PEREMPUAN
PENABUR HUJAN
Absurditas Malka*
Setelah kamu pergi, ia baru menyadari bahwa kamulah
yang diam-diam menaburkan hujan di dalam dadanya. Hujan dingin yang
perlahan-lahan menenggelamkannya ke dalam sunyi. Ke dasar kesendirian paling
nyeri.
---
“Apa pun yang kamu ketahui tentangku,
lupakan semuanya.”
Kalimat itulah yang terakhir kamu
dengar dari mulutnya. Tidak akan ada sesuatu apa pun yang bisa mengubah
pendiriannya. Apa yang dikatakannya, didukung oleh segenap tubuh dan jiwanya. Kamu
tidak berkata sepatah pun. Kamu bertahan sekuat tenaga untuk tidak menoleh ke
arahnya, tidak sedikit pun.
Kakimu terasa beku, berat, kamu
seret untuk berjalan, meninggi tangga bus yang saat itu rasanya seperti mendaki
julangan gunung tinggi. Ada banyak kursi kosong di dalam bus, kamu memilih kursi
paling depan agar tak melihatnya, tapi sudut-sudut matamu masih saja menangkapi
kehadirannya di luar sana. Perlahan, sangat perlahan, deretan bangku tunggu di
terminal bergerak ke belakang, begitupun gedung-gedung, etalase toko-toko,
ratusan orang, semuanya seperti bergerak ke belakang ketika mobil bus yang kamu
tumpangi melaju perlahan. Ia di luar sana berdiri beku, tanpa lengan yang melambai-lambai,
dingin dan angkuh. Bus melaju semakin kencang menuju depan, sementara apa yang
berada di luar bus sana, terlihat semakin kencang menuju ke belakang. Begitupun
kenangan, kamu melarikannya jauh ke ruang ingat yang paling silam.
“Selamat tinggal, Jakarta…” gumammu, ragu dan perih.
Gumam itu menjadi gema di ruang kosong di dalam dada sendiri. Tatap
matamu tak pernah lepas dari jendela kaca, mencari sesuatu yang bisa meyakinkanmu,
bahwa kelak, besok, dan selama-lamanya kamu tidak akan pernah lagi kembali ke
Jakarta. Kamu tak menemukan apa pun di luar bus, kamu hanya bisa merasakan
bahwa saat itu, kamu hanya ingin meninggalkan Jakarta, bergerak semakin jauh.
Semakin menjauh. Sejauh-jauhnya yang kamu bisa.
Kriiiiiiiiing…
Kriiiiiiiiiiiiing…
Ponselmu berdering, kamu merogoh saku celana, mengeluarkannya dari dalam
saku. Kamu menatapi layar ponsel, sederet nama tertulis di sana. Ia entah
kenapa, tiba-tiba meneleponmu. Kamu tertegun, jemarimu gamang menentukan
pilihan, menerimanya, menolaknya, atau membiarkan panggilan itu berdering
kesepian.
“Adakah sesuatu yang belum dia katakan? Atau adakah sesuatu yang
kutinggalkan?” Kamu menerka-nerka. Jemarimu membeku.
Kriiiiiiiiing… panggilan kesekian. Layar ponsel kembali berdenyar, begitupun namanya.
Kamu mematikan ponsel, menyimpannya ke dalam tas, di tumpukan paling bawah.
***
“Akhirnya, Bunda bisa melihatmu
lagi. Tinggallah di sini sesuakmu, jangankan sehari atau seminggu, selamanya
kamu boleh tinggal di sini.” Bunda memelukmu hangat, peluk yang penuh harapan
agar kamu benar-benar tinggal di sana untuk selama-lamanya.
Kamu tidak bicara, kata-kata
terbendung rasa sesak di dalam dada yang kini sudah menjangkau leher, kamu
kesusahan untuk bicara sekadar sepatah kata. Perempuan itu yang menyebut
dirinya sendiri bunda, begitupun kamu memanggilnya. Perempuan itu bukan
siapa-siapa, bukan ibumu, bukan pula saudaramu, tak ada pertalian darah.
Perempuan itu hanya orang asing yang memiliki banyak ruang untuk menyimpanmu
dalam hatinya, begitupun di dalam rumahnya. Kamu hanya orang beruntung yang
mengenalnya, merasakan kebaikan-kebaikannya. Ia sendiri yang memintamu
memanggilnya bunda, mungkin karena ia tidak pernah memiliki anak, atau mungkin
karena kamu yang sebatang kara.
“Bunda… seharusnya aku menuruti
perkataan Bunda dahulu. Kini sudah terlambat, kini rasa sesal tiadalah
berguna.” Setelah waktu disesaki hening sekian lama, akhirnya kamu bicara, “Ia…
lelaki yang salah.” Lanjutmu, terisak.
“Lelaki itu?” tanya Bunda,
memeriksamu.
Kamu tidak bicara, hanya kepala saja
yang bergerak mengangguk. Sudut-sudut matamu merajahkan bulir bening yang meleleh
perlahan, sebelum bulir bening itu melumer ke pipi dan dagumu, lekas-lekas kamu
menyekanya dengan punggung tangan.
Bunda menggeser tubuhnya, terduduk
lebih dekat, tangannya bergerak lembut mengusap bahumu, memelukmu. Seketika, kamu
merasa berada di tempat yang benar, berada dalam pelukan paling kokoh ketika
segalanya telah hancur berserakan. Jauh di lubuk hatimu, kamu bersyukur, masih
ada rumah yang mau menerimamu pulang. Masih ada seseorang yang tangannya selalu
terbuka mengulurkan sekadar pelukan.
***
“Tadi
ada yang datang, dia menitipkan ini.”
Bunda berhambur ke mulut pintu
memburumu yang baru pulang setelah berjalan-jalan tak keruan di kompleks
perumahan. Kamu bukan tipe manusia yang mengurung diri ketika merasa tertekan,
kamu selalu lebih suka bergerak, mencari ruang kosong, menatapi denyut kehidupan
di luar sana. Selalu begitu.
“Siapa
Bunda?”
“Tidak
tahu, katanya nanti kamu juga tahu sendiri setelah membaca surat ini. Dan
katanya lagi, tolong hidupkan ponselmu.” Bunda menyodorkan amplop yang masih
tersegel.
Kamu meraihnya, segera membuka isi
suratnya. “Tidak mungkin, bagaimana ia bisa tahu aku pulang ke rumah Bunda?”
Gumammu.
“Kamu mungkin pernah bilang ke
seseorang mau pulang ke sini?” Bunda rupanya mendengar ucapanmu.
“Tidak Bunda, tidak satu pun yang
tahu saya akan berangkat ke mana.” Kamu kini terduduk, membaca surat itu lebih
khusuk. Dahimu memajang kerut, jantungmu menabuh dentam. Bunda menjauh, menuju
ruangan lain, membiarkanmu sendirian membaca surat itu.
“Lelaki celaka ini, apa sih maunya?
Suratnya ngawur! Sialan!” kamu memaki-maki surat itu, tidak mengerti dengan
maksudnya.
Kamu sudah bertindak bodoh,
sangat bodoh.
Aku tidak menyukai tindakan bodoh!
“Siapa yang bertindak bodoh?
Apa maksud semua ini?” Kamu meremas kertas itu, kesal, takut, marah, tak jelas
apa yang sebenarnya dirasakan. Kamu coba mengingat perihal tindakan macam apa
kiranya yang pernah kamu perbuat, tidak ada. Semuanya normal-normal saja.
Satu-satunya perbuatan yang disebut tindakan bodoh
oleh lelaki itu, ya hanya satu. Melaporkan status pernikahan siri mereka kepada
istri pertamanya. Tapi kamu tidak pernah melakukannya, tidak akan pernah. “Apa
yang aku lakukan, Sadun bodoh! Aku tidak akan mengadukan kebejatanmu kepada
istrimu, tidak akan pernah.” Kamu bergumam, merasa pusing.
***
“Bereskan!” ucap Sadun,
datar.
“Selamanya?” tanya tiga
lelaki dengan tubuh tegap, mereka semua memakai kaca mata hitam dan jaket
kulit, satu di antaranya berwarna coklat kayu mahoni, dua lainnya memakai jaket
warna hitam.
“Ya.” Sadun mengangguk tenang.
Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya kalimat
singkat yang selalu terucap. Tak lama kemudian, ketiga lelaki itu melipir,
meninggalkan ruangan. Pintu berderit terbuka, kemudian berderit lagi tertutup,
punggung ketiga lelaki itu habis ditelan mulut pintu. Lelaki yang paling
belakang, di pinggangnya terlihat menyelipkan sesuatu, mungkin pistol, mungkin
sesuatu yang lain.
“Maafkan aku sayang, aku tidak mau terungkit.”
Gumam Sadun, matanya menerawang, mengingat banyak hal.
“Aku sudah memaafkanmu berkali-kali, tidak ada
ampun lagi. Ingat! Satu kesalahan saja, aku bisa mengirimkanmu ke penjara!”
kalimat itu, selalu terngiang dalam telinga Sadun, menolak untuk pudar, menolak
untuk hilang. Istrinya yang bekerja sebagai ketua Mahkamah Anti Korupsi, tahu
benar bahwa ia sebenarnya koruptor kelas kakap. Tapi istrinya dengan segala
cara, telah menyelamatkan hidupnya, melindunginya, menjauhkannya dari ancaman
jeruji besi.
“Kamu akan malu jika suami sendiri dijebloskan ke
penjara karena korupsi. Renungkan itu…” Sadun mencoba untuk bernegosiasi.
“Tidak peduli, aku tidak akan malu. Justru
sebaliknya rakyat pada akhirnya akan memberikan tepuk tangan paling meriah,
karena aku bersikap adil, tak pandang bulu.” istrinya berucap tegar.
Setelah percakapan beberapa tahun silam itu,
setelah istrinya terdengar sangat bersungguh dengan ucapannya, Sadun tetap saja
menggila. Ia menikahi banyak perempuan, memakan uang gelap yang dicurinya dari
negara, mengadakan proyek fiktif, menipu, dan masih banyak kejahatan lain yang
dilakukannya. Kejahatan kelas berat dengan jumlah uang yang memiliki sekian
banyak deret angka nol.
“Julia, kamu terlalu tahu banyak hal.” Ia
bergumam, dadanya terlihat kembung kempis menahan rasa sesak yang menjalar,
“Selamat tinggal sayang.” Ia menutup mata, dirasa-rasakannya hujan yang kian hari
kian deras mengguyur hatinya. Hujan yang menabur rasa sunyi.
Ia sudah kehilangan banyak hal, yang mewah, yang
remeh temeh, apalah artinya semua itu, besok lusa bisa mendapat gantinya.
Kehilangan Julia, seakan kehilangan segala-galanya. Ya, perasaan berhujan di
dalam dadanya itu, datang bersama hilangnya Julia. Seolah perempuan itu dengan
sengaja menaburkan hujan di jantungnya.
***
Kamu mendengar tiga
langkah berat di luar sana, meskipun seperti mengendap-endap, tetap saja kamu
bisa mendengarnya. Malam terlalu malam, terlalu sunyi, suara sepatu bot yang
beradu dengan muka lantai menimbulkan suara juga meskipun sepertinya kaki-kaki
di luar sana berupaya sebisa mungkin untuk tak bersuara. Telingamu ditajamkan,
suara itu semakin mendekat. Berada di depan pintu.
Klek.. Klek…
Kamu mendengar bunyi
berkeletek, melihat gagang pintu diputar dari luar, masih terkunci. Kamu
bergetar, teringat lagi surat itu. Apakah seseorang di luar sana ada
hubungannya dengan selembar surat kaleng tempo hari?
Klek… gagang pintu kembali diputar, masih terkunci. Kamu semakin
bergetar, perlahan-lahan kamu berdiri dari sofa, majalah di tanganmu terlihat
bergeletar. Matamu menelagakan rasa takut yang kelam, tak lepas menatapi gagang
pintu yang dibuka dari luar. Kamu melangkah mundur, meninggalkan ruangan depan.
Ponselmu tertinggal di meja, tertangkup, kamu sudah terlambat untuk
mengambilnya. Setelah berada di ruangan lain, kamu begitu jelas mendengar derit
suara pintu yang sudah terbuka. Beberapa langkah kaki terdengar masuk ke dalam
rumah, mengendap-endap. Pintu kembali berderit, tertutup. Sunyi.
Kamu tidak bisa melihat
apa-apa lagi, terpejam bersama segala macam perasaan malang. Kamu ingin
berteriak, ingin menangis, ingin berlari, tapi kamu membeku, menyembunyikan
tubuhmu di ruangan lain, berharap siapa pun yang telah menerobos masuk ke dalam
rumah tak pernah menemukanmu. Telingamu semakin menajam, suara langkah kaki
terdengar semakin dekat. Semakin mendekat. Terasa bagaikan mereka telah berada
di depanmu tanpa jarak.
***
“Beres…”
Ucap lelaki bertubuh
paling jangkung. Hanya itu yang dikatakannya, matanya memberi isyarat agar
mereka segera meninggalkan rumah.
Malam semakin malam,
sunyi semakin bercucuran. Tidak ada suara lagi di dalam rumah. Begitupun di
luar sana, hanya sunyi. Ketiga
lelaki itu berjalan tenang, meninggalkan pekarangan rumah, menuju gerbang
kompleks yang sunyi. Tidak ada sesiapa di jalanan sana, hanya ada mereka dan
dinginnya malam.
***
“Julia…” Sadung
menyebut namamu, tenang, sangat tenang.
Di depannya layar
televisi menayangkan berita pembunuhan sadis. Seorang perempuan muda tewas
dengan luka tembakan di kepala, di dalam kamar mandi. Dan seorang perempuan
tua, tewas dengan leher nyaris putus, di atas tempat tidurnya sendiri. Kamu
sudah menjadi berita.
Sadun tersenyum, dinikmati tayangan berita, disesapnya
lagi kopi yang masih mengepulkan uap, bibirnya tak henti tersenyum hambar,
tenang, sangat tenang. Dingin.
“Selamat tinggal
sayang…” Sadun menyesap lagi kopinya, tak sejenak pun melepaskan tatapnya dari
layar televisi.
***
“Aku sudah
membunuhmu! Aku sudah membunuhmu!”
Sadun terkalap-kalap, ketika kamu menyembul dari
mulut pintu ruangan kerjanya. Kamu hanya tersenyum, menatapinya dengan sorot
yang amat sangat datar.
“Kamu sudah mati!” Sadun berteriak ketakutan,
telunjuknya menuduh-nuduh kalap.
Kamu tak bergerak sedikit pun. Hanya bersandar di
daun pintu yang kini sudah tertutup. Kamu menatapinya, tersenyum kepadanya. Dan
setelah beberapa saat, kamu bergelisir mendekatinya.
“Aku akan membunuhmu lagi!”
Sadun semakin kalap, ia tergopoh-gopoh
menarik-narik laci di bawah meja, diraihnya pistol berwana perak. “Mati kau!”
teriakannya terdengar penuh getar, gentar. Jemarinya bergeletar menarik
pelatuk. Klek!
Peluru melesat ke jantungmu. Hanya butuh hitungan
detik untuk menempuh jarak antara laras pistol dan detak jantungmu. Kamu hanya
tersenyum, tanpa rasa takut, tanpa menutup
mata.
“Mati kau!” Sadun kembali menembaki sekujur
tubuhmu, beruntun, berkali-kali.
“Sadun, pistol tidak akan mampu membunuh orang
yang sudah mati, tidak juga mampu membunuh cinta yang membara.” Kamu bergelisir
lagi, kini berdiri tepat di seberang mejanya. Air yang dingin, bercucuran deras
dari lubang-lubang peluru yang mencabik tubuhmu.
“Aku ingin melihatmu tenggelam, aku ingin hujan
membawamu ke sisiku. Rasakanlah hujan yang kutabur di dalam dadamu,
perlahan-lahan akan menenggelamkanmu. Aku menunggumu, Sadun sayang. Aku
menunggumu.” Kamu tersenyum dingin.
Hujan di dalam dada Sadun, kini semakin membadai.
Menenggelamkan jantungnya, merendam parunya, mengembungkan usus-ususnya. Air
hujan membuatnya tenggelam, ditelan dingin, karam ke dalam sunyi paling sunyi.
Klek!
Hujan berderai dari lubang di kening Sadun. Menetes di atas
meja. Merah, warnanya sangat merah,
sebagaimana merahnya darah.
Bandung, 3 Oktober 2013
Belum ada tanggapan untuk "Perempuan Penabur Hujan (Cerpen)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar