Lelaki yang Mencari Kekasih di
Dalam Dadanya Sendiri
Absurditas Malka*
Jantungmu berdenyut-denyut di
genggaman tangan, tak ada kekasih di sana. Hanya ada gerigi mesin berputar
dengan suara berderak-derak serak. Beberapa kabel dan selang putus tak terurus
setelah berkali-kali patah hati. Di dalam dada lelaki, kekasih hanyalah udara, dihirup
diembuskan.
---
“Kamu tidak akan menemukan kekasih di dalam dada
sendiri.”
Begitulah kata Emak, ketika melihatmu membongkar isi
dada sendiri di atas meja makan. Kekasihmu hilang tanpa jejak sejak tiga hari
lalu. Kamu harus mencarinya, di dalam dada sendiri, kamu mencarinya.
Sekrup, mur, dan baut menggunduk di dalam mangkuk,
lengkap dengan lumuran darah yang mulai menghitam. Urat-urat, selang bening,
dan kabel melilit sendok di dalam gelas. Lempengan dada bertumpuk di atas
nampan, lalat-lalat hinggap di atasnya, jilati tulang dan sel-sel darah yang
perlahan membusuk. “Aku akan menemukannya. Nanti Emak harus lihat, ia sangat
cantik.” Kamu selalu yakin, di bilik dadamulah kekasih bersembunyi.
Emak tidak bicara lagi, berlalu, menuju ruang tamu.
Gerendel berbentuk angka delapan berputar-putar di punggunnya, suaranya
berkeletek-keletek seperti mesin tua kurang oli.
Kedua tanganmu tak hentinya mengubek isi dada. Dari
dalam dada, kamu menemukan banyak benda, semuanya disimpan di dalam baskom
kuning di tengah meja makan, ada buku sastra, kliping koran, foto calon
presiden, beberapa perempuan, pepohonan, kecoa, dan beberapa binatang langka
yang terancam punah.
“Aku
mencintaimu, bilau kamu tak percaya, belahlah dadaku. Kamu akan menemukan
dirimu sendiri, di dalam dadaku hanya ada kamu.”
Sebelum kekasihmu hilang tiga hari lalu, dengan mata
kepala sendiri kamu melihatnya membelah dada sendiri. Kekasihmu mengeluarkan
banyak namamu dari dalam dadanya. Di jantungnya, di paru-parunya, di
usus-ususnya, di lambungnya, di hatinya, ada banyak namamu di sana, teramat
sangat banyak. Bahkan di setiap buliran sel darah yang merah dan putih, kamu
bisa melihat namamu tertulis di sana. Hanya ada kamu, tidak ada sosok lain.
Seakan jumlah dirimu sama banyaknya dengan semua sel tubuh kekasih.
“Kenapa di dalam dadaku tidak ada kekasih?” Kamu mulai
kesal, tanganmu pegal mengubek-ngubek dada sendiri. Kekasih yang dicari tak
juga ditemukan.
***
Mencari
kekasih di dalam dada sendiri rupanya tak lebih mudah dari mencari selembar
jerami di gunungan jarum. Selama tiga hari kamu tidak pernah menemukannya.
Sudah berkali-kali kamu membongkar-pasang dada sendiri, nihil. Kamu tentu tidak
akan menyerah, kamu akan mengubek setiap organ di dalam tubuhmu. Mungkin
kekasih berada di dalamnya, ngumpet di dalam jantung, atau tiduran di dalam
paru-paru. Mungkin saja.
Jantung berlumur darah
kamu cengkeram dengan tangan kiri, kabel-kabel yang rumit diurai perlahan oleh tangan
kanan. Setelah terbuka cukup ruang, kamu raih obeng kembang, sekrup penutup
jantung dibuka perlahan. Setelah beberapa jeda, semua sekrup terlepas dikumpulkan
di atas pisin. Lalat-lalat berdesing di atas meja makan, mengerumuni organ
tubuh. Lalat paling gendut seloyongan, lalu jatuh ke lantai sepertinya lalat
itu kehabisan setrum. Booom! Tubuhnya
meletup, hancur berserakan di lantai dapur.
“Semoga aku menemukan kekasih di dalam jantungku
sendiri.” Kamu tersenyum penuh harap.
Jantung yang sudah tidak bersekrup kamu genggam dengan
kedua tangan, kamu tarik kedua sisinya ke arah berbeda. Piring kaca bening
sudah menunggu di atas meja, menunggu isi jantung yang akan dikeluarkan. Kraaak… Setelah berkeletak yang cukup
keras, kamu berhasil membukanya menjadi dua bagian terpisah. Ratusan nama
keluar dari dalam jantung, bertumpuk di atas piring. Kamu tersenyum, jantung
yang terbuka kamu simpan di atas mangkuk dengan hati-hati, kabel dan selang
bening yang rumit dan panjang terhubung ke dadam dadamu.
“Nita, Marni, Ningsih, Ramdan, Dewi, Aksan, Ratna,
Mulan, Tria, Nadin, Fetima, Alya, Narina, Rustini, Mirda, Jeni, Ahmad.”
Ada banyak nama di dalam piring, satu demi satu kamu
pilah. Kamu tekun membaca nama-nama itu, sesekali tersenyum, meledak dalam
gelak, kadang tiba-tiba menjadi murung.
“Talia…” Tanganmu cukup lama memegangi nama itu.
Kamu
termenung, cahaya matamu seketika temaram menjadi 5 watt. Talia, kekasih paling
cantik, seharusnya menjadi istrimu. Hanya saja tawaran nyaleg menjadi anggota
DPR dari politikus kelas kakap, membuatnya sibuk dengan kekuasaan. Kamu
terabaikan dan ditinggalkan, kini kamu hanya bisa melihatnya di layar kaca.
Melihatnya menjadi bulan-bulanan wartawan dan media massa karena dikabarkan
memakan uang anggaran belanja negara.
“Salma. Ha ha ha…” Kamu terbahak memandangi nama itu.
Setelah
kehilangan Talia, kamu menjalin asmara dengan perempuan berkulit langsat itu.
Asmara yang kandas juga, ia menjadi selingkuhan bupati. Kamu tidak pernah
melihatnya lagi setelah memergoki keduanya tengah bermain kuda-kudaan di dalam
mobil. Hanya ingatan buruk saja yang tersisa, seburuk perasaan ketika kamu
melihat kekasih sendiri menjadi kuda orang. Sakit!
Nama-nama
di atas piring tinggal beberapa saja, kamu belum menemukan kekasih. Kamu
pura-pura tenang, berharap agar satu di antara beberapa nama yang tersisa itu
adalah kekasih. Semoga.
***
Kabel
menjuntai panjang, keluar dari punggungmu, terhubung ke terminal listrik di
dinding, bersebelahan dengan catu daya lemari es. Biasanya kamu mengisi energi
secara manual dengan memutar gerendel di punggung tapi sekarang kamu sedang
sibuk.
Ponsel
pintar di atas meja menjerit-jerit, banyak orang menelepon, mengirim SMS, pemberitahuan
dari berbagai jejaring media sosial, semuanya kamu abaikan. Ponsel itu sudah
ratusan kali menjerit, wajahnya terlihat lesu, tak segar lagi, keringat sebesar
biji jagung meremang di sekujur tubuh ponsel. Air mukanya menegaskan rasa kesal
kepadamu. Keringat nyaris membuat ponsel itu basah, mungkin karena terlalu
banyak menerima perintah atau mungkin karena udara dapur yang panas. AC yang
naplok di beberapa ruangan, termasuk dapur, sudah tidak sanggup lagi bekerja,
lebih dari satu minggu lalu mereka diterjang penyakit demam berdarah.
Ponsel pintarmu mati ketika itu juga, dikerubuti semut
dan lalat dijadikan santapan lezat. Mati merana karena tak sanggup lagi
menerima berjubalnya pesan masuk, panggilan tak terjawab, dan pemberitahuan
dari banyak media sosial. Kamu tak peduli, tidak akan ada kekasih menelepon
atau mengirim pesan. Kekasihmu sudah hilang tiga hari lalu.
Kamu sudah selesai menelisik nama-nama di dalam
piring, tidak ada kekasih. Kamu termenung bingung, rasa frustrasi tiba-tiba
membelukar di dalam dada yang memang sedang acak-acakan. “Lain kali, aku pasti
menemukanmu kekasih.” Kamu bergumam, menghibur diri sendiri.
Perlahan organ-organ yang berserakan kembali
dirapikan. Sekrup, mur, dan baut semuanya sudah terpasang dengan benar. Ritsleting
yang membelah dadamu telah dirapatkan, lumuran darah yang melumer ke perut
telah dilap dengan perca. Kamu kembali bersih, kembali rapi, hanya hati saja
yang murung, tak berhasil menemukan kekasih. Besok kamu akan mencarinya lagi,
ya besok. Sekarang hari sudah terlalu sore.
***
“Kekasih,
di mana kamu?” Kamu bergumam-gumam sendirian. Di beranda rumah termangu-mangu.
Mesin-mesin di dalam tubuhmu berderak-derak lambat. Galau membuat besi dan baja
di dalam tubuhmu, terasa memar, menjadi berkarat lebih cepat. Tak ada yang kamu
kerjakan selain melamun, menatapi apa saja yang terjadi di pekarangan.
Selembar
daun rambutan di depan rumah, terpetik angin dari rantingnya, jatuh berdenting
membentur lantai. Kamu menatapi pohon itu, umurnya sudah 25 tahun, kian hari
mesin-mesin yang tertanam dalam pohon kian terdengar bising, mungkin sudah
terlalu tua, mungkin sedang sakit. Kamu belum sempat memeriksanya. Kamu hanya
sempat memindahkan kabel-kabel dan selang-selang di dalam akar pohon itu ke
dekat kolam depan rumah, agar lebih mudah menyerap air. Kamu sedang galau,
tidak ada tenaga untuk mengurus pohon dan tanaman.
Beberapa
bendera berisi wajah capres dan caleg terlihat ramai di seberang jalan.
Wajah-wajah di dalam bendera itu tak hentinya berorasi, mulut mereka
berbusa-busa ingin meyakinkan siapa saja agar memilihnya. Setelah lelah dan
haus berorasi, foto itu akan menelan banyak oli. Sepanjang siang dan malam,
wajah-wajah itu akan terus berorasi, mereka hanya akan berhenti saat tangan
seseorang merenggut atau membakarnya.
Seekor
anjing berlari canggung, gerendel berbentuk angka delapan di punggungnya
berputar ragu-ragu, sesekali kencang, sesekali lambat. Ketika tepat berada di
depanmu, anjing itu melolong-lolong, “Toooooooot
tot tot tooooooot!” Mungkin ada iblis di dalam dirimu, sampai-sampai anjing
itu tak hentinya melolong, “Tooooooooooooot
toooooooot.” Anjing itu tidak pernah tahu, kamu juga melolong-lolong di
dalam hati sendiri, memanggil kekasih.
Daun-daun pepohonan rindang di sepanjang tepian jalan,
berkilauan ditempa cahaya rembulan. Ketika angin berembus menerpa daunan,
terdengarlah denting ritmis, magis. Denting ribuan besi dan baja di tengah
malam, suaranya seperti desing samurai, mencacah hati yang sunyi menjadi
serpih. Cahaya di matamu semakin temaram, denyut di jantungmu berdetak lebam. Tak
hentinya kamu bertanya-tanya, perihal kekasih yang hilang tanpa karena.
***
Kamu
telah membongkar semua tubuh, dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Kekasih
yang sedang dicari tak kunjung ditemukan, hatimu meracau, dilanda galau. Dunia
seketika terasa pekat, gelap gulita. Ruang dan waktu berputar-putar membuat
pusing isi kepala. Blaaaaar! Kamu meledak, terlempar ke ruang maha terang.
Kamu berpikir dirimu telah hancur, menjadi rongsokan.
Kamu sesenggukan dan tak sadar bahwa kamu baru saja dikeluarkan dari dalam dada
kekasih. Bahwa kamu kini berada di genggaman tangan kekasih. Sepasang mata
kekasih yang penuh cahaya, menatapi kamu penuh cinta. Di dalam genggaman
kekasih, kamu tak ubahnya sebiji titik di selembar kertas A0, begitu kerdil.
“Aku tak pernah
hilang, aku selalu menyimpanmu di dalam dadaku sendiri.” Ucap kekasih, suaranya
yang lembut membuat besi dan baja dalam tubuhmu bergeletar. Kamu rupanya tak
pernah kehilangan sesiapa, kamu hanya kehilangan dirimu sendiri.
Bandung, 19 Maret 2014
*) Absurditas Malka lahir di Karawang, menulis cerpen
dan carpon di beberapa media massa, bekerja di PKL Panglima Ikan Bakar Bandung.
Belum ada tanggapan untuk "Lelaki yang Mencari Kekasih di Dalam Dadanya Sendiri (Cerpen)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar