Ibu, pada akhirnya akan selalu ada banyak hal yang tidak mampu aku tandai sendirian. Tentang hujan-hujan di antara lengkung bulu matamu. Tentang bintang-bintang di tikungan sudut bibirmu. Tentang cahaya-cahaya yang aku tahu, selalu semburat di setiap malammu yang luruh menempuhi subuh, yang bersujud menyiangi malam dengan doa dan sabit. Palu dan jerit. Harap dan kelit.
Perjalanan ini masih ingin kutempuhi bersamamu. Sampai pada suatu persimpangan, ketika tangan-tanganku tak lagi mampu menulis sekadar tanda. Tidak juga mampu membubuh sekadar marka. Sampai kelak, ketika tangan-tanganku lapuk di persimpangan waktu. Sampai doa-doamu yang basah mengusapi aku di tanah merah.
Ada pun kebahagiaan-kebahagiaan yang tertunda, mimpi-mimpi yang tak sempat ditemui, dan cerita-cerita yang tak kunjung dituliskan. Semoga semua itu menjadi semacam nisan, tempat nama-namaku kautuliskan dengan cahaya, doa, dan ampunan.
Ibu, sekian puluh tahun bersamamu adalah memiliki segala kebahagiaan. Segalanya. Segala-galanya.
Karawang, 29 Mei 2015
Untuk Ibu, yang segala kebahagiaan hadir di dalam dirinya.
Selamanya. Selama-lamanya. Untuk Selamanya.
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Tentang Ia, yang Siangi Malam dengan Doa dan Sabit. Palu dan Jerit. Harap dan Kelit... Ibu"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar