... Sejenak, ia kusimpan di dalam ingatan. Semakin dibahasakan, semakin ia menjalar mengulur sulur, mencengkeram ulu kalbu,
mancawura. Rongga di dadaku sudah sangat telaga, tentu bukan oleh darah, melainkan sekadar kenangan yang berdarah-darah.
Adapun
tentang hujan, tentang gerimis, bagiku semua berisik yang datang bersamanya adalah stasi paling sunyi. Semacam titik di antara sebuah garis yang di dalamnya segala hal tiba-tiba menjadi kosong, menjadi
simpe. Tanpa suara. Tanpa warna. Tanpa rasa.
Entah pada bulir gerimis yang ke berapa, perlahan di dalam dadaku pun turun deras hujan. Melarikan dingin, menelagakan hening. Telaga yang di tepinya kami berpegangan tangan, melempar batu pipih ke permukaan, lagi dan lagi, riang dan senang, terus dan terus,
deudeuieun. Telaga yang ketika aku bercermin di atasnya, hanya ada aku sendirian. Tanpa sesiapa, tak ada siapa-siapa.
Entah pada tingkat gigil semacam apa, aku merasakan hangat bara di tapak tangannya seakan merambatkan api. Membakar telaga-telaga,
ngabebela. Melumurkan magma di pipa nadi-nadi,
ngagogoplak. Menghangati segala-gala.
Sementara, hanya fana, sebagaimana lilin dalam genggaman, tak mungkin kekal memberikan cahaya-cahaya.
Hujan belum reda, kita menatapi sederet buku di jendela kaca. Aku membaca kata-kata di matanya, ia membaca bahasa-bahasa di mataku. Antara buku dan cokelat, kau akan memilih siapa?
...bersambung
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ritme Gerimis 9 Desember, Katakan Cinta dengan Buku Kemudian Cokelat "
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar