Surat ini kini aku yakini tidak akan pernah sampai kepadamu, satu kata pun tidak pernah. Selain hantu-hantu yang bingung mencari rumah untuk pulang, rindu pun –percayalah
ada yang marakayangan. Tak tahu arah pulang, tak juga punya tujuan.
Ketika cinta sudah menjadi bangkai,
rindu menjadi hantu. Dan kau adalah pusara. Kepalaku sendiri adalah nisan, mengenangmu dengan tulisan-tulisan. Menandai yang telah tiada dalam ingatan sebagai entah apa. Entahlah.
Juli…
Akan kuceritakan kepadamu tentang kota yang di dalamnya ada matahari kembar. Di kota itu tidak ada pagi, tidak pula malam, pun senja. Tak ada. Waktu berputar dalam terik yang konstan, kecuali awan saja yang sesekali bergelantung, menaung sejuk untuk beberapa kejap. Sekadar sekejap.
Aku tak sengaja memasuki kota itu, katakanlah aku tersesat. Aku juga sekarat di sana. Sekarat. Kamu tahu kenapa? Karena bintang, karena rembulan, karena malam, karena kamu yang malam. Karena kamu yang gemintang.
Karena aku merindukan rembulan di kota yang tak pernah tahu bahwa rembulan itu ada. Merindukan sekadar kerling bintang yang pernah aku kagumi di matamu. Aku adalah satu-satunya yang hidup di kota terkutuk itu, menjadi hantu, hantu yang dikutuk untuk tidak pernah bertujuan, kebingungan, terjebak kekal dalam kebuntuan.
Di kota itu, aku tak menemukan bintang-bintang tidak pernah. Tidak juga mungkin menemukan malam. Tidakmungkin. Begitupun kamu, hanya mungkin kutemukan di dalam ingatan yang sudah memar.
Juli…
Kota itu, matahari kembarnya yang sialan itu, aku pernah membuat kekacauan di dalamnya. Aku memanah satu matahari, sampai koyak dan berdarah. Aku berharap ia jatuh dan tenggelam di atas telaga. Aku berharap ia padam. Aku berharap malam bisa kuciptakan, aku berharap bintang bisa diterangkan.
Rupanya tak demikian, aku salah. Matahari yang menganga legkap dengan anak panah yang menikamnya itu, meleleh. Tetesan cahanya jatuh di pusat kota, di pinggiran kota, nyangkut di tiang listrik, awur-awuran di atap rumah. Jatuh menjadi cahaya, tak membakar, hanya menerang saja, menjadi titik kecil-kecil yang jumlahnya entah berapa juta. Berjuta titik cahaya. Sialan! Aku semakin hantu.
Ya, aku tidak akan pernah mungkin menciptakan malam. Aku tidak akan pernah mungkin menerangkan bintang. Sampai pada akhirnya aku melarikan diri, meloloskan waktu dari cahaya. Aku berlari jauh, jauh ke dalam dadaku sendiri. Melalui jalan pintas yang menganga di dadaku, jalan pintas yang bolong karena terlalu rindu, karena rindu terlalu sering datang menonjok. Aku merayap, aku merambat, aku pada akhirnya berada di sini. Di dalam kenangan.
Juli…
Di sini, aku menemukan segalanya.
Belum ada tanggapan untuk "Matahari Kembar dan Lelaki yang Melarikan Diri ke Dalam Dadanya Sendiri"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar