yang dilemparkan ombak,
berkelisut dari perangkap plastik yang dikutuk berumur panjang. Mereka harus
kuat-kuat menahan nafas agar tak terlalu banyak mengisap limbah, minyak bumi,
sabun, logam, dan aneka macam limbah lain.
“Aman, keluar
sekarang…” Kamer memberi isyarat kepada teman-temannya untuk keluar dari air.
Ribuan ikan, berkecipak
melompat meninggalkan pantai. Berbaris berjalan di pasir yang tak putih lagi,
tak bersih lagi, sebagian besar terkubur sampah.
“Terus bergerak dan
jangan biarkan seekor anjing pun mengetahui kedatangan kita.” Bisik Bara,
matanya berlarian ke sekeliling mengawasi keadaan.
Ribuan ikan, berjalan
mengendap-endap, memilih tempat-tempat yang aman dari tatapan anjing-anjing
yang masih terjaga. Langit di atas sana menggelayutkan bulan, cahayanya bercucuran
menyepuh segalanya menjadi tampak keperakan.
“Aku tidak bisa
membaca, apa gunanya buku-buku itu bagiku?” gumam Rapa.
“Kakek mungkin tidak
bisa membaca tapi membawakan buku itu akan sangat membantu mimpi kita.
Berbahagialah, karena setiap kita adalah pahlawan, Kek!” Tria, ikan trisi
melipur kesedihan Rapa.
Akhirnya, dengan segala
cara, ribuan ikan berhasil menyelinap ke dalam gedung, tanpa diketahui seekor
anjing pun. Mereka masuk ke ruang baca dan menemukan harta karun yang tiada
terkira, ribuan buku, ribuan cahaya, ribuan jendelat dunia, ribuan ilmu
pengetahuan, ribuan kecerdasan, ribuan kejeniusan!
“Ambil buku apa saja
semampu kalian, sang jenius
harus berpengetahuan luas, harus banyak membaca!” Kamer memberi komando kemudian berlari kencang menuju rak buku terjauh di dalam
perpustakaan.
“Das Kapital!”
pekik Bara.
“Tuhan Tidak Bermain Dadu! Ya Tuhan, inilah Einstein yang jenius itu!” Kamer nyaris melonjak melihat buku
yang kini sudah digenggamnya.
Ribuan ikan sudah
menemukan bukunya masing-masing, tidak hanya satu buku. Setiap ikan setidaknya
membawa tiga buah buku.
Greeetttt… Pintu berderit, langkah kaki yang ritmis terdengar mendekat.
Kamer memberi isyarat agar kawanan
ikannya terdiam, bersembunyi dengan segala cara.
“Hantu yang
menyebalkan! Sekarang mereka tidak hanya menakut-nakutiku dengan suara, mereka
sudah berani menyalakan lampu. Kurang ajar!” Gumam seekor anjing bulldog yang
membawa pentungan. Matanya menatapi lorong-lorong rak buku, tidak ada siapa pun.
Ia mematikan lampu, menutup lagi pintu, ketukan sepatunya terdengar ritmis,
menggema di dalam ruangan, semakin lama, semakin pudar, semakin menjauh.
“Rrrrrrhhh!!!” Anjing
bulldog tadi rupanya mengelabui para ikan, ia memutar lewat belakang. Ia kini sudah berdiri jemawa di belakang ribuan
ikan-ikan, mulutnya
menyeringai, taringnya menyembul berkilatan memantulkan cahaya dan
kemarahan.
“Diam di tempat dan
menyerahlah ikan-ikan bodoh! Kalian tertangkap basah mencuri buku-buku kami!”
teriaknya lagi.
Balu meringis, tidak
kuasa membayangkan jika taring tajam itu merobek tubuhnya.
“Jangan halangi kami anjing bodoh!
Menyingkirlah!” Bara mengancam, ia berjalan mendekati anjing itu nyalinya
tak sedikit pun ciut, ia punya nyali segunung.
“Kalian adalah
makananku, bagaimana mungkin kalian melawanku. Hahaha…” Anjing itu terbahak
jemawa.
“Hantam!” teriak Bara.
Seribu ikan di belakangnya
bersamaan menerjang. Ribuan ikan memburu seekor anjing, bertumpuk-tumpuk, menggunung. Siapa yang dapat membayangkan
nasib macam apa kiranya yang harus diterima sang anjing?
***
“Kita
sudah membaca ribuan buku, sang jenius yang ditunggu tak kunjung tercipta. Apa
yang salah dengan buku-buku ini?” gumam Bara, wajah buasnya kini hilang
diterkam muram.
“Aku tidak tahu,
membacanya saja aku tidak bisa.” Rapa tertunduk murung.
“Jangan bersedih,
meskipun Kakek tidak bisa membaca, kami tahu Kakeklah yang paling banyak
membawa buku kesini. Aku melihat Kakek memikul sebelas buku, luar biasa!” Kamer
menepuk pundak Rapa, menghiburnya.
“Kita harus berperang…” ucap Bara, murka.
“Wow, ide yang revolusioner.” Balu sepertinya tertarik
dengan gagasan itu, selalu tertarik dengan segala bentuk perkelahian, sendirian
atau keroyokan, “Perang jauh lebih mudah dari pada menciptakan ikan jenius.
Perang adalah jalan instan untuk merebut teknologi dan menyelamatkan laut
tempat kita hidup.”
“Perang?” Kamer menelan ludah.
“Anjing-anjing itu sudah melampaui batas!” Teriak Rai,
ikan layur, tubuhnya yang serupa pedang panjang, bergeletar menahan dendam.
“Perang!!!” Semua ikan berteriak lantang, menginginkan
perang. Kamer yang paling disegani semua ikan, masih terdiam, masih menimang.
“Perang!” Teriakan marah dan heroik semakin
bergemuruh, tidak ada pilihan lain, Kamer pun mengangguk, “Baiklah, kita akan
berperang…” ucapnya datar.
***
Gelombang laut tiba-tiba meninggi, menggulung, menyapu
pesisir dan segala apa yang berdiri di atasnya. Gelombang itu tidak datang
akibat gempa, tidak pula lahir dari embus angin yang dahsyat. Gelombang itu
datang dari semiliar ikan yang menyerbu anjing-anjing pembuat kehancuran.
“Tsunami!” Ribuan anjing tunggang-langgang
menyelamatkan diri, berlari menuju tempat-tempat tinggi. Ribuan anjing tak
sempat mencari selamat, mati mengenaskan tergulung gelombang, diterjang aneka sampah,
diserang semiliar ikan yang marah.
“Rasakan pembalasan kami wahai mahluk-mahluk serakah!”
Pekik Balu.
Apalah artinya segala macam kejemawaan penghuni
daratan, apalah juga artinya kemegahan teknologi dalam sekali sapuan tsunami?
Semuanya porak-poranda, hancur menjadi puing, tak bermakna. Daratan yang megah,
kota-kota yang selalu boros cahaya, segalanya, segala-galanya habis tak
bersisa.
Dalam deru gelombang pasang yang masih menerjang,
terus menggulung sampai ke jantung kota-kota. Dalam derak kehancuran yang tak
terhindarkan, di celah jerit jutaan kematian, Kamer tertegun, menatapi bangkai
anjing-anjing. Menatapi taring-taring semiliar ikan yang sudah sangat merah,
berpulas darah.
Perlahan-lahan, Kamer berenang ke belakang,
meninggalkan perang. “Kamer, apa yang kamu lakukan kenapa
melarikan diri dari perang? Sejak
kapan kamu menjadi pecundang!” teriak Balu, geram.
“Kamer, kembalilah, berperanglah bersama kami! Kita harus merebut kemerdekaan!” Teriak
Reko, ikan ekor kuning.
Kamer berhenti, dia tertegun, menatap kawan-kawannya
yang semiliar. Menatap amuk gelombang, reruntuhan, pohon tumbang, bangkai
anjing-anjing yang mati mengenaskan, kehancuran.
“Sampai pada titik ini, apalah bedanya kita dengan
anjing-anjing itu? Hanya para pembuat kehancuran di muka bumi.” Ucap Kamer,
nanar.
“Tidak ada perang tanpa kehancuran, tidak ada
kemerdekaan tanpa pengorbanan! Berpikir moderatlah, Kamer. Tinggalkan romantisme
semacam itu!” umpat Bara.
Kamer tak peduli, ia tak lagi mau mendengar segala
bujukan. Kamer berkelisut, menghindari sambaran kayu tumbang, sesekali melompat
melewati papan yang menerjang, seringkali ia harus berkelit menghindari bangkai
anjing-anjing yang koyak mengenaskan.
Bandung, 27 Oktober 2013
*) Absurditas Malka lahir di Karawang
pada 29 Mei 1982, bekerja di Panglima Ikan Bakar Madu, Bandung.
Belum ada tanggapan untuk "Semiliar Ikan Memakan Anjing-Anjing (Kompas, Minggu 19 Januari 2014)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar