Aku pernah
membenci banyak hal, pernah memaafkan banyak hal. Akan tetapi kehilanganmu, entah bagaimana aku harus memaafkannya? Memaafkan ritme gerimis yang derainya membawamu ke dalam genangan di pinggir jalan.
Sedalam-dalamnya air genangan, bisa kusentuh dasarnya. Bisa kureguk hingga mengering keruh dan sunyinya. Hanya saja, engkau tetap tiada, tidak di lumpur yang tersisa, tidak pula di celah kerikil yang menggigil.
1 + 1 seharusnya 2 atau yang selain 2, akan tetapi bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa gerimis telah membuatmu hilang? Gerimis yang ritmis, gerimis di akhir tahun itu, gerimis yang dingin ngilunya tak berkuasa untuk bekukan gelegak darah di nadi dan tapak tanganmu yang erat aku genggam.
Sebentuk bara yang tiba-tiba sirna. Segenggam api yang seketika menjadi arang, lalu hilang. Tubuhmu luluh, lumer berlari bersama gemericik hujan. Tenggelam di dalam genangan, di pinggir jalan, di bawah papan iklan, di depan kaca bening pusat perbelanjaan, di bawah jembatan penyebarangan orang, di depan mataku dan sekian banyak pertanyaan.
Jangankan kepada dunia, kepada batin sendiri pun aku masih ragu untuk mengatakan bahwa aku tidak gila. Bahwa aku tidak merasakan gigit dan cabikan sunyi, ketika hujan merajah kaca jendela. Ketika di beranda tak pernah mendatangkan sesiapa, apalagi kau.
Delapan musim kemarau, bagiku laksana segeser detik jarum jam di dinding kamar. Sedetik gerimis, sebaliknya, seakan menempuh ruang antara planet Jupiter dan ruang kosong di dalam dadaku. Seakan tak pernah habis sunyi itu mengetuk.
Bandung, pra-Desember 2015
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Menempuh Ruang antara Planet Jupiter dan Ruang Kosong di Dalam Dadaku"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar