... Kemudian apa yang tersisa? Rasa gigil dan sesekali denyar gelombang yang berlari ke tepi genangan ketika bulir hujan terlepas dari daun-daun. Gelombang-gelombang sunyi yang merayapi dinding batin. Gelombang-gelombang rindu yang ingin menjangkau tepi terjauh telaga asmara.
Sepi.
Sisi lain dari kota adalah sepi , keremangan, bahkan kegelapan yang sempurna di sisi lainnya. Cahaya-cahaya berhambur, kerling papan iklan, gemuruh keramaian, semuanya sama saja bagi seseorang yang di dalam dadanya sesak oleh keheningan. Sejuta atau belasan orang, kesunyian pada akhirnya selalu menyederhanakan segalanya menjadi kesendirian.
Udara tak pernah bertuan kepada siapa-siapa, tidak juga berpulang pada sesiapa. Ia berkelana di kekosongan untuk waktu selamanya. Tak pernah kembali, tidak juga sejengkal pun pernah pergi. Memeluk sunyi selamanya.
Langit di atasku masih abu-abu, tanpa rembulan, tanpa bintang-bintang. Cahaya yang masih mau berkerlingan hanya ada di dalam ingatan, kedua matanya. Kalender di dinding kamar memampang angka 9, malam ini. Begitupun besok hari, lusa nanti, dan di setiap gerimis di lain hari.
"Apa yang tersisa?"
Kutatap lagi abu-abu langit di atas sana, tak ada cahaya, tidak juga pelangi, ini malam hari. Hanya di batin sendiri pelangi itu ada. Selalu ada.
--------
* Sumber gambar:
ini
** Soundtrack, Efek Rumah Kaca - Hujan Jangan Marah
... bersambung
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ritme Gerimis 9 Desember, tentang Amuk Rindu Setelah Hujan Reda"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar