...
di antara
gerimis yang ritmis, di hari ke-9 bulan Desember. Ia berdiri megah di depan sana. Sesekali orang melintas, menutupi tubuhnya tapi tidak dengan pesona-pesonanya. Sesekali kendaraan
ngadirigdig, membentengi bening di matanya tapi tidak dengan cahaya-cahanya.
Ia di depan sana, hanya berjarak sekian detik perjalanan, sampai kemudian tak ada jarak lagi. Jemarinya yang bara, jemariku yang magma, berjabat, erat, hangat.
Matanya, cahanya. Senyumnya, pesonanya. Rupanya, kemegahannya. Tubuhnya, sihir-sihirnya. Segala-galanya.
Ia di sisiku, bahuku merasakan bahunya, langkahku seirama langkahnya, menjadi bodoh. Hanya menikmati ritme gerimis di trotar jalan, di bawah cahaya papan iklan.
Kukulunuan tanpa arah tak jelas tujuan. Bukankah selalu begitu orang-orang yang kasmaran? Menjadi bodoh dan merasa berbahagia.
Aku ingin malam itu berulang lagi, seribu kali lagi. Tapi, entahlah apa sebabnya, waktu selalu saja berlari lebih cepat untuk mereka yang jatuh cinta. Satu jam berkesiut sekedip mata, satu malam berkelesat
sajorelat.
Aku bisa saja menahan kincir di gedung itu agar berhenti berputar tapi bagaimana aku bisa menahan waktu agar beberapa detik saja tak bergetar? Walaupun
beberegeg, bagaimana semua itu mungkin?
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ritme Gerimis 9 Desember, Waktu Seharusnya Berhenti Bergetar untuk Mereka yang Kasmaran"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar