PEMBURU CAHAYA
Absurditas
Malka*
Ratusan kilo meter,
di bawah kota Sidoarjo.
Lorong-lorong
panjang terbentang di bawah tanah, saling terhubung satu sama lain. Konstruksi bangunan
lorong itu seperti rumah rayap, sangat rumit. Dinding-dindingnya
licin dan lembap, jamur dan lumut tumbuh di sana, menebal seperti selimut bulu
domba. Seharusnya semakin dalam semakin panas, tidak demikian halnya dengan kota bawah tanah. Setiap sekian meter dari lorong itu, terdapat ceruk berbentuk bola
itulah rumah orang-orang bawah tanah, mereka tinggal di ceruk itu. Di dalam
sana, tak pernah ada
cahaya, tak pernah ada udara, hanya sedikit saja, teramat sangat sedikit.
Mereka yang tinggal di kota
bawah tanah, pada mulanya adalah manusia biasa. Begitupun hari ini, mereka
masih bertubuh manusia, hanya saja jiwa mereka sudah berevolusi menyesuaikan
diri dengan kondisi bawah tanah yang tanpa cahaya dan nyaris tanpa udara. Mereka
berkulit pucat, tak punya
rambut, berwajah tirus, tulang-tulang
badannya bersembulan mengerikan, matanya berkilatan, memendarkan
sedikit cahaya.
Apalah artinya sedikit cahaya di dalam kegelapan yang maha gelap?
Bagaimana mereka bisa berada di bawah
tanah? Jauh di waktu
yang sangat silam, seorang raja datang ke kota mereka ketika masih berada di
permukaan bumi. Sang raja menanam pohon beringin di pusat kota, sebagai tanda
atas kekuasaannya. Kian hari, pohon beringin itu kian besar, meraksasa.
Ranting-rantingnya mengembang kokoh, daun-daunnya yang lebat memayung jemawa, nyaris menutupi sebagian
besar kota. Akar-akarnya selain menjalar mengepung kota, juga menikam jantung
bumi sampai ke pusat magma. Betapa pohon beringin yang sangat raksasa.
Akar-akarnya terlalu jauh
menancap ke dasar bumi, sampai pada suatu ketika menyebabkan bencana. Dari celah
akar-akar pohon beringin raksasa itu menggelegak lumpur, seperti mata air. Lumpur
itu memancar, menyembur, menyeruak ke udara, bak dimuntahkan sekuat tenaga dari
dalam perut bumi. Penduduk kota sudah berupaya untuk menyumpalnya, dengan
kayu, dengan batu, dengan gunung, dengan apa saja, sia-sia belaka. Semburan lumpur tak bisa dikendalikan.
Lumpur terus menggila, merendam kota, menguburnya.
Setelah bencana
itu, sejauh mata memandang, hanya ada lumpur. Siapa saja
yang mencari tepi dari samudera lumpur, akan mati mengenaskan dalam perjalanan.
Itu sebabnya, mereka memilih untuk membuat lubang ke bawah tanah. Membangun kota di
bawah sana.
***
“Kelak,
akan ada salah satu di antara kita menemukan jalan untuk menatapi cahaya.” Ucap
Kakek Tarjo, matanya menarawang menatapi langit-langit ceruk,
menerabas kegelapan.
“Benarkah
cahaya itu ada, kek?” Manis, menatap sang kakek penuh lembut, cahaya matanya
berkilauan pudar dalam kegelapan “Aku tidak pernah melihatnya, semua
orang di kota ini tidak pernah lagi melihat cahaya
kecuali yang memendar di mata kita.”
“Suatu
saat, suatu saat, Manis.” Kakek Tarjo bergumam, kemudian terdiam hening, dinikmatinya kegelapan kota
bawah tanah.
Dalam
kegelapan, Manis bisa merasakan betapa kakeknya sangat merindukan cahaya. Betapa
dunia di atas sana yang tidak pernah dilihatnya, seolah dunia yang sangat
indah. Manis hanya bisa menerka-nerka, ia tak pernah tahu, hanya mendengarnya
melalu cerita kakeknya.
***
“Jangan
pernah membuat lubang ke atas sana! Lumpur terkutuk itu bisa mengubur kita
hidup-hidup di dalam sini!” teriak Mardi.
“Hanya
lubang kecil.” Roji berhenti membuat lubang di atas ceruk rumahnya sendiri.
“Lubang
sebesar jarum pun tidak akan kuizinkan!” Mardi menegaskan “Aku
bisa membunuh siapa saja yang
berani membuat lubang ke atas sana!” lanjutnya, mengancam.
Roji
tertunduk, ditinggalkannya lubang selebar bahu, lubang yang baru digalinya
sepanjang sikut. Ia tak
pernah tahu, menggali lubang ke atas sana, bisa menghabiskan seluruh usianya,
termasuk mengubur kota bawah tanah dengan lumpur yang menyamudera di atas sana.
Lorong
panjang, lorong kelam, disusuri Roji sendirian. Tangannya menggenggam batu
sepanjang sikut, batu yang ujung-ujungnya tajam
seperti linggis, batu yang akan digunakannya untuk membuat lubang. Di suatu tempat yang tidak diketahui siapa pun, ia akan
kembali menggali lubang menuju permukaan bumi di atas sana. Kematian atau apa
pun yang akan menjeratnya kelak, adalah bayaran yang pantas untuk mimpinya.
“Kota
bawah tanah ini pasti memiliki lubang ke atas, lubang udara!” gagasan itu kerap
hadir di benaknya, akan tetapi tidak satu pun yang tahu atau pernah melihat
lubang udara di kota bawah tanah.
“Pasti
ada lubang udara!” gumamnya yakin, sangat yakin. Roji tidak pernah
berhenti mencari, disusurinya lorong-lorong kota bawah tanah. Di sepanjang
lorong, hanya kegelapan dan jamur-jamur saja yang ditemuinya. Orang-orang kota
bawah tanah, bertahan hidup dengan makan jamur-jamuran yang mau tumbuh di sana.
“Roji.” Seseorang berbisik
dari kegelapan.
Roji memutar badan,
menajamkan sorot matanya. Sosok yang diam dalam gelap melambaikan
tangan, memintanya untuk mendekat.
“Siapakah gerangan Bapak
ini, saya belum pernah melihat sebelumnya?” Roji menelisik seraut wajah asing
di depannya. Dalam gelap, mata orang-orang bawah tanah bisa melihat cukup jelas
apa saja, waktu telah mengubah ketajaman mata mereka agar tetap mampu melihat
di ruangan yang sangat kekurangan cahaya.
“Roji, kamu tidak akan
menemukan lubang udara. Berhentilah mencarinya.” Ucap lelaki itu.
“Sepertinya Bapak sangat
mengetahui siapa aku ini?”
“Semua orang tahu dirimu,
Roji. Pemuda yang bermimpi untuk mencari jalan ke atas sana, pemuda yang
bermimpi untuk melihat cahaya!”
“Begitulah, semua itu benar.
Sebaiknya aku lekas meninggalkan Bapak, saya harus melakukan sesuatu.” Ucap
Roji.
“Tenanglah anak muda. Kamu
akan menjadi teman kerjaku yang bisa diandalkan.” Ucap lelaki itu, “Kita tidak
akan menemukan lubang udara di kota yang rumit ini. Sampai mati sekalipun kita
tidak akan pernah menemukannya, Roji.” Lanjutnya, meyakinkan Roji untuk
memikirkan tawarannya.
“Ketika Bapak tidak bisa
menemukan sesuatu, maka ciptakanlah, kurasa hanya itu yang bisa dilakukan.”
Roji tetap menampik.
“Tepat, itulah maksudku.
Sekarang, ikutlah bersamaku mungkin pendirianmu bisa berubah.” Lelaki itu
berjalan cepat, menyusuri lorong gelap. Roji bersama segala macam ragu,
menguntit di belakangnya.
***
“Benarkah
di atas sana ada cahaya?” Roji terkesima, ditatapnya lubang di atas
langit-langit ceruk yang ditinggali lelaki itu. Lubang itu cukup besar, bisa dilewati siapa saja
dengan meniti tangga berupa lubang di dinding goa. “Batumu itu Bapak, sedemikian aus. Sudah
berapa lama Bapak membuat lubang ini?” Roji tahu dari
batu yang menyusut dan licin itu, betapa lelaki di depannya telah menghabiskan sebagian besar usianya
untuk membuat lubang.
“Sudah
sangat lama, aku masih sangat muda ketika itu, jauh lebih muda dari usiamu
sekarang. Sampai hari ini, sampai setua ini, aku masih belum melihat cahaya.”
Lelaki itu menatapi lubang di atasnya, sorot matanya berkilatan
penuh terka.
“Bapak,
kita akan menyelesaikannya,
kita berdua akan menemukan cahaya!” Roji semakin terbakar mimpinya
sendiri.
***
“Kita
sudah sangat lama menggali, aku tidak pernah tahu siapa nama Bapak.” Roji
bersandar lelah di dinding ceruk, matanya menatap nanar lubang yang menganga di
atasnya.
“Sadun.”
Ucap lelaki itu singkat, suaranya kini terdengar sangat renta.
Dalam gelap, Roji bisa
melihat lelaki itu telah menjadi tua, kulitnya dihiasi banyak garis-garis
keriput, kepalanya yang tanpa rambut semakin berkerut-kerut, sorot matanya semakin temaram. Roji
pun bisa merasakan, waktu telah mengubah dirinya menjadi seusia Sadun ketika
mereka pertama kali bertemu, bahkan lebih tua.
“Suatu
saat, kamu akan melihat cahaya di atas sana.” Sadun tertunduk, mimpinya tentang
cahaya masih membara, tapi usianya telah amat sangat temaram.
“Jangan
katakan itu Bapak, kita berdua akan melihatnya.” Perasaan haru berdesir di
sekujur tubuh Roji.
“Aku
sudah temaram. Kamulah yang akan menyelesaikan mimpi ini.” Ucap Sadun, berat.
“Selain
melihat cahaya, aku akan merobohkan pohon beringin terkutuk itu!” Roji mendendam.
“Kamu
tidak bisa merobohkannya hanya dengan berbekal batu. Sekarang pohon itu kiranya
sudah jauh lebih meraksasa dari pada cerita-cerita yang pernah kamu dengar.”
ucap Sadun, “Kelak di atas
sana, kamu hanya akan melihat cahaya, itu sudah cukup.” Sadun tersenyum,
ditatapnya gelora yang membakar dada Roji.
“Tidak
Bapak, tidak! Aku tidak ingin melihat cahaya saja, aku ingin membawa orang-orang
bawah tanah ke kota asal mereka.”
“Kita
hidup di sini, di atas sana kita akan mati sia-sia.”
“Kita
bisa bertahan hidup di kota bawah tanah, kenapa kita mesti binasa dengan kota
asal kita?”
“Roji,
percayalah...”
“Aku
menunda untuk percaya Bapak, aku menundanya sampai pada suatu hari aku akan
membuktikan kita bisa kembali hidup di atas sana.”
Di
dalam gelap, ada yang meleleh di sudut mata Sadun, bulir haru beserta rasa
dingin. Ia tahu di atas sana ada cahaya, ia tahu apa yang akan terjadi ketika
orang-orang bawah tanah kembali ke kota asalnya.
***
“Bapak,
lihat, lihatlah ke atas sana.” Roji menggoyang-goyangkan tengkorak Sadun,
mendongakkannya seolah-olah tengkorak itu
tengah menatap ke
lubang di atasnya. “Tidak lama lagi, kita akan menemukan dunia di atas sana,
kita akan melihat cahaya!”
Sadun yang sudah meninggal sejak lama,
telah menjadi belulang yang dibiarkan berserakan di dalam ceruk, menjadi kawan, menjadi teman
bicara Roji ketika lelah memaksanya untuk sejenak berhenti membuat lubang ke
atas sana.
Sekian lama Roji terus melubangi tanah
di atas sana. Batu linggisnya sudah aus dan tak berguna, tidak lebih besar dari
ibu jarinya sendiri. Kini Roji
membuat lubang dengan tangannya, mencakar-cakar, mengais-ais.
“Lumpur.” Roji mengusap-ngusap lengannya, merasa-rasakan
tekstur lumpur di jemarinya, “Tidak lama
lagi...” sebersit senyum rekah di wajahnya, cahaya matanya seketika semakin
berkilat-kilat oleh harapan.
Tanpa
batu, kini Roji mengais-ais lumpur. Jemari-jemari kurus
berkuku panjang, pucat, dan
bersembulan tulang, kini mencakar-cakar lumpur di atasnya. Jemari-jemari rapuh
itu robek, berdarah, bengkak.
“Bapak, bangunlah! Kita akan
segera melihat cahaya. Bapak, lihatlah!” Roji berteriak-teriak sendiri, tak
dirasanya segala macam luka.
Setitik
lumpur menetes di ubun-ubunnya yang mulai berkerut-kerut karena usia. Mulanya
hanya setitik, semakin lama lumpur semakin berhujan, deras menyerbunya. Roji berpegang
erat pada lubang tangga di dinding goa. Tangan dan kakinya ditancapkan sekuat
tenaga. Lumpur bagaikan air bah, terjun ke kota bawah tanah. Sekuat tenaga, ia
menahan tubuhnya agar tak terseret lumpur terlempar kembali ke bawah sana.
“Bapak,
lihatlah!” Roji berteriak-teriak, suaranya bergema di lorong bawah tanah,
berbaur dengan deru lumpur.
Meskipun
lumpur sudah berhujan ke bawah sana, di atasnya tak juga terlihat lubang yang
menganga seperti yang diharapkannya. Tenaganya nyaris habis ketika perlahan aliran lumpur itu menyurut.
Sekuat tenaga penghabisan, ia terus mengais-ais lumpur. Kota bawah tanah telah membuat paru-parunya
mampu bernafas dengan sedikit udara, bahkan mampu tidak bernafas cukup lama.
***
Blup… Blup… Blubup…
Samudera
lumpur terbentang sejauh mata memandang. Tepat di tengah samudera itu,
menjulang beringin raksasa yang nampak seram. Semburan lumpur, tak pernah
berhenti keluar dari celah-celah akarnya.
Di antara letupan-letupan
lumpur yang tak hentinya bergolak. Ada jemari-jemari
kurus pucat, patah, keriput dan koyak, bengkak dan bernanah,
mencakar-cakar, mengais-ngais lumpur. Kemudian, sikut lancip muncul ke
permukaan, diikuti kepala tanpa rambut yang berkerut-kerut. Roji telah menggapai mimpinya.
Jemari-jemarinya yang patah, robek, bernanah, bengkak, dan nyaris
membusuk, mengusap wajahnya perlahan. Ada yang terasa menghangat di permukaan
kulitnya, Roji tersenyum merasakan apa yang tak pernah dirasakannya di kota
bawah tanah.
“Cahaya…” ucap Roji,
kepalanya mendongak ke langit sana, perlahan dibukanya kedua kelopak mata.
Cahaya matahari menyambutnya
di atas sana. Cahaya matahari menghilangkan penglihatannya tanpa sisa,
merenggut mimpinya sampai ke akar. Matanya kini menjadi buta, tak kuasa
menerima terangnya milyaran cahaya. Sekejap, hanya sekejap belaka Roji melihat cahaya, hanya melihatnya
untuk tidak bisa lagi melihatnya, selamanya. Selama-lamanya.
Bandung, 18 Januari 2013
*) Absurditas Mallka lahir di Karawang,
bekerja di Panglima Ikan Bakar Madu - Bandung
Belum ada tanggapan untuk "Pemburu Cahaya (Ratusan Kilo Meter di Bawah Kota Sidoarjo) #Cerpen"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar