33 Tapak Sakti Paling Beracun di Undonesia
Absurditas
Malka*
Selalu ada
banyak golongan di dunia persilatan.
Batas di antara
semua golongan seringkali berupa parit-parit darah yang tiada habis-habisnya. Selain darah, apa lagi kiranya yang
membedakan golongan para pendekar di dunia persilatan?
Dunia persilatan, dunia yang di
dalamnya darah tak pernah kering. Selamanya, selama-lamanya parit darah
selalu
bisa dideraskan, selalu mengalirkan merah, sampai dunia ini sempurna terpulas darah. Tragedi dan komedi tiada
terbedakan, nalar dan mitologi berbaur dalam keseharian. Bergerak atau diam kadang tiada
terpisahkan, keduanya sama-sama berujung pada kematian. Sampai-sampai, kematian adalah perkara
paling indah untuk menggenapi kesempurnaan.
Ketika segala-galanya serba
disempurnakan
oleh hitamnya kematian, siapakah kiranya yang tidak pernah terkalahkan? Selalu
ada langit di atas langit, begitu hukum dunia persilatan. Langit tertinggi yang
tak pernah terkalahkan
adalah kematian itu sendiri.
***
Kematian kali
ini tidak hanya melanda dunia persilatan, wabah kematian telah mengacaukan
keseluruhan dunia. Tiada lain tiada bukan, semua itu dikarenakan ulah Pangeran
Danu Jancuk Agila dan Delapan Naga Sastra. Mereka telah mengacaukan dunia dengan menulis
ilmu hitam dalam Kitab 33 Tapak Sakti Paling Beracun.
Kitab ilmu hitam itu dibungkus kulit rusa emas, ada pun
ajaran-ajaran ilmu hitamnya ditulis di lembaran daun lontar. Siapa saja yang
menyentuh kitab itu akan mati mengenaskan, bermandi darah. Jangankan menyentuhnya, menyesap
baunya saja bisa mati dengan paru-paru terbakar oleh darah yang mendidih. Belum
lagi huruf-hurufnya, berisi sajak beracun dan mantra pembunuh, ketika
seseorang membacanya sama saja ia sedang memanggil kematian untuk datang merenggut
hidupnya. Kitab yang
sudah membuat banyak jiwa melayang, mengantarkan banyak orang pada kematian. Adakah kitab yang lebih hitam
dari kitab semacam itu?
***
Pangeran Danu
Jancuk Agila dan Delapan
Naga Sastra seharusnya tidak pernah menulis Kitab 33 Tapak Sakti Paling Beracun,
kitab yang menghancurkan segalanya. Wabah kematian yang disebarkan kitab ilmu
hitam itu semakin menggila, semakin menggunungkan bangkai-bangkai, dan semakin
memerahkan parit-parit. Berabad-abad kelak, tiada ada lagi yang bisa
dikenang tentang dunia persilatan, indahnya pertarungan pendekar silat
yang melayang, terbang, jempalitan, dan bergerak bagaikan lebih cepat dari
sambar halilintar. Kelak, hanya kematian dan darah yang akan dikenang, hanya
ingatan-ingatan hitam yang mungkin diceritakan.
“Kitab 33 Tapak Sakti Paling Beracun harus dimusnahkan!”
Baru kali ini Pendekar Seribu Nama
terlihat geram. Selama masa hidupnya yang dihabiskan untuk membaca aneka kitab,
ia tak pernah geram, bahkan dengan kitab ilmu hitam yang memang banyak beredar
di dunia persilatan.
“Telah banyak pendekar yang binasa
sia-sia karena mencoba memusnahkannya. Sebut saja Si Buta dari Goa Hantu, Panji
Tengkorak, Wiro Sableng, semuanya mati mengenaskan. Masih banyak lagi pendekar
hebat lainnya, ilmu silat macam apa lagi kiranya yang bisa mengatasi kematian?”
Ucap Arya Kamandanu, kemudian termenung-menung, masih tak percaya dengan wabah
kematian yang sedang melanda dunia.
“Dikau, Pendekar Tanpa Nama, dengan ilmu
silat Raja Pembantai dari Selatan, akankah sanggup mengatasi wabah kematian?”
Ucap Pendekar Seribu Nama, sorot matanya merambatkan harap.
“Tak ada yang
akan menandingi wabah kematian. Ilmu hitam Raja Pembantai dari Selatan sekali
pun, tiada berarti pula kiranya.” Pendekar Tanpa Nama meskipun terdengar
tenang, getar suaranya tetap saja menyiratkan kegelisahan.
“Aheuheuheu… Celakalah dunia persilatan.”
Gumam Si Rawing, tawanya yang selalu riang, kini terdengar tak keruan.
“Rawing, ini
bukan sekadar tentang dunia persilatan. Wabah kematian itu telah memusnahkan
pula orang-orang tak berdosa. Celakanya, kitab itu tidak akan membunuh hanya
sampai hari ini atau besok hari,
melainkan akan terus membunuh sampai berabad-abad nanti.” Getar suara Pendekar
Seribu Nama terdengar penuh keharuan.
“Cilaka dua belas.” Si Rawing kini
terdiam, dahinya berkerut penuh beban.
“Lakukanlah
sesuatu, kita tidak bisa selamanya diam.” Ucap Jaka Wulung, ucap yang
senyatanya menambah-nambah kebingungan. Adakah yang bisa dilakukan ketika
berhadapan dengan kematian?
***
Parit-parit darah yang dulu hanya
mengalir sebagai pembatas golongan pendekar, kini sudah memerahkan pula
sungai-sungai rakyat tak berdosa di kampung-kampung dan pedalaman. Sungai tempat mereka
menimba air untuk kebutuhan sehari-hari, kini telah tercemar darah. Tidak hanya sungai
saja, telaga dan beberapa muara di tepi samudera telah memerah pula, dimerahkan
oleh darah.
Dalam waktu yang sangat singkat,
lebih cepat dari kelebat
kilat, Kitab 33
Tapak Sakti Paling Beracun telah menggunungkan kematian. Tidak hanya si pembaca kitab yang mati
mengenaskan, siapa pun bisa
terbunuh kapan saja, di mana saja. Kitab kutukan itu menyebarkan wabah kematian
melalui udara dan air, lebih kejam dari wabah kematian yang disebabkan penyakit menular.
Dalam sehari, tiada terhitung lagi
seberapa banyak tubuh yang bersimbah darah. Orang-orang yang mati dengan tubuh
merah, terlihat berbukit-bukit di banyak desa. Dari bukit-bukit orang mati itu,
darah merah tak hentinya menderas, tergenang di permukaan tanah. Tiada
terhitung lagi seberapa merah parit yang kian deras mengalirkan darah. Bayangkanlah.
***
Ribuan pendekar atas nama golongan
mereka masing-masing telah berkumpul di Cipasung, di sarang Delapan Naga Sastra. Mereka akan
mengadakan perhitungan untuk setiap tetes darah yang telah menyepuh dunia menjadi merah.
“Ribuan pendekar telah mengepung
Cipasung, tamatlah riwayat kita, Kanda.” Ucap Naga Sastra Merah gentar.
“Tenanglah Dinda, mereka tiada ada
artinya menghadapi Delapan Naga Sastra. Seribu atau sejuta pendekar mengepung
Cipasung, tiada akan kita terkalahkan.” Timpal Naga Sastra Hitam, jemawa.
“Tapi Kanda, lihatlah. Kita sedang
menghadapi ribuan pendekar maha sakti, lihat itu Pendekar Seribu Nama, Pendekar
Tanpa Nama, Si Rawing, Jaka Wulung, Arya Kamandanu, Nenek Pelet juga ada. Celakalah kita.” Naga Sastra
Merah satu-satunya naga perempuan terlihat gentar.
“Ingat Dinda, Pangeran Danu Jancuk Agila telah
membayar kita dengan separuh keping emas yang ada di dunia. Apa pun yang akan
terjadi, kita harus membela apa yang telah kita tulis. Jangan pernah berkhianat
pada siapa saja yang telah menyenangkan perutmu. Dalam dunia persilatan ilmu kanuragan
tiada berarti apa-apa, keping emaslah yang mengendalikan segalanya.” Naga Sastra Kuning angkat
bicara, tak kalah jemawa.
“Dalam dunia persilatan ini Dinda, para
pendekar yang bersatu dengan golongan bangsawan dan kekuasaan tidak akan mudah
dihancurkan.”
Pungkas Naga Sastra Hitam, kemudian ia berkelebat menuju kerumunan ribuan pendekar, disusul ketujuh naga
sastra yang lain.
“Delapan Naga Sastra, kiranya kalian
telah mengetahui maksud kedatangan kami.” Ucap Pendekar Seribu Nama, tenang.
“Apa yang dirahasiakan dunia ini kami
mengetahuinya, sebagaimana kami mengetahui hari ini Cipasung akan dimerahkan oleh
darah kalian. Ha ha ha…” Naga Sastra Hitam terbahak semakin jemawa.
“Sungai darah telah semakin merah, gunung
kematian semakin menjulang. Kami tidak datang untuk membunuh, kami datang untuk memusnahkan
kitab ilmu hitam yang telah kalian tulis.” Timpal Arya Kamandanu.
“O, memusnahkan maha karya Delapan
Naga Sastra, ha ha
ha... Bila kalian pikir kaliang sanggup melakukannya, lakukanlah.” Naga Sastra
Cokelat terbahak-bahak sombong.
“Kalian tak
pantas menyandang gelar naga, kalian ini iblis-iblis pembantai penjilat
kekuasaan!” Jaka Wulung maju selangkah ke depan, “Pendekar macam apa kiranya
yang layak menyandang gelar naga kalau ilmu silat mereka digadaikan pada keping
emas belaka. Kalian tak ubahnya pencoleng malang.”
“Ha ha ha…
Waktu khotbah kalian telah selesai. Sekarang temuilah kematian.” Naga Sastra
Hitam kemudian mengeluarkan Kitab 33 Tapak Sakti Paling Beracun dari balik
jubahnya.
Swuuuuuuuuur… Aura kematian menyeruak dari
kitab terkutuk itu, bersekutu dengan udara, merambat di kekosongan, menjalar di
setiap sel yang menyesapnya. Satu demi satu, para pendekar berjatuhan, mati
mengenaskan, darah merah menjebol setiap lubang pori mereka. Serangan dalam
dunia persilatan tidak selamanya berupa gerakan. Serangan kadang terjadi dalam
diam, sekadar melalui udara atau riak air atau bahkan suara seruling.
“Udara
beracun.” Pendekar Tanpa Nama meskipun telah menghirup udara beracun, ia tak
lantas roboh bermandi darah. Ilmu hitam warisan Raja Pembantai dari Selatan
telah melumpuhkan racun-racun yang menyerangnya. Meskipun demikian, Pendekar
Tanpa Nama mengatur napasnya sendiri seolah tiada bernapas. Terlalu banyak
bernapas berarti memberi banyak ruang kepada kematian.
“Delapan Naga
Sastra, lihatlah para pendekar yang binasa itu. Apakah kalian bergembira
melihat parit-parit darah semakin merah?” Teriak Jaka Wulung, darah merah
sebesar bulir kacang ijo terlihat bersembulan di pori-pori tubuhnya.
“Kalian tidak
mungkin bisa memusnahkan kitab sakti ini. Tidak seorang pun!” Teriak Naga
Sastra Hijau, matanya mengobarkan api.
Pendekar-pendekar
yang tumbang bermandi darah sudah tak terhitung lagi, hanya tinggal beberapa
saja yang masih hidup, masih sekarat. Termasuk Pendekar Tanpa Nama, Pendekar
Seribu Nama, dan Jaka Wulung.
“Bagaimana
kalian bisa memusnahkan kitab ini, lihatlah diri kalian sendiri. Begitu
malang.” Umpat Naga Sastra Biru.
“Delapan
Naga Sastra, jika kami mau, kami tentu telah melakukan apa saja untuk
memusnahkan kitab itu. Kami tidak pernah sudi menambah merah parit-parit darah.
Kami datang ke Cipasung bukan untuk membunuh, kami ingin kalian memusnahkan
kitab itu sebagaimana kalian telah menuliskannya.” Ucap Pendekar Seribu Nama,
suaranya kini terdengar sesak, beradu dengan rasa nyeri yang menjalar-jalar di
sekujur tubuhnya.
“Pangeran
Danu Jancuk Agila hanya meminta kami untuk menulis kitab itu. Apa pun yang akan
terjadi, maha karya kami akan terus terjaga, tiada akan pernah musnah.” Pungkas
Naga Sastra Hitam.
Cipasung
dipulas merah, seribu pendekar telah disempurnakan kematian. Delapan Naga Sastra berkelebat di atas telaga darah, melesat lompati bangkai-bangkai. Keping-keping emas tak hentinya bergemerincing dari balik baju mereka. Berdenting-denting, nyaring, bising.
***
Betapa
parit-parit darah telah semakin deras, memulas dunia dengan merah. Kitab 33
Tapak Sakti Paling Beracun menyebar ke segala arah, menyambit pembacanya
dengan cara paling kejam. Sampai berabad-abad yang akan datang, kematian tiada
akan terhindarkan.
Karawang,
3 Mei 2014
*) Absurditas Malka, bekerja
di Panglima Ikan bakar – Bandung.
Belum ada tanggapan untuk "Cerpen Absurditas Malka "33 Tapak Sakti Paling Beracun di Undonesia" "
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar