Ubud Writers and Readers Festival 2014
Merangkum Ingatan, Mengekalkan Jejak
|
Setelah wawancara untuk radio di Australia
bersama Mr. Phil Brown dan Akit |
Ubud Writers and Readers Festival 2014, telah selesai. Ratusan acara keren, puluhan titik keramaian, ratusan penulis, sekian banyak hiburan kini sudah berpindah ke dalam gambar, rekaman video, atau buramnya ingatan.
Selama di Ubud, antara 30 September - 1 Oktober 2014. Selama kegiatan berlangsung, saya diagendakan mengikuti 3 kegiatan UWRF 2014, Program Utama berupa diskusi dengan tema Slenderman: Foklore and Monsters, bersama Tim Molloy (Ilustrator dan komikus New Zealand yang salah satu karakter di dalam karyanya sangat terinspirasi oleh patung di Temple of Death, Monkey Forest.), Angela Meyer (Australia), dan Sjon. Free event, Launching Anthology Saraswati dan free event A Tribute to Tsunami Aceh (Acara ini berupa pembacaan sajak untuk mengenang bencana Tsunami Aceh tapi tanpa alasan jelas panitia membatalkan acara tersebut)
Tentang Akomodasi UWRF 2014
Peserta dari Indonesia ditempatkan di penginapan yang berbeda, setiap peserta akan mendapatkan pelayanan berbeda di tempat menginapnya. Pak Bambang Kariyawan misalnya, menjadi peserta paling kesulitan mendapatkan air panas. Saya sendiri mengalami hal yang sama, termasuk tidak pernah mendapatkan sarapan pagi yang sudah dianggarkan panitia (kecuali di hari terakhir, itupun terpaksa saya minta ke pihak hotel dikarenakan sudah 3 hari tidak memakan nasi/tidak makan*, takut pingsan di pesawat kan ga lucu kalau ada berita "Peserta UWRF 2014 pingsan di pesawat karena belum makan 3 hari" :D). Peserta lain ada yang berlimpah pelayanan, ditempatkan di hotel yang ada WiFi-nya, televisi, AC, kipas angin, sarapan pagi, makanan ringan, dan kulkas.
Ada banyak acara makan malam yang digelar oleh panitia UWRF bersama semua penulis, hanya saja selalu ada masakan babi di menu makanan mereka. Beberapa peserta UWRF 2014 (terutama dari Indonesia) banyak yang wolk out dan terpaksa makan di luar.
Panitia sebenarnya memberikan daftar lengkap tempat makan yang bisa diakses peserta UWRF 2014 (khususnya peserta dari Indonesia). Saya sendiri selama di Ubud, kerap mengakses tempat makan di Jl. Raya Ubud, RM. Padang (dekat Ganesha Book Shop), harganya relatif murah dan berdasarkan pengakuan si penjual, makanannya halal.
Perihal keperluan ibadat peserta UWRF yang muslim, panitia terkesan tidak responsif. Ada sih respon tapi bersifat ping-pong, "untuk keperluan ibadah, silakan hubungi si anu." ketika menghubungi si anu, hasilnya not responding.
Sejak jauh-jauh hari saya sudah meminta panitia untuk memberikan petunjuk perihal masjid terdekat dari TKP UWRF, tidak ada informasi dari panitia. Dalam hal ini Google.com bekerja dan merespon lebih cepat, saya mendapatkan informasi dari Google.
Sehingga pada hari Jumat panitia baru tersadar, "ketidakpedulian" mereka terhadap kebutuhan peserta muslim untuk melaksanakan salat Jumat telah membuat agendanya pada hari Jumat menjadi molor karena peserta kelimpungan mencari jalan menuju Ubud setelah melakukan ibadat salat jumat. Setelah peristiwa itu barulah panitia mengakomodir kebutuhan peserta mengenai kepentingan peribadatan. Alhasil pada saat salat ied, panitia mau menyediakan sarana tranposrtasi. Hatur nuhun.
Semoga di tahun berikutnya, panitia bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut, dalam bentuk tindakan, memberikan informasi jelas mengenai masjid terdekat, atau bila memungkinkan memberikan 1 ruangan segede kotak untuk dijadikan mushola bersama, atau bila memungkin lagi memberikan sarana transportasi untuk menuju tempat ibadat terdekat.
Tentang Tranportasi UWRF 2014
Selama di Ubud, sebaiknya menyewa motor sebagai alat transportasi agar bisa mengikuti semua rangkaian agenda UWRF dan bertamasya ke tempat lain jika luang. Harga sewa motor terbilang murah bila harus pakai taksi kian-kemari, cukup membayar Rp. 50-75 ribu, sudah bisa wara-wiri selama 24 jam.
Tidak perlu cemas dengan keamanan tempat parkir. Meskipun peluang kejahatan curanmor sangat terbuka lebar tapi terjadinya kejahatan curanmor di sana, sangat langka. Selama 4 hari menyewa motor, saya memarkirnya di tepi jalan, di depan penginapan, bersama helm-nya 2 unit. Tidak ada yang hilang, aman.
Saya sempat berpikir untuk menyewa motor secara patungan dengan teman, agar menghemat anggaran. Rupanya ide tersebut tidak bagus, agenda saya dan penulis Indonesia lain berbeda, kerap terjadi bentrokan agenda, sehingga tidak nyaman bila harus rebutan motor. Sebaiknya 1 orang nyewa 1 motor.
|
Setelah selesai diskusi, bersama Sjon, Absurditas Malka,
Angela Meyer, dan Tim Molloy
|
Tentang Program UWRF 2014
Agenda setiap penulis pasti berbeda dengan penulis lain kecuali satu atau dua acara saja. Acara UWRF terdiri dari banyak kriteria, seperti Mind Program, Special Event, Free Event, Movies, Music, dan lain-lain. Peserta UWRF bisa mengikuti semua mind program dan free event kecuali special event, harus bayar. Mind program berupa diskusi, dan tanya-jawab dengan audiens.
Semua peserta mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam mind program, berdiskusi dengan penulis dari berbagai belahan dunia. Setelah selesai berdiskusi akan disusul dengan sesi wawancara bersama media. Kenapa ya, tidak ada sesi wawancaranya di agendaku?
Panitia telah menyiapkan interpreter dalam kegiatan diskusi. Saya sendiri kemarin memakai bahasa campuran, kadang Indonesia dan kadang Inggris. Intinya ga usah takut dan ga usah malu (mendingan malu-maluin dari pada besar kemaluan), beranikan diri dan cuek aja, terserah orang mau ngomong apa. Itu panggungmu, berekspresilah.
Tentang Panitia UWRF 2014
Agenda UWRF yang padat rupanya membuat panitia sedikit kelimpungan meskipun sudah dibantu oleh ratusan relawan dari berbagai negara. Peran relawan pun masih kurang maksimal, hanya berperan sebagai reminder saja. Dalam beberapa kasus kinerja Google lebih cepat dari pada panitia yang kadang not responding.
Panitia sendiri tidak memperhatikan bagaimana situasi-kondisi-akomodasi peserta setibanya di Ubud. Misalnya, apakah peserta sudah mendapatkan pelayanan yang layak atau tidak?
Beberapa agenda UWRF masih berbentrokan dengan agenda lain, meskipun waktunya sudah diatur berbeda tapi dikarenakan tempatnya yang sangat berjauhan, alhasil ada beberapa peserta yang sulit untuk menghadiri semua agendanya. Misalnya ketika launching buku Saraswati ada beberapa penulis yang tidak bisa hadir karena ada agenda lain, pembacaan sajak di Denpasar.
Pemetaan agenda yang dibuat panitia cukup fatal, karena jika pembaca tidak teliti mereka akan tersesat. Masalahnya sederhana, dalam keterangan peta seharusnya ditulis nomor dulu kemudian nama tempat, sementara dalam peta yang dibuat panitia ditulis nama tempat dulu kemudian nomor. Hal tersebut membuat beberapa peserta nyasar ke tempat yang salah.
Ada beberapa informasi simpang siur dan "otoriter", kerap terjadinya kesimpang-siuran untuk beberapa agenda UWRF dan terjadi pula penghilangan acara tanpa kejelasan. Misalnya pembacaan sajak dalam agenda tribute to tsunami Aceh yang tiba-tiba dihilangkan tanpa kejelasan.
Dalam titik tertentu yang dianggap "membahayakan" atau "memalukan" panitia, tidak segan-segan panitia melakukan interpensi dalam acara UWRF. Misalnya melakukan penghilangan sesi wawancara, menghilangkan sesi dokumentasi, bahkan menghilangkan agenda UWRF itu sendiri.
Sungguh disayangkan, karena hakikatnya sastra adalah dunia yang tak harus dikekang. Tak ada yang perlu ditakuti atau dimalu-i dari sebuah ekspresi sastra. Dalam hal ini, panitia masih dibebani oleh "tekanan moral" sehingga menjadi bersifat sangat tertutup terhadap "kritik wacana yang frontal dan satire" dalam ajang UWRF. Cut!
Porsi Penulis Indonesia (non emerging) di UWRF 2014
Para penulis Indonesia (non emerging) yang menjadi pembicara pada panel diskusi masih sangat terbatas. Hanya ada beberapa penulis Indonesia yang dihadirkan dalam sesi diskusi, selebihnya didominasi oleh penulis barat.
UWRF sebagai bentuk kampanye sastra Indonesia, sewajarnyalah dapat mendatangkan lebih banyak penulis Indonesia dan diutamakan bukan penulis gaek yang namanya sudah wara-wiri di dunia kepenulisan tapi penulis yang kurang mendapatkan perhatian dan kurang mendapatkan ruang di publik sastra.
Tentang Peserta UWRF 2014
Bila melihat out put peserta UWRF tahun sebelumnya, saya prihatin dengan peserta UWRF 2014 yang tidak berbaur menjadi lebur. Peserta (penulis+pembicara) UWRF tahun-tahun sebelumnya yang sekelas Saut Poltak dan AZN pada mau kok duduk bareng, sharing tentang ini dan itu, kemudian lahirlah buku Back to Ubud dan mungkin beberapa "out put" sastra lainnya.
Beberapa peserta UWRF 2014 cukup "arogan" dan "menolak" meluangkan waktu untuk sekadar sharing bareng (termasuk saya :D). Satu-satunya peristiwa ngumpul bareng ya cuma waktu nunggu jemputan ke tempat makan malam.
Tidak ada out put bersama yang bisa dirumuskan oleh para peserta UWRF 2014 mengenai sastra di Indonesia atau setidaknya untuk ke-15 penulis itu sendiri. Seakan setelah selesai UWRF "terserah lu pada mau ngapain, gue ga peduli!" Boro-boro duduk bareng dan biacara tentang sastra, wong disapa di jalan aja dia malah melengos, buang muka, dan pura-pura tuli :D Kkkk.
Entahlah, kenapa harus begitu. Mungkin karena sudah merasa besar dengan buku-bukunya yang nangkring di Gramedia, atau merasa hebat setelah bertahun-tahun kuliah di luar negeri atau entahlah. Meskipun demikian, saya berharap semua penulis emerging UWRF 2014 akan terus berkarya, membaca dan menulis.
UWRF bagaimanapun bukan ajang idol, menjadi bintang (dan bersikap sombong) untuk kemudian padam menjadi abu.
Diskriminasi Warna Kulit dalam UWRF 2014
Sumpah, judul di atas sebenarnya berlebihan. Intinya, kerap terjadi pembedaan antara para penulis berkulit pucat dan penulis emerging Indonesia. Misalnya contoh yang sangat sederhana, partikular dan menjengkelkan: shuttle bus tidak mau mengantar 4 penulis Indonesia yang mau pulang ke penginapan pada sesi private dinner (yang selalu ada daging babinya itu), supirnya tidak mau memacu kendaraannya dan bilang "Nunggu penuh ya."
Beda lagi halnya ketika penulis bule yang masuk mobil, sopir langsung memacu gas dan mengantar mereka ke penginapan. Kenapa nggak nunggu penuh ya, padahal si bule cuma 3 orang? What the Fuck! (Jujur, saya curiga perlakuan tersebut memang diinstruksikan dari atas :D) Hihihi
Dunia sastra macam apa yang akan dibangun bila ia harus dibangun di atas pondasi-pondasi diskriminatif? Sastra Indonesia macam apa yang ingin diajukan kepada dunia bila sejak dalam pikiran sudah dinomor-duakan?
Apa yang Saya Lakukan Selama di Ubud
Tentu saya mengikuti semua agenda yang telah diatur oleh panitia. (Maaf terlambat untuk agenda utamanya dikarenakan keperluan ibadat salat Jumat yang sangat jauh dari TKP UWRF). Selain mengikuti agenda UWRF saya lebih banyak diam di penginapan, menyelesaikan cerpen, carpon, dan sajak sunda.
Saya hanya berwisata ke Monkey Forest dan ke masjid Al-A'la di Gianyar untuk keperluan salat Jumat dan Iedul Adha. Sisanya saya pakai untuk ngobrol dengan penduduk lokal. Saya selalu jelaskan, bahwa saya butuh semacam "data" untuk keperluan menulis cerpen. Mereka pun sangat welcome dengan kepentingan tersebut dan berbagi informasi sampai saya kenyang :D
Keren! Penduduk lokal Bali ilmu pengetahuannya dalem-dalem. Mereka seakan tidak akan kehabisan kata-kata untuk bercerita perihal apa saja mengenai praktik-praktik peribadatan dan ritual-ritual keagamaan di Ubud. Terima kasih untuk para penduduk lokal yang sudah memberikan saya ilmu yang sangat banyak.
Sayang, saya tidak bisa ikut agenda penutupan UWRF (closing party) dikarenakan jatuh sakit, hidung deras meler dan demam (meriang).
Tentang Buku Antologi Saraswati UWRF 2014
Kualitas cetaknya jelek!
Harapan untuk UWRF Tahun Berikutnya
Secara keseluruhan UWRF terlaksana dengan sangat baik, saya memberinya 4/5 bintang secara sukarela. Tak ada harapan lain kecuali memberikan dukungan agar festival sastra ini terus berlanjut, terus memeriahkan dunia sastra Indonesia dan dunia.
---------------------------------------
*Kok bisa nggak makan 3 hari?
Bisa! Pada hari Sabtu saya puasa Iedul Adha dan hanya berbuka dengan Pulpy orange, tidak ada acara makan berat di acara launching antologi saraswati dan ketika mau ke RM Padang langganan sudah tutup, alhasil malkist abon yang tinggal setengah dilahap sampai tandas. Pada hari Minggu, RM Padang langganan yang ingin saya satroni, tutup liburan Ied. Hari Senin pagi barulah saya minta makan ke hotel, sepisin roti bakar+buah2an. Ajip!
Belum ada tanggapan untuk "Ubud Writers and Readers Festival 2014 (Merangkum Ingatan, Mengekalkan Jejak)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar