Akhirnya, ada cerpen yang diterima koran lagi. Lumayan honornya buat nambah-nambah bayar listrik. Udah 7 bulan listrik dibayarin sama Abang tercinta terus. Hahaha. Mari kita baca 17.000 Pulau Komunis rame-rame. (Ketidak-samaan nama, tempat, dan waktu dalam cerpen ini, adalah kesengajaan.)
Gan
Muhidin, ia mungkin reinkarnasi Narcissus. Bisa seharian ia mematut-matut diri
di depan cermin, menelisik wajah sendiri, bertatapan dengan bayangan sendiri,
mengobrol dengan dirinya sendiri. Seoalah keindahan 17.000 Pulau Komunis tiada
berarti disandingkan dengan wajahnya yang sejujurnya tak tampan-tampan amat.
“Apakah
tidak ada yang lebih tampan dari aku?” Demikian guman Gan Muhidin, gumam yang
sudah ribuan kali digumamkannya.
Jenggot di pipinya bak semut
berebut gula, acak-acakan, warnanya kian hari kian banyak yang memutih, “kenapa
kamu nakal sendiri, jenggot! Malas aku melihatnya!” Gerutunya, satu lembar bulu
jenggot tumbuh 3 kali lebih panjang dari jenggot lainnya.
Tekun,
Gan Muhidin menikmati pemandangan terindah di dalam cermin, wajahnya sendiri. Jenggotnya
yang semrawut, rambutnya yang acak bergelimpang, lipatan-lipatan kulit mukanya
yang memaritkan usia, sorot matanya yang tak sebinar beberapa puluh tahun
silam.
Semua
orang di Pulau Komunis sudah tak aneh lagi dengan kelakuan Gan Muhidin, mau apa
dikata? Nasi sudah menjadi bubur, tak bisa disembuhkan. Siapa yang bisa
menghalangi Narcissus dari cintanya kepada bayangan sendiri? Tak ada kecuali
kematian.
***
Bintang
laut berwarna biru terdampar di pasir putih, angin yang diberati aroma garam
lumer menyerbu gubuk di tepi pantai. Gubuk Paman Doblang dan keponakannya,
Sadun.
Biduk kecil terseok-seok
mencari jalan pulang, di atasnya Sadun sibuk membenahi udang tangkapannya
dengan tangan kanan, tangan kirinya sibuk menguras air di dalam biduk.
Bocor-bocor kecil biduk itu kian hari kian menggila, bila tak dikuras dengan
tangkas tentu akan segera tenggelam.
“Paman,
hari ini aku menangkap udang yang sangat banyak.” Teriak Sadun dari kejauhan,
pamannya tak acuh, sikapnya dingin-dingin saja, “kenapa Paman tidak berbahagia,
tangkapanku hari ini teramat-sangat banyak!”
“Kenapa
harus berbahagia?”
“Kenapa
Paman tidak bisa berbahagia?”
“Seratus
atau seribu udang yang kau tangkap, nelayan tetaplah nelayan.”
“Apakah
itu penting, bukankah jauh lebih penting untuk bisa menjual udang dan
menghasilkan banyak uang?” dahi Sadun berkerut.
“Itu
penting!”
“Kenapa
penting, adakah yang lebih penting dari menghasilkan uang?”
“Tanyakan
saja pada Gan Muhidin, aku lelah.” Paman Doblang ngeloyor raut mukanya tampak
kusut, direbahkannya sekujur tubuh di bawah pohon kelapa. Jemari kakinya
melesak ke dalam pasir.
“Nanti
akan kutanyakan tapi Paman janganlah kau berteduh di sana nanti kepalamu
ketiban kelapa seperti kemarin. Hahaha…” Teriak Sadun, dipungkas cekakak yang
segar.
“Aku
akan mendapatkan uang banyak.” Gumam Sadun, dihitung dan dipilah-pilahnya udang
sesuai ukuran. Bibirnya tak henti tersenyum, riang sangat riang.
“Paman!
Aku akan mendapatkan uang banyak bila semua udang ini terjual di pasar.”
“Cepatlah
kau pergi ke pasar!”
Sadun
mengangguk, dibopongnya udang-udang dalam kantung, dibawanya ke pasar ikan.
Sepanjang perjalanan menuju pasar, senyum riang tak hentinya menderas, membasahi
keringatnya yang berhujan.
***
Tepat ketika matahari
memerah, meleleh di atas batu karang, Sadun sudah pulang.
“Kau jual ke siapa
udang-udangmu?”
“Ke siapa lagi, tentu ke
Mbok Dori. Aku sedang malas menjualnya ke Mbok Lasmi, jauh.”
“Mana uangnya?” Paman
menyodorkan tangan, meminta setoran.
“Paman mau minta uangnya? O,
tentu tidak. Seharusnya Paman jangan begitu, pergilah ke laut dan tangkaplah
udang yang banyak bila ingin memiliki uang sebanyak ini.” Sadun
mengipas-ngipaskan sejumlah uang kertas ke wajahnya.
“Cepatlah, berikan kepadaku.
Kita harus memperbaiki biduk, aku tidak mau kau mati di tengah lautan karena
biduknya tenggelam.”
Akhirnya, Sadun menyerah,
semua uang itu diserahkan dengan wajah pasrah. Tidak sepeser pun yang ditahan,
“cepatlah perbaiki biduknya, Paman. Aku ingin mencari udang lagi. Aku ingin
mendapat uang lebih banyak lagi.”
“Kau pikir begitu ya? Tidak
bisa! Bantulah aku memperbaiki biduk jelek itu. Ayo!”
“Ya Tuhan, degil sekali
Pamanku ini.” Sadun menggurutu, terpaksa ia menurut, menguntit pamannya,
membantunya memperbaiki biduk.
“Paman, tadi aku mendengar
kabar. Akan ada sayembara untuk nelayan.” Ucap Sadun, tangannya erat memegangi
papan yang sedang dipaku pamannya.
“Sayembara untuk nelayan?”
“Iya, pemerintah sedang
mencari nelayan hebat, nantinya nelayan yang paling hebat akan diberikan
hadiah.”
“Namanya juga sayembara,
pasti akan dapat hadiah.”
“Pemenangnya akan dibiayai
negara untuk berlayar ke Jerman.”
“Jerman, di mana itu?”
“Aku tidak tahu di mana
Jerman itu, sepertinya sangat jauh. Katanya, di sana selalu diadakan pertemuan rutin
bagi semua nelayan hebat dari berbagai penjuru dunia.”
“Terus?”
“Terus, cepat-cepatlah
perbaiki biduk ini. Aku ingin mengikuti sayembara itu. Aku ingin berlayar ke
Jerman. Aku ingin bertemu dengan nelayan-nelayan hebat itu.”
“Bruakakaka… Ndasmu!” Paman Doblang
terpingkal-pingkal mendengar semangat keponakannya.
“Kenapa Paman
menertawakanku?” Sadun kesal.
“Kau pikir kau akan menang?
Coba kau lihat biduk itu, coba kau lihat tubuh kuntetmu itu. Kau pikir kau ini
nelayan hebat?”
“Ah Paman, janganlah kau
berkecil hati. Apapun yang Paman katakan, aku tetap saja akan mengikuti
sayembara itu.”
“Terserah!” jawab paman,
dingin.
“Paman tidak mendukungku?”
rasa kesal Sadun memuncak.
“Untuk apa mendukungmu? Jika
semua nelayan di sini ikut sayembara, aku sudah tahu siapa pemenangnya. Bogel,
Caruk, Surandil, Dasman, Sukab. Merekalah nelayan terbaik.”
“Ya, ya, ya, aku tahu.
Memang merekalah nelayan hebat. Mereka selalu berhasil menangkap ikan banyak,
perahu mereka juga bagus bukan biduk mengenaskan seperti yang kita punya.”
“Kau pikir mereka menjadi
hebat karena mereka berhasil menangkap ikan banyak? Karena mereka memakai
perahu bagus?”
“Mereka memang begitu.”
“Bukan begitu, mereka
menjadi hebat karena sejarah.”
“Aku tidak mengerti.” Sadun
melongo.
“Tahun Sembilan belas enam
puluhan, ketika mereka masih seusiamu, mereka sudah kenyang minum air garam.”
“Aku juga sudah pernah
meminum air lautan, apa bedanya?”
“Mereka tidak hanya nelayan,
mereka adalah sejarah.”
“Rumit sekali omongan Paman
ini, aku semakin tidak mengerti.”
“Singkat cerita, pada tahun
Sembilan belas enam puluhan, ketika tujuh belas ribu Pulau Komunis dikepung
bajak laut. Merekalah yang dengan gagah berani berlayar di lautan, mengendap di
gunungan gelombang, melewati benteng-benteng batu karang. Mengakali bajak laut
yang buas menyerang.”
“Bajak laut benar-benar ada?
Kukira itu hanya dongeng saja.”
“Sudahlah, terserah kau
saja, mau ikut sayembara atau tidak, terserah. Bidukmu kini sudah bagus,
bocor-bocornya sudah selesai diperbaiki.”
Rembulan melingkar di
awang-awang. Cahanya runtuh menimpa gelombang, “aku ngantuk. Aku ingin tidur.”
Gumam Sadun meracau, tubuhnya ambruk di dalam biduk. Tak lama berselang
terdengar ia mendengkur.
***
Beberapa
bulan kemudian, tepat pada hari pengumuman pemenang sayembara nelayan hebat
yang diselenggarakan oleh pemerintah, “Paman! Paman! Paman!” Sadun
terbirit-birit menuju gubuk Paman Doblang.
“Kenapa
kau bocah, kenapa kau berteriak-teriak?”
“Mereka Paman, mereka tidak
memenangkan sayembara.” Napas Sadun tersengal-sengal, matanya mendelik menahan
sesak.
“Mereka siapa?”
“Bogel, Caruk, Surandil, Dasman,
Sukab, nelayan-nelayan hebat itu tidak ada yang terpilih.”
“Tidak satu pun? Lalu siapa
pemenangnya, kamu?”
“Ayolah Paman, bila mereka
saja tidak menang, bagaimana aku bisa menang?”
“Lalu siapa pemenangnya?”
“Mbok Dori dan Mbok Lasmi,
mereka berdua pemenangnya.”
“Ciyus, kata siapa?”
“Demi gelombang lautan dan
biduk kita yang mengenaskan, aku tidak berbohong Paman. Tidak.”
“Demi udang-udang besar yang
selalu kau bawa pulang. Demi uang-uangmu yang selalu kau serahkan kepada Paman.
Inilah kabar terbusuk yang pernah Paman dengar.”
“Aku tidak mengerti Paman,
mereka bukan nelayan, mereka hanya tengkulak pasar. Setiap hari mereka ada di
pasar, bukan di lautan tidak pula bekerja sebagai nelayan.”
“Kabar apalagi yang kau
dengar di pasar?”
“Hanya itu.”
“Hanya itu saja?”
“Ya hanya itu. Apa lagi yang
harus kudengar?”
Lumba-lumba kesepian
meloncati gelombang, berkecipak di permukaan. Meliuk-liuk menghindari batuan
karang. Mata yang penuh pertanyaan menatapi biduk, sorotnya temaram.
Kabar
tentang Mbok Dori dan Mbok Lasmi yang dinobatkan sebagai nelayan terhebat, kian
hari kian terdengar menjengkelkan. Betapa tidak mereka bukan nelayan, bukan
nelayan terhebat seperti yang ramai diberitakan. Mereka hanya orang-orang pasar
yang sesekali saja berjalan-jalan di sisi lautan. Sesekali saja terciprat
muncratan gelombang di tepian. Mereka bahkan belum pernah merasakannya
bagaimana segunung gelombang datang menghantam, sampai terlempar ngajedak ke runcingnya batu karang,
sampai berdarah, sampai lebam. Sampai kematian hanya berjarak satu jengkal.
***
“Kenapa kau menjadi muram?”
“Aku tidak mengerti Paman,
bagaimana caranya tengkulak pasar itu bisa mengalahkan nelayan-nelayan hebat?
Sayembara itu hanya memenangkan dusta.”
“Sudahlah, tidak perlu kau
heran. Gan Muhidin telah mengatur segalanya.”
“Gan Muhidin, apa urusannya
dengan orang tua genit itu?”
“Ahahaha… Genit? Selain
genit kamu harus tahu juga, Gan Muhidin itu orang licik yang ulung. Dia bisa
melakukan apa saja untuk apa saja.”
“Ya Tuhan, selain genit
rupanya tua bangka itu gemar menipu, mengarang kebohongan, dan
menghabis-habiskan anggaran negara. Degil!”
Kabar tinggal kabar,
muslihat tinggal muslihat. Besok, orang-orang pasar itu akan berlayar ke negeri
Jerman, bertemu dengan ribuan nelayan dari penjuru dunia. Tentu, mereka akan
bicara tentang pasar, tentang bagaimana mencari uang, tentang bagaimana menipu
di keramaian, bukan tentang jaring dan ikan, bukan tentang derasnya adrenalin
ketika hidup dan mati hanya terpisah selapis buih di lidah gelombang.
“Hoi!
Bajak laut di tujuh samudra, bangkitlah kalian!” jerit Sadun.
“Kenapa
kau berteriak begitu?”
“Supaya
Gan Muhidin dibajak di tengah lautan.”
“Hussss! Mana mungkin, Gan
Muhidin itu bajak laut!”
“Hoh?” Sadun terjengkang,
nyemplung ke lautan.
Blubuk!
Karawang, 5
Juli 2015
* Absurditas
Malka lahir di Karawang pada tahun 1982, menulis fiksi di beberapa media. Bekerja
sebagai blogger di Bandung.
KETERANGAN
Judul sangat terinspirasi oleh
17.000 Islands of Imagination, Frankfurt Book Fair 2015. Sekali lagi, kemiripan nama adalah kesengajaan.
Bagus sekali, sangat suka Om
ReplyDeleteTerima kasih kunjungannya... Saya juga barusan sudah mampir ke sang biru, blogmu dan sudah meninggalkan jejak di sana :)
Delete