"Apa yang sebenarnya terjadi hari itu,
9 Desember?"
Mulutmu pisau berkarat, hamburkan segala isi kotak pandora,
ngabudah serupa Citarum
sareureuhna hujan. Seisi dadaku bergetar, berderak, menahan sesak. Bukan karena pisau di mulutmu, bukan karena segala nestapa di kata-katamu. Karena seketika aku merasa terlempar ke dalam hujan.
Terjuralit ke dalam gemericik sunyi di batin sendiri.
Kemudian dengan segala perasaan
humaregung kuceritakan segalanya. Segalanya tanpa secuil riwayat yang dikhianat, tanpa sebaris kata yang dilipat. Segala-galanya, meskipun pada akhirnya aku tahu kau tetap saja tak percaya.
Tak ada nada ritmis lebih magis bagiku, kecuali ritme gerimis di bulan Desember, terlebih gerimis yang rinai di senja pengakhiran-sebelum malam. Sihir hujan, sihir kenangan, sihir segala sihir. Hati yang mendadak menjadi kebun bunga-bunga. Langkah kaki riang yang elok melayang-layang. Perasaan asmara yang membara. Bagaimana semua itu bisa dijelaskan dalam sekadar cerita, bagaimana aku bisa melukis tentang setiap bulir darahku yang melarikan asmara ke serabut sadar paling bara? Percaya sajalah bahwa cinta kadang lebih hangat di dalam kenangan.
Ia, berdiri di seberang sana, di bawah papan iklan, di bawah semburat cahaya lampu jalan, di celah gerimis yang ritmis berderaian...
bersambung
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ritme Gerimis 9 Desember, Kadang Cinta Lebih Hangat di Dalam Kenangan"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar