Setelah menderita sakit panas selama tiga bulan, Bapak terlihat mengerikan. Tubuhnya ringkih dengan tulang-tulang bersembulan di sana-sini, kepalanya gundul dan kulit kepalanya dihuni banyak borok. Baunya busuk, menyengat. Selain mengerikan, Bapak menjadi sangat menjijikkan.
“Kamu tidak jijik?” berkali-kali pertanyaan itu diucapkan Bapak, nyaris di setiap kali aku membersihkan kepalanya.
“Bapak, jangan berkata begitu. Kenapa aku harus jijik?” Aku melipur hatinya.
Penampilan Bapak setelah sakit memang menjijikkan tapi aku tidak sedikit pun merasa jijik. Wajah tirusnya, ulang-tulang pipinya yang menonjol tajam, semakin kutatapi semakin membuat batinku berantakan.
“Bapak saja jijik melihat wajah sendiri.”
“Berhentilah berpikir begitu, Pak.”
Segala cara segala jalan selalu kuucapkan agar Bapak tidak terus-terusan mengutuki dirinya sendiri.
“Tidak perlulah kamu berpura-pura!” dengus Bapak.
Aku mengurut dada, merasa-rasakan belati yang mencacah hati. Terlebih lagi Bapak, tak mungkin kubayangkan betapa ia merasa berantakan.
***
“Sudahlah Pak Haji, saya tidak percaya kutukan.”
Selalu itu yang kusampaikan dengan ketus kepada Haji Arifin, ketika ia memberi nasihat tentang bagaimana menyembuhkan sakitnya Bapak.
“Pasti susah dimengerti saat ini tapi bila suatu hari kamu membutuhkanya, datanglah ke rumah.” Haji Arifin tetap tenang menanggapi sikapku yang dingin dan bahkan melecehkan.
“Tidak perlu Pak Haji. Terima kasih!” jawabku ketus, kemudian berlalu.
Sebenarnya dari semua orang di kampung, hanya Haji Arifin saja yang tidak kelihatan jijik melihat kondisi Bapak. Kebanyakan orang terang-terangan memperlihatkan rasa jijik mereka. Bahkan ada yang tidak sopan, menutup hidung dan muntah-muntah di depan Bapak.
“Si Arifin, bilang apa dia?”
Bapak rupanya mengintip dari jendela kaca, bola matanya yang cekung disesaki api.
“Tidak bilang apa-apa Pak.”
"|Jangan bohong kamu. Tadi Bapak melihat kalian saling bicara.” Sorot mata Bapak yang cekung menelanku dengan cara yang kejam.
"“Oh itu tadi, anu. Pak Haji bilang…”
“Si Arifin bilang kalau penyakit ini kutukan. Begitu, kan?” Suara Bapak tak ubahnya tombak perang, ganas menghunjam.
“Iya, begitu kata Pak Haji. Benarkah Bapak jatuh sakit setelah menebang serumpun pohon honje keramat di pemakaman?” Aku sampaikan apa yang dikatakan Haji Arifin.
“Kamu mulai percaya takhayul rupanya.” Jawab Bapak, tajam, “sudalah. Bapak mengerti maksudmu, kalau kamu mulai merasa jijik, besok hari biarkan Bapak yang bersihkan sendiri borok-borok sialan ini!” Bapak mendengus lagi, kemudian membuang muka ke jendela. Matanya yang cekung menyemburkan tatap membara.
Penyakit yang mendera Bapak tidak hanya merusak tubuhnya saja, juga merusak pikirannya. Bapak menjadi sangat emosional. Hal-hal sepele dan bertujuan baik sekali pun kerap membuatnya marah-marah. Tidak ada yang bisa dilakukan ketika Bapak marah kecuali diam. Terus bicara atau berupaya menjelaskan sama saja dengan melemparkan kayu ke dalam api yang berkobar. Amarah Bapak akan semakin berkobar. Semakin neraka.
***
“Dun, maafkan Bapak tadi sore.” Ucap Bapak, tercekat. Nada suaranya bersunggu-sungguh. Kedua matanya yang cekung kini menelanku dengan perasaan menyesal yang dalam. Emosi Bapak bisa berubah kapan saja, tiba-tiba mengamuk, tiba-tiba menyedihkan, tiba-tiba tak bisa diterjemahkan, teramat sangat dingin.
“Iya Pak, sudahlah, taka apa-apa. Sekarang tidurlah.” Aku mengusap-ngusap punggung Bapak. Membenahi bantal, merebahkannya, memasangkan selimut di sekujur tubuhnya.
Bapak menatapku, cekung matanya tidak lagi dipadati perasaan sesal. Cahaya matanya begitu dingin, tidak berisi harapan, tidak berisi apa pun. Kosong.
Pada suatu malam, akhirnya aku menyerah juga. Aku tidak bisa menahan rasa penderitaan. Setelah Bapak tertidur, diam-diam aku menyelinap, menuju rumah Haji Arifin. Tindakan yang bisa dibilang ceroboh karena bila Bapak terbangun dan tahu aku tidak berada di rumah, Bapak bisa mengamuk.
Rumah Haji Arifin sudah sepi, memang terlalu larut untuk bertamu tapi ada hal penting yang ingin kubicarakan. Aku ingin mendapat penjelasan perihal pohon honje keramat itu.
Setelah mengetuk pintu tidak lebih dari tiga kali, Haji Arifin menyembul dari dalam rumah. Raut wajahnya selalu semringah, meskipun aku berkali-kali bersikap dingin dan ketus kepadanya.
“Masuklah, Nak Sadun, kenapa berdiri saja di luar.”
Di dalam ruang tamu, aku bertanya tentang banyak hal. Selama ini aku mungkin salah, selalu menutup telinga. Kini, apa salahnya mendengarkan nasihat beliau, mungkin ada benarnya. Mungkin Bapak bisa disembuhkan.
“Perihal pohon honjet keramat itu…” Haji Arifin melenguh sejenak, seperti ada beban berat di dalam dadanya, matanya menerawang, “pohon honje keramat itu. Dulunya begini…”
Haji Arifin berhenti lagi bicara, lehernya seperi tersumbat. Aku diam saja, ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada Bapak dan pohon honje sialan itu.
“Dulu, jauh sebelum kamu lahir, pernah datang seorang nenek-nenek misterius ke kampung kita. Dia menanam pohon honje di pemakaman kampung kita, sebelum pergi dia berpesan, tidak boleh ada seorang pun menebang pohon itu sampai suatu hari ia kembali.” Begitulah ceritanya.
“Apakah nenek itu pernah kembali ke kampung kita?”
"Sampai saat ini tidak pernah kembali. Kami sudah mengingatkan Bapakmu untuk tidak menebangnya tapi ia bersikeras. Malamnya Bapakmu langsung sakit. Begitu ceritanya.” Pungkas Haji Arifin.
“Maaf Pak Haji, sebenarnya saya tidak percaya kalau Bapak sakit karena menebang pohon honje keramat itu.”
“Bapakmu juga tidak percaya, sama sepertimu Nak Sadun. Itu sebabnya dia menebang pohon tersebut tapi malamnya Bapakmu langsung sakit.”
“Maaf lagi, kalau begitu menurut Pak Haji, ya silakan. Saya tetap saja tidak percaya. Tapi… Bagaimana bila menanam lagi pohon honje baru di tempat yang sama, mungkinkah Bapak bisa disembuhkan?”
“Hmm… Begini Nak Sadun.” Pak Haji menatapku, sorotnya teduh, “Pilihannya sangat berat. Berat.”
“Katakan saja Pak Haji, apa pun risikonya saya akan lakukan demi kesembuhan Bapak.” Aku berharap ada sedikit jalan terang.
“Bapakmu bisa sembuh tapi setelah sembuh…” Haji Arifin menarik napas dalam-dalam.
“Setelah sembuh, kenapa?”
“Sehatnya tidak akan lama. Pilihannya seperti itu, Bapakmu berumur panjang bersama penyakit kutukan atau disembuhkan kemudian …”
“Sudah Pak Haji, sudah. Saya mengerti maksudnya. Omong kosong!”
Siapa yang tak kesal mendengar seseorang mengukur kematian Bapaknya sendiri. Siapa yang rela?
“Sabarlah Nak Sadun, itu semua sudah suratan. Bapakmu sudah tahu akibat dari perbuatannya, sangat tahu. Tidak ada yang bisa dilakukan selain dua pilihan itu.” Haji Arifin tetap tenang, getar lembut suaranya membuatku merasa temaram.
Kaca-kaca bening, berserpih di kedua bola mataku. Kutahan sekuat tenaga, wajahku terbenam jauh ke dalam dada. Jauh ke dalam rasa nyeri di batin sendiri.
“Sekarang pulanglah, jangan sampai Bapakmu tahu kamu datang ke sini. Besok lusa mungkin Nak Sadun sudah bisa berpikir lebih jernih.” Tangan-tangan lembut Haji Arifin mengusap bahuku.
***
Berhari-hari, berminggu-minggu, aku tidak bisa mengabaikan nasihat Haji Arifin. Kondisi Bapak kian hari kian payah, penyakit borok di kepalanya kian menjijikkan, semakin dalam dan lingkarannya semakin melebar. Nanah busuk tak hentinya menggenang. Baunya tentu saja semakin menyengat, busuk tiada tertahan.
“Kenapa Bapak tidak mati saja.” Bapak mendengus, mengutuk. Kepal tangnnya bergetar memukul-mukul dadanya sendiri. Wajahnya melolongkan murka yang amat sangat.
“Pak tenang Pak. Bapak pasti bisa sembuh.” Aku melerai tangan Bapak, kudekap amukannya yang meradang. Bau busuk dari luka-luka di kepalanya menyembur ke dalam dadaku.
“Omong kosong! Bapak tidak akan sembuh, penyakit sialan ini tidak bisa disembuhkan! Bapak ingin mati saja.” Bapak semakin menjadi, kakinya menendang-nendang.
“Pak! Eling!” Aku semakin erat mendekap Bapak, sorot mataku kini membelati, “Jujurlah Pak, Bapak tahu penyakit ini bisa disembuhkan.”
“Apa maksudmu anak bodoh?”
“Pak Haji sudah menceritakan semuanya,” akhirnya aku tak kuasa lagi untuk menahan rahasia. Sebuah rahasia yang aku yakin sudah diketahui Bapak juga.
“Oh si Arifin lagi.” Bapak melotot, cekung matanya menyemburkan api, bara, dan neraka.
“Sudahlah Pak, tidak perlu mengutuk lagi…”
“Jadi kamu sudah tahu dan sekarang kamu menyalahkan Bapakmu sendiri!” Bapak meronta, “si Arifin benar, Bapak bisa sembuh tapi tidak lama kemudian Bapak akan mampus! Begitu kan, begitu katanya!”
Seketika tubuh Bapak melemas, tangan-tangannya kini layu terkulai, wajahnya terbenam. Aku memeluknya, tidak ingin melepaskannya. Aroma busuk luka-luka di kepalanya tergenang di dalam dadaku.
“Si Arifin benar, semua ini salah Bapak. Nak, Bapakmu ini terlalu bodoh. Pohon honje keramat itu tidak seharusnya ditebang. Apa yang harus Bapak lakukan sekarang, apa?” Suara Bapak kini lirih, nyaris terbenam ditelan getar sesenggukan yang meradang.
“Syukurlah kalau Bapak sadar, bersabarlah Pak. Percaya saja, suatu saat Bapak pasti sembuh.” Aku melepaskan pelukan, kutatap cekungan mata Bapak.
“Iya, suatu saat Bapak pasti sembuh.” Bapak meracau, matanya yang kelam mentapku, merambatkan kekosongan. Sorot matanya tidak bisa kuterjemahkan. Sudut-sudut bibirnya perlahan terangkat, melengkung menjadi senyuman. Bulir bening meleleh dari sudut matanya yang kosong.
Punggung lenganku lembut mengusap kesedihan-kesedihan yang berlarian di wajahnya. Bapak terus saja menatapku, tatap yang tidak bisa kujelaskan.
***
“Bangun kau pemalas, hari sudah siang.”
Aku tersentak. Mataku berkerjap-kerjap menatapi Bapak yang berdiri kokoh. Wajahnya segar, tidak tampak sedang sakit.
“Bapak sudah sembuh.” Bapak menepuk-nepuk bahuku, senyumnya melengkung lebar. Kemudian berlalu meninggalkan kamar. Antara sadar dan tidak, aku menatapi Bapak, melihatnya berjalan ke ruang tv, menonton televisi. Borok-borok yang semalam masih basah dan menjijikkan, kini mengering. Baunya yang menyangat tidak lagi tercium.
Aku bergetar, teringat ucapan Haji Arifin. Tidak salah lagi, Bapak pasti memilih untuk sembuh tapi umurnya tidak akan lama lagi. Seketika aku melesat menuju pemakaman, ingin lebih yakin apakah Bapak sudah menebus kutukan atau Bapak sembuh karena keajaiban.
Aku tidak melihat pohon honje baru ditanam di pemakaman. Sudut bibirku melengkung, aku tersenyum. Bapak tidak menebus kutukan, “kutukan omong kosong!” Aku tersenyum-senyum sendiri, kutukan pohon honje keramat terlalu dibesar-besarkan. Buktinya, Bapak bisa sembuh tanpa menanam pohon honje.
“Kamu menemukan pohon honje di pemakaman?”
Rupanya Bapak mengetahui tujuanku tadi, aku mengulum senyum, begitupun Bapak, “tenanglah, Bapak tidak menanam pohon honje itu. Kesembuhan Bapak ini mungkin sudah begini jalannya. Dadak sakala.” Bapak menatapiku, senyumnya terkembang.
Aku duduk bersebelahan dengan Bapak, menonton tv. Setelah berbulan-bulan, baru kali ini aku bisa merasakan lagi duduk bersebelahan dengannya, menonton berita, mengeja peristiwa yang terjadi di layar kaca.
Sesekali Bapak menyeruput teh hangat yang dibuatnya sendiri. Aku hanya tersenyum, mataku sesekali menatapi layar kaca, seringkali melirik Bapak dengan sudut mata. Bapak duduk dengan kaki dilipat, satu memakai sandal merah kesayangannya, satunya lagi tidak. Sudahlah, biarkan saja, mungkin tertinggal di kolong ranjang.
Tangan Bapak meraih gelas teh lagi, mencengkeramnya. Sebelum sisa-sisa teh disesapnya sampai tandas, tangannya seketika terkulai. Gelas kaca jatuh melayang, menumbuk lantai, pecah berserakan. Hatiku pun pecah menjadi beling pecah menjadi serpih. Bapak meninggal.
Malam setelah kematian Bapak.
Aku berbisik kepada Haji Arifin, suaraku sesenggukan, “Bapak tidak menebus kutukan untuk kesembuhannya tapi kenapa Bapak meninggal juga?”
Haji Arifin memberikan pelukan, tangannya yang lembut mengusap-ngusap punggungku. Tidak sepatah kata pun yang diucapkan, dibiarkannya aku melarikan sekian banyak rasa sesak.
***
“Ini sandal Bapakmu, kan?” Pada suatu sore, beberapa hari setelah kematian Bapak, Darwis menjinjing sebelah sandal merah, “aku menemukannya di bawah pohon honje yang baru saja di tanam, di ujung kampung, di tempat yang tersembunyi.” Ucapnya.
Udara seketika menjadi garam, mataku merasakan pedih yang tiada tertahan.
Bandung, 14 Februari 2015
Belum ada tanggapan untuk "Kepala Bapak, Bunga (Cerpen Absurditas Malka - Inilah Koran 20 Juni 2015)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar