Hikayat Dua
Ekor Anjing
Absurditas Malka*
Tidak ada yang tahu berapa jumlah
populasi anjing di dunia ini. Aku sendiri sebagai bangsa anjing tidak
pernah tahu. Abang tidak pernah menceritakan seberapa banyak populasi anjing di
muka bumi. Abang selalu saja menceritakan hikayat dua ekor anjing. Apakah tidak
ada anjing lain di muka bumi ini?
Setelah pulang dari kota, Abang selalu saja
menceritakan hikayat dua ekor anjing. Seakan dunia ini bisa tenggelam bila ia
tidak menceritakannya semalam saja. Sebenarnya aku sudah bosan mendengarkan tapi
aku pura-pura tak pernah bosan, pura-pura selalu penasaran.
“Hikayat dua ekor anjing itu, Dik… ”
Itulah kalimat pertama yang diucapkan Abang, kemudian ia akan berhenti
bercerita sejenak, matanya mendelik ke langit, membayangkan sosok dua ekor
anjing yang tak pernah aku lihat. Aku yakin Abangku sendiri tak pernah
melihatnya.
“Mereka adalah sepasang kekasih.”
Lanjutnya.
***
Berbulan-bulan Tuhan marah-marah,
selama itu pula tidak diturunkannya hujan ke atas tanah, walau setetes, walau
sekadar rinai. Jangankan hujan, mendung pun tak pernah sudi datang.
Ketika matahari bertengger tepat di atas ubun-ubun, ketika isi kepala
mendidih, ketika urat leher nyaris putus karena dicekik dahaga tiada tara, ketika
itulah perempuan pelacur ditemukan Sang Anjing. Tepat di tengah padang rumput
yang kering, di tengah lautan abu.
“Air…” Suara perempuan pelacur seakan tercekik, hanya kata itu saja yang
diucapkan, kemudian ia jatuh tersungkur.
“Perempuan pelacur yang malang, aku
tak punya air.” Sang Anjing mendekati perempuan pelacur yang roboh di atas
tanah tandus.
“Kamu masih hidup.” Ucap Sang Anjing, hidungnya mengendus tubuh perempuan
pelacur, matanya berkaca menatapi betapa urat leher perempuan pelacur itu
berdenyut-denyut sangat lamban, teramat sangat lamban, bagaikan energi hidupnya
hanya tinggal menyisakan tenaga penghabisan.
“Aku akan menolongmu, bertahanlah.” Sang Anjing menggigit sepatu
perempuan pelacur, melepaskannya. Digigitnya sepatu itu, dibawa berlari, lebih
cepat dari angin yang menerbangkan abu di musim kemaru.
Mencari air di tengah lautan tanah tandus, sama saja dengan berjudi atau
mungkin bunuh diri. Mencari sesuatu yang tak ada, jika pun ada, tentu saja Sang
Anjing tak ubahnya mencari sehelai jerami di dalam gunungan jarum.
Sang Anjing terus belari, hidungnya
mengendus udara, mengendus sumber air yang mungkin masih tersisa. Percuma, ia
tak merasakan desir air, sejauh ia berlari hanya debu dan debu yang tercium olehnya.
“Tuan apakah Anda memiliki seciduk
air?” tanya anjing itu kepada seekor tikus yang berpapasan di tengah jalan.
“Aku sudah berjalan selama tiga hari
tiga malam, aku tidak pernah menemukan air,” Jawab si tikus dengan raut penuh
derita, “Cobalah cari ke arah sana.” Lanjutnya.
“Celaka! Aku berlari ke arah yang
salah.” Gumam Sang Anjing, kemudian ia berbelok, berlari ke arah lain
sebagaimana yang ditunjukkan tikus.
***
Kaing! Kaing! Kaiiiiing!
Sang Anjing tak hentinya melolong,
ia melihat malaikat. Dikejarnya malaikat itu, tak dihiraukannya lelah yang
membuat tubuhnya terasa recah.
“Tuan Malaikat, tolonglah aku!”
Teriak Sang Anjing, getar suaranya penuh harapan.
“O anjing malang, aku tidak punya
waktu. Aku harus mencabut nyawa seseorang.” Jawab malaikat seraya berlalu.
“Tuan Malaikat, tunggu. Aku
benar-benar butuh pertolonganmu.” Sang Anjing tak putus asa, ia masih berharap
malaikat itu memberinya pertolongan.
“Aku harus mencabut nyawa seorang perempuan
pelacur. Tidak boleh terlambat, carilah pertolongan di tempat lain.” Malaikat tak
acuh.
“Tuan Malaikat, aku harus
menyelamatkan perempuan pelacur, ia akan mati bila aku tak menolongnya. Maukah
Tuan menolongku?” Sang Anjing memasang raut penuh permohonan.
“Aku diutus Tuhan untuk mencabut
nyawa perempuan pelacur. Perempuan yang ingin kamu tolong sekarang. Sudahlah,
kamu tidak perlu menolongnya, percuma saja.”
“Kalau aku bisa memberinya air,
bisakah Tuan Malaikat membatalkan kematiannya?” Sang Anjing mencoba
bernegoisasi.
“Ha ha ha… Tidak ada yang bisa
menahan kematian barang satu detik pun tidak ada yang akan bisa. Begitulah
ketentuan semua yang hidup, anjing atau manusia, sama saja.”
“Tuan Malaikat, kalau begitu apa
susahnya memberiku seciduk air. Kalau pun perempuan pelacur itu harus mati aku rapopo, aku telah berupaya
menolongnya.”
“Keras kepala! Baiklah, aku akan
menolongmu tapi aku tidak bisa menolong perempuan pelacur itu.”
Tiba-tiba sepatu yang digigit Sang
Anjing telah berisi air. Dingin dan sejuknya terasa merambat di lidah Sang
Anjing. “Terima kasih, Tuan Malaikat.” Sang Anjing berlari lagi, membawa
seciduk air untuk perempuan pelacur.
“Perempuan pelacur, minumlah air
ini. Aku tidak mau malaikat itu membawamu karena kehausan. Ayo, minumlah.
Cepat!” Sang Anjing meneteskan air di dalam sepatu ke mulut perempuan pelacur.
Ia selalu berharap, setelah perempuan pelacur minum air, mautnya bisa
terhindarkan.
Tetes demi tetes, air merambati
kerongkongan perempuan pelacur. Tetes demi tetes, air meresap sampai ke dalam
jiwa perempuan pelacur, sampai ia kemudian tersadar.
“O Tuhan, anjing ini telah
menyelamatkan hidupku.” Perempuan pelacur tersadar, ia menerima sepatu berisi
air yang disodorkan mulut Sang Anjing. Ia mereguk sisa airnya, sampai kering,
sampai habis dahaga yang berhari mencekik kerongkongan.
“Terima kasih Tuhan, melalui anjing
baik ini pertolongan telah datang.” Pelacur perempuan itu bergumam, ditatapnya
anjing yang mendengus-dengus kepanasan, tangannya bergetar mengelus kepala Sang
Anjing.
Kaing!
Kaing! Kaing!
Sang Anjing mendengking, menyalak,
menghardik malaikat yang sudah berdiri di belakang perempuan pelacur. Perempuan
pelacur menoleh ke belakang, ia tidak melihat apa-apa, tidak melihat
siapa-siapa. Ia memutar tatap ke sekeliling, hanya pasir terbakar yang
menghampar.
“Tuan Malaikat, apakah sekarang
waktunya?” Sang Anjing memelas.
“Ya sekarang waktunya.” Malaikat
memeluk tubuh perempuan pelacur.
“Perempuan pelacur itu telah meminum
air, ia tidak kehausan lagi,ia sembuh, ia baik-baik saja, sehat. Kenapa harus
mati sekarang?” Sang Anjing semakin memelas.
“Aku tidak tahu aku hanya mengemban
tugas. Tidak ada yang bisa menghalangi kematian.” Tangan-tangan dingin malaikat
begitu lembut merenggut jiwa perempuan pelacur.
“Ijinkan aku menatapnya sedetik
lagi.”
Sang Anjing menatap perempuan
pelacur, matanya pecah, dipenuhi kaca-kaca. Langit telah berbulan-bulan tak
menurunkan hujan kecuali di kedua mata Sang Anjing, hujan deras berderai.
Perempuan pelacur tersenyum, matanya
teduh berterima kasih pada Sang Anjing. Tangan perempuan itu bergetar, ingin
mengelus lagi kepala Sang Anjing. Pluk… tangan
perempuan itu jatuh di atas lautan pasir, begitupun tubuhnya, tersungkur di
atas tandus debu-debu. Tak bernyawa lagi.
Kaing!
Kaing! Kaiiiiiiiiiiiing! Sang Anjing
melolong-lolong. Melolong sejadinya. Sejadi-jadinya.
***
Sepatu kulit bertengger di atas
gundukan tanah, menjadi nisan. Perempuan pelacur telah dikuburkan. Darah
yang terbungkus debu membasah di celah kuku Sang Anjing. kuku yang berjam-jam
menggali pasir untuk menguburkan perempuan pelacur.
“Aku tidak bisa menolongmu perempuan
pelacur. Beristirahatlah.” Gumam Sang Anjing, ditatapnya gundukan tanah merah.
Setelah hening sejenak, anjing itu berdiri, perlahan berjalan meninggalkan
kuburan.
Ada rasa sepi, tiba-tiba saja
menggigit. Ada rasa nyeri, tiba-tiba mengimpit. Perempuan pelacur seakan pergi membawa
seisi dunia. Kosong, itulah yang bersarang di dada Sang Anjing sekarang.
“Kenapa aku harus merasa
kehilanganmu, perempuan pelacur? Aku ini hanya seekor anjing. Kenapa aku harus
merasa kehilangan?” Sang Anjing bergumam, kemudian melolong, kaiiiiiiiiiiiiiiing!
Kaing
kaing kaing…
Lolong dari arah belakang Sang
Anjing terdengar kian mendekat. Suara Anjing Betina, suaranya merdu. Kian lama
lolongnya kian tak berjarak.
“Tuan, tunggu aku!” teriak seekor Anjing
Betina.
Sang Anjing berhenti berjalan,
ekornya mengibas udara, ritmis ke kiri dan kanan, ke atas dan bawah.
“Akhirnya aku menemukan seekor
anjing di lautan pasir tandus ini.” Ucap Anjing Betina setelah berhadapan
dengan Sang Anjing, lidahnya menjulur-julur kehausan. “Apakah Tuan sudi
berjalan bersamaku?” tanya Anjing Betina.
“Baiklah.” Sang Anjing mengangguk
dingin. Kehilangan telah membuatnya menjadi sangat dingin di tengah dunia yang
tengah mendidih dihantam kemarau panjang.
“Aku kehausan, leherku terasa putus,
andai saja ada manusia yang memberi kita minum. Akan kudoakan ia agar masuk
sorga.” Gumam Anjing Betina, diseretnya keempat kaki menempuh debu dan rasa panas
terbakar.
Hari demi hari, minggu demi minggu,
berbulan kemudian, kehadiran Anjing Betina mengubah segalanya. Segala yang sepi
kembali bernada, segala yang kosong kembali berisi. Sang Anjing perlahan menemukan
segala apa yang sempat hilang. Mereka jatuh cinta, kasmaran. Keduanya menjadi
sepasang anjing yang berbahagia menempuh tandus kehidupan.
***
“Begitulah hikayat dua ekor anjing.
Mereka berbahagia selamanya.” Demikian pungkas Abang, selalu demikian. Hanya
itu, selalu begitu. Setiap malam seperti itu, dasar anjing. Ceritanya tak utuh.
Abang tak pernah tahu, cerita yang sebenarnya.
Sebenarnya, di kemudian hari Sang
Anjing mati kehausan. Anjing Betina pun nyaris mati tapi seorang perempuan
pelacur menemukannya, menyelamatkannya, memberinya seciduk air minum.
Anjing Betina berterima kasih kepada perempuan pelacur yang telah
menyelamatkan dirinya. Didoakannya perempuan pelacur itu agar masuk sorga. Begitulah
cerita sebenarnya tentang hikayat dua ekor anjing.
Kaiiiiiiiiing!
Ciromed – Sumedang, 2014
* Absurditas Malka lahir di Karawang, kini
bekerja dan tinggal di Bandung. Menulis cerpen dan carpon di beberapa media
massa.
#Bali #Ubud #Pariwisata #Bangkok #Paris #Turki
Belum ada tanggapan untuk "Hikayat Dua Ekor Anjing (Inilah Koran, Sabtu - 11 Oktober 2014)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar