Assalamualaikum... Langsung saja, sekarang Admin akan menulis tentang
Puisi Soni Farid Maulana di Pikiran Rakyat. Hmmm... Koran Pikiran Rakyat ini entah kenapa menjadi pusat perhatian yang besar bagi penulis di Jawa Barat. Eh, Pikiran Rakyatnya atau Soni Farid Maulananya yang jadi perhatian? :D
Ciee cieee
Kemarin-kemarin, sempat terjadi semacam dialog yang lumayan menarik antara Sinta Ridwan dan Soni Farid Maulana perihal dimuatnya puisi Soni Farid di koran Pikiran Rakyat. Kok bisa?
Sebenarnya "surat cinta" Sinta Ridwan bukan yang pertama, sebelumnya pernah dan sering penulis lain melontarkan surat serupa untuk Soni Farid Maulana. Hanya saja masih sebatas status pendek, bukan surat cinta panjang seperti yang dilakukan Sinta Ridwan kali ini.
Mungkin ini semacam titik puncak dari kekecewaan pembaca kolom sastra Pikiran Rakyat. Jedaaar! Meledak melalui tulisan Sinta Ridwan :D
Kematangan Menulis Belum Tentu Sepadan dengan Kematangan ...
Pertama, Admin sebenarnya "kecewa" dengan tulisan Sinta Ridwan yang menyoroti puisi Sonian. (Apa pula itu Sonian, makanan atau pernak-pernik sepatu?) Duh Neng Sinta, abaikan saja bagian ini, mau Sonian, mau Puisi Esai, silakan saja, seorang penulis bebas menciptakan gayanya masing-masing dalam dunia penulisan. Toh waktu akan membuktikan gaya Sonian, Puisi Esai itu mampus atau menjadi bagian dari budaya penulisan. (Kalau puisi esai sih, sepertinya bisa bertahan lama, mafia sastranya ajib sih. Banyak modal, bisa membayar sebagian besar jawara sastra Indonesia, termasuk menjadi donatur beberapa media sastra terkemuka di Indonesia, dll dll dll.)
Kedua, Admin lebih tertarik untuk menyoroti intensitas pemuatan puisi Soni Farid Maulana di koran Pikiran Rakyat. Emang sering banget ya?
Tulisan Soni Farid Maulana di Pikiran Rakyat 2015
1 Maret 2015
11 Januari 2015
Tulisan Soni Farid Maulana di Pikiran Rakyat 2014
18 Mei 2014
27 April 2014
09 Maret 2014 (cerpen)
26 Januari 2014
Tulisan Soni Farid Maulana di Pikiran Rakyat 2013
Teangan we sorangan!
Bila tidak ada data yang terlewat,pada tahun 2015, Soni Farid sudah menangkringkan karyanya sebanyak 2 kali, jarak dari karya pertama ke karya berikutnya adalah 2 bulan kurang 10 harian.
Pada tahun 2014 terutama di awal tahun memang cukup kurang ajar, setiap bulan ada tulisan Soni Farid Maulana (Maret, April, Mei). Intensitas pemuatan karya Soni Farid ini sempat menabuh kegaduhan di Jawa Barat beberapa waktu lalu tapi hanya dalam bentuk status pendek saja dan masih sekadar bisik-bisik. Soni Farid rupanya punya sinyal bagus, dia memberi jeda setelah bulan Mei, tiarap sejenak atau entahlah apa namanya.
Ketiga, penjelasan Soni Farid Maulana terutama dalam status (bukan surat panjang) lumayan teu perlu dan teu kaharti :D
"Jika sajak yang Anda tulis untuk HU Pikiran Rakyat tidak dimuat, kenapa menuduh saya tak memberi tempat. Sejak tahun 2004 saya bukan redaktur puisi di HU Pikiran Rakyat. Jika sajak Anda tak dimuat tanya redakturnya, atau tanya diri sendiri -- kenapa tidak dimuat. Satu hal yang Anda harus ketahui,, secara etika saya tidak diperkenankan nulis puisi di media massa sejenis (koran). Adakah undang-undang yang melarang saya berekspresi? Hawe Setiawan ketika pegang Cupumanik, begitu banyak karya yang ditulisnya dimuat di sana, misalnya cerpen terjemehan. Para Redatur Majalah Sastra Horison, silahkan lihat. Demikian juga Jurnal Sajak. Oh ya, lupa yang agung dan sakral itu bukan puisi, tapi Kitab Suci Al-Qur'an. Tak percaya tanya KH Ahmad Fawzy Imron"
"Kenapa menuduh saya?" Kalau melihat data di atas, bukan tuduhan sih tapi demikian adanya, pernah ada waktu di mana Soni menjadi sangat domina(t)if. Soni Farid hanya lupa bahwa dirinya bukan pemula di dunia puisi dan lupa bahwa berkespresi tidak hanya ditempuh melalui jalur kolom sastra di koran. Ada jalur ekspresi lain di luar sana (selain koran) yang jauh lebih berdampak dan bermanfaat.
"Secara etika ga boleh nulis puisi di koran lain. Adakah undang-undang yg melarang saya berkespresi?" Admin masih belum paham tulisan ini, kalau ke koran lain ga etis, kenapa ke koran sendiri bisa? Kenapa pula perbandingannya tak setara, perihal mengirim ke koran lain Soni Farid bicara etika, ketika mengirim karya ke redaksi sendiri, Soni bicara undang-undang. Ganjlung!
Keempat, kematangan menulis tidak sepadan kematangan mental. Hal ini tidak hanya dialami Soni Farid, masih ingat dengan tulisan Pradewi TC beberapa waktu lalu, tulisan yang membuat Acep Zamzam Noor begitu malaweung menulisi puisi esai terkoplok di Jawa Barat sebagai jawaban untuk surat Pradewi. Ya, Soni Farid tidak sendirian, kemalangan dapat menempa siapa saja.
Seingat Admin, sedari tahun 2012-2015 ini belum pernah tuh Tribun Jabar memuat puisi Hermawan Aksan (moal pernah Bro, da di Tribun mah euweuh kolom puisi) atau Kompas memuat novel Fajar Arcana (sarua wae Bro, moal aya, da eueweuh kolom novel di Kompas) :D
Kalau menurut Admin sih, memang benar tidak ada undang-undang yang melarang "berekspresi" di PR (nepika belut jangjangan ge moal aya undang-undangna!), tapi alangkah lebih cetar bila penulis puisi sekaliber Soni Farid punya "jam tayang khusus" yang berkelas, elegan, dan cute.
Intinama kitu weh, cape juga bahas etika pengiriman naskah ke media, sudah sering. Angger weh kasusnya selalu begitu-begitu saja. Hmmm... Cape deh! Lagian tidak akan ada sesuatu apa pun yang bisa menghalangi tunas untuk tumbuh menjadi pohon rindang bila takdir telah menuliskannya. Pun sebaliknya, upaya-upaya manusia tidak lantas mengantarkannya pada harapan-harapan bila takdir tak menghendakinya. #halah
Note:
Tulisan ini dibuat dalam rangka euweuh gadag.
Belum ada tanggapan untuk "Kematangan Menulis Belum Tentu Sepadan dengan Kematangan ..."
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar