Satu
Detik Setelah Berhenti Jadi Presiden, Ia (Seharusnya) Dibui
Absurditas
Malka*
Satu detik setelah dicopot dari kursi horor
kekuasaan, ia digelandang. Diseret menuju ruangan temaram, dijebloskan kedalam
bui. Ia diadili di dalam batinnya sendiri.
**
Satu detik yang baru saja liwat, aku masih orang nomor satu di
republik. Masih pemilik kursi horor kekuasaan, kursi yang selalu berdarah-darah
diperebutkan. Satu detik yang lalu aku baru tahu, rupanya waktu berkuasa tanpa
batas, melampaui kekuasanku. Aku tidak kuasa menahan sedetik pun agar waktu tak
bergulir, meskipun hanya menahannya satu detik lebih lama aku tak kuasa.
Waktu bukan nyawa, waktu bukan uang, waktu bukan konspirasi, tak bisa
disihir agar manut mengikuti
kehendakku, agar ndawuh takluk pada
kekuasaanku. Daya-upayaku sia-sia belaka untuk membuat waktu tunduk.
Aku bisa menghapus sejarah, sangat mudah. Menghapuskan upaya-upaya untuk
mengusut hilangnya sejarah, mudah juga. Aku bisa menyihir anggaran pribadi agar
terlihat sebagai anggaran negara, enteng saja. Pokoknya, apa pun yang bukan
waktu, aku bisa mudah saja menguasainya. Hanya waktu, hanya waktu saja di
republik ini yang tidak bisa dikuasai, tiada akan pernah bisa.
***
Satu detik setelah aku berhenti jadi
presiden, beberapa orang membawaku ke sebuah ruangan. Mereka sebenarnya
menggelandangku, hanya di depan kamera saja orang-orang itu bersikap sopan
ketika membawaku, setelah berada di ruangan lain yang terbebas dari mata lensa,
aku digelandang, diseret, ditendang-tendang juga.
Dinding-dinding ruangan itu sangat suram, teramat temaram, aku tidak
ingin menyebutnya bui tapi tidak ada kata yang lebih pantas untuk menyebut
tempatku kini meringkuk, memang bui. Kemarin hari ketika aku masih berkuasa,
akulah yang membui lawan-lawan politikku, kambing-kambing hitamku, siapa saja
yang berbahaya bagi kekuasaanku. Kini, satu detik setelah aku berhenti jadi
presiden, aku yang menghuni bui.
Bukti-bukti, saksi-saksi, laporan-laporan, hasil investigasi, sebenarnya
itu sudah cukup untuk membuatku menjadi penghuni bui sejak lama, ketika aku
masih jadi presiden. Hanya saja, aku selalu berhasil meraibkan semua itu,
membuatnya sebagaimana air mendidih, perlahan menguap. Hilang tanpa jejak.
Setelah berhenti jadi presiden pun, sebenarnya mereka tak berhak untuk
mengirimku ke dalam bui. Apa buktinya aku pantas dibui? Tak ada, semuanya telah
kulenyapkan, telah kurebus sampai hilang. Aku yakin, tak lama saja aku menghuni
bui, besok lusa, aku akan dibebaskan, harus dibebaskan. Aku ini mantan
presiden, tidak mungkin hidupku berakhir di dalam bui.
***
“Apakah aku berdosa?”
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang
kini menggedor-gedor batinku. Aku mungkin diputuskan bersalah oleh hukum
negara. Tapi aku masih ragu kalau perbuatan-perbuatanku juga sebuah dosa di
mata Tuhan. Aku selalu percaya Tuhan pengasih dan penyayang, jika pun benar aku
berdosa, tentu Tuhan akan mengampuniku.
Ketika masih jadi presiden, aku
sudah menghabiskan kepemimpinanku untuk memakmurkan rakyat, membangun negara,
menyejahterakan bangsa, segalanya telah kulakukan sesuai konstitusi. Setidaknya
dibuat seolah-olah sesuai dengan konstitusi. Siang malam aku turun ke media
sosial, membangun republik ini. Siang malam pula aku berbagi cuitan dan status
untuk mensejahterakan negara ini. Aku telah melakukan segalanya untuk negara,
pantaskah aku dijebloskan ke dalam bui.
“Apakah aku berdosa?”
Pertanyaan itu seperti detik jarum jam saja, berdetak kian ritmis di
dalam dadaku. Setiap saat, bahkan lebih sering dari detik waktu itu sendiri. Aku
hanya bersalah, aku belum tentu berdosa, kukira begitu. Aku hanya mengalirkan
dana kepunyaan negara untuk sedikit saja dicicipi keluarga dan orang-orang
terdekatku. Aku hanya menyematkan anggaran pribadi di dalam anggaran negara dan
berhasil mengelabui mata semua orang, seakan mereka melihatku berjuang untuk
negara. Aku tidak bersalah bukan? Mereka saja yang tertipu.
Aku tidak berdosa, meksipun sebagian besar infrstruktur jalan di republik
ini hancur berat dan mengenaskan, meskipun penjahat HAM 1998 dan pembunuh Munir
selalu kuabaikan, meskipun banyak proyek partai dan keluargaku yang merongrong
anggaran negara, meskipun hutan dibirkan dibakar sampai asapnya menyepuh
republik dengan udara pengap, meskipun begini dan begitu.
“Apakah aku berdosa?”
Pertanyaan itu tidak hanya berdetak lebih cepat dari jarum jam, namun
juga kini terasa lebih berdebum-debum. Membuat jantungku bergetar dan
rusuk-rusukku berderak-derak. Bahkan pertanyaan itu seperti menggema di dalam
bui.
Aku hanya bersalah, belum tentu berdosa, uang negara yang kularikan itu
dinikmati bersama-sama, dimakan bersama-sama. Aku ini tidak layak disebut
koruptor. Aku ini Robin Hood, pahlawan baik hati yang membagi-bagikan hasil
curiannya. Aku pun membagikan hasil curianku, untuk rakyat di republik.
Ah, jangan tanya-tanya lagi siapa rakyatku, tentu orang-orang itu,
mereka yang satu bendera denganku. Tentu pula, mereka tidak miskin, tidak pula
papa, mereka berkecukupan dan tidak akan mati kelaparan meskipun tak menerima
aliran dana dari negara untuk kepentingan pribadinya.
***
“Apakah aku berdosa?”
Kini pertanyaan itu terasa seperti hantaman palu, menggebuk-gebuk rongga
dadaku dengan suara bergedebuk dan menyebabkan rasa sesak. Sudah kubilang, satu
detik yang lalu, aku ini masih orang nomor satu di republik, masih presiden.
Sekarang, aku sudah berada di ruangan suram, duduk di kursi kayu murahan, lampu
dengan corong besar melelehkan lingkaran cahaya di atas meja.
Setelah beberapa menit sendirian di dalam bui, aku mendengar seseorang
duduk di depanku. Aku tidak bisa melihat rupanya, wajahnya tidak terkena cahaya,
diselimuti keremangan. Sepertinya ia pun tidak bisa melihat wajahku, karena aku
pun tidak tersorot cahaya. Lampu itu hanya melelehkan cahaya di atas meja,
menerangi tanganku saja yang menelungkup di atasnya.
“Apakah kamu berdosa?”
Lelaki di depanku mengucapkan
pertanyaan yang sama seperti pertanyaan-pertanyaan yang berdebum-debum di
dadaku. Apakah ia mendengar-dengarkan suara-suara batinku? Mustahil.
“Apakah kamu berdosa, sampai-sampai
kamu berada di ruangan ini, ruangan orang-orang berdosa yang harus diadili?”
lelaki di depanku kini terdengar marah. Aku masih belum bisa melihat rupanya,
kalau saja aku bisa melihatnya, aku tentu bisa diam-diam membisikkan siapa dia
kepada anak buahku di luar sel sana, kemudian diam-diam membungkamnya dengan
segala cara. Meskipun aku ini sudah bukan presiden, aku masih tahu, masih
hapal, bagaimana membungkam dan melenyapkan sekadar sebuah kehidupan. Kesal
aku!
“Tentu kamu berdosa. Ruangan ini
tidak pernah salah, hanya akan dimasuki orang-orang berdosa. Kiranya dosa apa
yang telah kamu perbuat?”
Kali ini nada suaranya tidak lagi
mendengking seperti anjing, mungkin ia sudah tidak marah lagi. Lagian, apa
haknya untuk marah kepadaku? Seorang tahanan, terlebih tahanan yang mantan presiden
sepertiku, seharusnya diperlakukan dengan penuh santun.
Aku merasa kesal, bagaimana bisa lelaki itu begitu ndableg menuduhku berdosa. Punya bukti apa dia? Hanya Tuhan saja
yang bisa menghukumi seseorang berdosa atau tidak berdosa, bukan manusia. Aku
sangat yakin, selama menjadi presiden, dosa-dosaku bila itu ada, telah
kulenyapkan dengan segala cara, telah kukorbankan banyak kambing hitam agar aku
tampak tak berdosa. Telah kutayangkan berbagai iklan agar dosa-dosaku terlupakan
dari ingatan massal, terhapuskan dari sejarah.
“O, aku tahu. Kamu ini seorang
presiden, selama berkuasa berbuat banyak dosa. Aku memiliki catatan panjang
dosa-dosamu bila diperlukan.”
Sakit sekali hatiku dikata-katai
begitu, bagaimana mungkin aku hanya menghabis-habiskan jatah kekuasaanku untuk
berbuat dosa? Aku ini sudah bekerja keras siang dan malam di banyak media
sosial untuk memperjuangkan nasib rakyatku agar lebih sejahtera, aku sudah
berbuat adil, aku sudah membangun banyak kemajuan. Setidaknya keluargaku
sendiri menjadi jauh lebih maju.
“Kamu tahu apa dosa-dosamu? Kalau
kamu tidak tahu, aku punya banyak waktu untuk membacakannya satu persatu.”
Lelaki itu tiba-tiba melemparkan
sebuah buku di atas meja, di tengah lingkaran cahaya yang meleleh dari lampu di
atasnya. Bukunya cuma tipis saja, isinya mungkin hanya selembar atau dua
lembar. Ha ha ha… sedikit sekali dosaku. Eh, tapi benarkah aku berdosa?
“Buku ini isinya catatan
dosa-dosamu. Mari kita baca satu persatu. Dengarkanlah.”
Namaku tertulis di sampul buku itu,
aku lupa apakah ditulis dengan gelarnya secara lengkap atau hanya nama saja.
Kupikir hanya satu dua halaman saja isi buku itu. Ketika ia membukanya,
halaman-halaman di dalamnya tak pernah habis. Aku bisa menghabiskan semua
hidupku hanya untuk membaca buku itu.
“Itulah dosa-dosamu, baru sedikit
yang kubacakan. Kurasa kamu sudah jelas berdosa, kini saatnya kamu menerima
hukuman. Hukuman macam apa yang kamu inginkan?”
Aku naik pitam, ingin rasanya aku
menonjok muka lelaki itu, tepat di batang hidungnya. Tapi kakiku diikat ke kaki
kursi, tubuhku juga, hanya tangan saja yang bebas menelungkup di atas meja. Aku
hanya bisa menggebrak meja.
Dia pikir, siapa dirinya, seenaknya menjatuhkan hukuman kepadaku,
seenaknya menyebutku berdosa. Aku ini mantan presiden, aku ini harus diadili
dengan jalan terhormat bukan seperti ini, tak adil. Lagian, semua dosaku yang
telah dibacakannya dari buku itu, sepertinya asal-asalan. Tidak berdasar, tanpa
bukti, ngaco, karena aku telah membakar buku catatan dosaku sebelum berhenti
jadi presiden.
“Baiklah, aku tahu, tidak mudah
memilih hukuman terberat untuk dosa-dosamu. Pikirkanlah apa hukuman yang pantas
untukmu atau kami yang akan memvonismu.”
Kemudian aku tidak mendengar
siapa-siapa lagi di dalam ruangan. Satu-satunya suara yang masih terdengar
hanyalah suara di dalam batinku sendiri. Buku catatan dosa tertangkup di atas
meja, aku ingin membacanya, tanganku tak sampai.
***
Aku masih belum bisa, tidak akan
pernah bisa, menemukan hukuman apa yang cocok untukku, jangankan memvonis diri
sendiri, merasa berdosa saja aku ragu. Aku sendiri tidak pernah yakin kalau
diriku benar-benar berdosa.
“Apakah aku berdosa?”
Pertanyaan itu kembali kudengar,
semakin sering, semakin menggelegar. Tak kutemukan jawaban, sunyi, dadaku
sunyi. Sepi, akalku sepi. Kalau pun harus memilih hukumanku sendiri, aku
memilih untuk mengorbankan kambing hitam, lagi.
Karawang, 20 Maret 2014
*) Absurditas Malka, aktif menulis cerpen dan
carpon di beberapa media massa, bekerja di PKL Panglima Ikan Bakar – Bandung
Belum ada tanggapan untuk "Satu Detik Setelah Berhenti Jadi Presiden, Ia (Seharusnya) Dibui (Tribun Jabar - 22 Juni 2014)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar